Mohon tunggu...
Ahmad Yudi S
Ahmad Yudi S Mohon Tunggu... Freelancer - #Ngopi-isme

Aku Melamun Maka Aku Ada

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

(Perlukah) Sekolah Dibubarkan Saja?

7 November 2020   10:45 Diperbarui: 7 November 2020   12:28 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekolah Dibubarkan Saja! merupakan sebuah novel yang diangkat dari kisah nyata seorang anak negeri yang berkemauan besar dan bercita-cita tinggi namun diberanguskan ketika duduk di bangku sekolah. Sekolah dianggap sebagai candradimuka dan penghilang dahaga ketidaktahuan justru mengekang para siswa dengan aturan yang kaku, dipenuhi dengan tuntutan, dan ceramah yang jauh dari realita sehingga menimbulkan ragam kesenjangan dan kepatuhan buta.

Novel yang ditulis oleh seorang sosiolog, Afdillah Chudiel ini berlatar di salah satu lembaga pendidikan yang berada di Sumatera Barat dengan memulai jalan cerita dari seorang anak nakal bernama Rio yang pernah tinggal di kelas dan sering bolos, namun dalam kesehariannya ia merupakan seorang anak yang giat bekerja dan santun kepada orang tua. Dengan gaya bahasa yang ringan dan penyajian masalah secara gamblang, itulah mengapa buku ini diberinya judul Sekolah Dibubarkan Saja!

Sekolah Dibubarkan Saja! merupakan anomali pendidikan Indonesia dalam upaya menghasilkan generasi muda yang berkarakter, cerdas, dan produktif. Bila menyoal tentang kata produktif--produktivitas, artinya lulusan sekolah diharapkan mampu menghasilkan dan dapat bersaing atau memiliki daya produktif.

Dalam pandangan Tan Malaka, pendidikan bertujuan untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan. Salah seorang pemerhati pendidikan, Suyitno mengatakan, pendidikan adalah humanisasi, "pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia." Lewat buku Sekolah Dibubarkan Saja!, potret pendidikan seakan telah kehilangan esensinya.

Segala permasalahan yang menimpa para siswa begitu kompleks, mulai dari sistem pendidikan, aturan yang mengekang (kritisisme) pelajar, hingga masalah ekonomi dan moralitas semu yang mentabukan. Pengajar hanya menempatkan siswa sebagai objek yang harus mentaati peraturan sekolah, wajib mengerjakan tugas, disiplin, dan hadir di sekolah pada akhirnya membuahkan suasana belajar menjadi jenuh dan menakutkan.

Guna mendisiplinkan kenakalan siswa yang sesungguhnya memiliki rasa ingin tahu yang besar, sekolah mengeluarkan aturan yang mengekang dan penyeragaman hampir di segala hal, mulai dari sistem pembelajaran, tingkah laku, seragam yang dikenakan pelajar, bahkan sekolah juga memaksakan isi kepala hingga isi hati anak didik untuk diseragamkan.

Dalam buku yang berjudul Sekolah itu Candu, Roem Topatimasang mengkomentari penyeragaman ini dengan begitu baik. Menurutnya, sekolah bukan hanya menuntut pesertanya seragam dalam berpakaian, bahkan lebih jauh, sekolah juga menyeragamkan peserta didik nyaris dalam segala hal. Penyeragaman ini menyebabkan banyak minat anak-anak yang menguap dan hilang.

Fenomena maraknya lembaga bimbingan belajar atau bimbel/les menyiratkan tanda tanya pada pendidikan formal, apakah sekolah tidak mampu mencerdaskan siswanya? Dikelas, guru mengisi kepala para siswa dengan ceramah dan hafalan. Sedangkan tuntutan orang tua adalah mendapatkan nilai yang bagus agar dapat menjadi kebanggaan sekolah dan keluarga. Sebaliknya jika tidak mendapatkan nilai yang bagus, maka ganjaran berupa cemoohan dan 'diproduksi kembali' atau tinggal di kelas karena dianggap 'gagal produksi'.

Menyoal kata 'produksi' sekilas berhubungan dengan pabrik. Pabrik yang memproduksi manusia dengan harapan agar manusia yang diproduksinya bisa menjadi manusia yang bermutu tinggi, siap pakai dan mampu bersaing dengan manusia lainnya. Begitulah harapannya, meskipun sampai saat ini hal itu masih saja 'jauh panggang dari api'. Pabrik bernama "sekolah" tersebut jauh lebih besar dari pabrik apa pun di negeri ini. Jaringannya tersebar luas di seluruh negeri mulai dari ibu kota hingga ke kampung-kampung terpencil.

Agar tidak 'gagal produksi' yakni mendapatkan nilai yang bagus, orang tua juga memasukkan anaknya ke bimbel untuk mengulang kembali pelajaran di sekolah yang tidak banyak terserap oleh siswa untuk memantapkan produksi. Tak mau kalah, beberapa guru di sekolah ada yang membuka les privat kepada siswanya, juga sebagai masukan tambahan dari kewajiban mengajarnya di sekolah.

Secara tidak langsung, sekolah telah menanamkan kompetisi tidak sehat di mana para siswa saling berlomba-lomba dan menjatuhkan dengan nilai (relasi sosial), dan akan terbawa sampai ke dunia kerja. Bila mendapatkan nilai yang baik, maka imbalan dan pujian diterima siswa. Sebaliknya jika mendapatkan nilai yang kurang baik, maka penyesalan dan teralienasi akan menghampirinya. Apakah ada yang salah dengan pendidikan kita? Chudiel mengejawantahkannya dalam bab yang berjudul 'Sekolah Dibubarkan Saja!'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun