Mohon tunggu...
Ahmad Wazier
Ahmad Wazier Mohon Tunggu... Dosen -

Manusia awam yang \r\npenuh dengan keterbatasan dan kebodohan. \r\n\r\nSaat ini berstatus sebagai Dosen dan Mahasiswa Program Doktor (S3) di University of Tasmania-Australia.\r\n\r\nMantan pengurus DPD IMM DIY ini menyelesaikan Pendidikan Pasca Sarjana di Universitas Gadjah Mada.\r\nPengalaman organisasi: Sekretaris Pusat Pengembangan Bahasa (dua periode), Wakil sekretaris MTDK PWM DIY dan Sekjen KAMADA, Ketua Umum KORKOM IMM, Waka 1 IMM PSH,. Jabatan terakhir sebagai Kepala Pusat Pengembangan Bahasa (2 Periode).\r\n\r\nAktivis alumnus Pondok Pesantren Ar-Ruhamaa’ ini mempunyai minat bidang kebijakan politik Amerika Serikat, ideologi dan agama.\r\n\r\nAktif di beberapa perkumpulan dan juga latihan menjadi pembicara dalam diskusi, training, seminar atau konferensi. bisa di hub di: Twitter: @WazierW wazier1279@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Prinsip-prinsip dalam Menejemen Keluarga Islami

18 April 2017   05:49 Diperbarui: 18 April 2017   06:00 12520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tulisan ini saya tujukan sebagai respon dari berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat, khususnya di masyarakat Jawa. Setelah meneliti dan mempelajari persoalan kedudukan perempuan dalam masyarakat Jawa, dan membaca beberapa konsultasi keluarga di berbagai media, saya menemukan ternyata banyak masyarkat yang tidak paham tentang konsep pernikahan yang sudah mereka lakukan, bahkan sudah mereka lalui bertahun-tahun. Ironisnya lagi ketidakpahaman ini juga terjadi pada orang tua yang memiliki anak perempuan, hal ini dapat dilihat dari banyaknya persoalan yang ditanyakan dalam konsultasi keluarga di berbagai media. 

Tulisan ini belum mengupas pandungan yang lengkap tetapi bisa dijadikan pijakan bagi mereka yang melaksanakan pernikahan dengan landasan agama Islam. Itu sebabnya, saya sendiri menyadari bahwa masih banyak hal yang perlu ditambahkan dalam prinsip menejemen keluarga islam yang saya tampilkan dalam tulisan ini.. 

Keluarga adalah organisasi sosial terkecil dari sebuah tatanan masyarakat sebuah negara. Keluargalah kunci kesuksesan di dalam membangun peradaban sosial. Sukses tidaknya suatu negara membangun peradaban sangat ditentukan dalam membangun tatanan keluarga. Sebagai sebuah organisasi, membangun keluarga tidak bisa dibangun hanya berdasarkan persepsi atau asumsi masing-masing anggota keluarga. 

Setiap orang yang terlibat (khususnya suami dan istri) harus mengetahui hak dan kewajiban di dalam keluarga. Ketidakpahaman atas hak dan kewajiban di dalam keluarga akan mengakibatkan tidak tercapainya suatu tatanan keluarga yang diinginkan. Itulah sebabnya, sebuah rumah tangga harus memiliki landasan kuat yang bisa memperkuat ikatan keduanya. Satu-satunya pedoman dalam membangun rumah tangga adalah agama yang diinterpretasikan di dalam undang-undang pernikahan.

Di dalam Islam, pernikahan adalah sebuah perjanjian yang sangat berat. Ikatan pernikahan adalah pelimpahan wewenang dari orang tua pihak perempuan dengan seorang laki-laki (calon suami). Perjanjian ini dalam Islam disebut dengan perjanjian mitsaqan gholizha, yaitu perjanjian yang sangat berat karena bukan saja menyangkut keselamatan dunia tetapi juga akherat.

Adanya pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dari orang tua ke calon suami ini berakibat pada perubahan ketaatan dan pengabdian seorang anak perempuan yang awalnya kepada kedua orang tua kepada suami. Sayangnya, meskipun sudah ada pelimpahan wewenang dari orang tua (istri) tetapi masih banyak orang tua (pihak perempuan) tidak paham (atau mengabaikan) hukum pernikahan ini. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya orang tua yang mencampuri urusan rumah tangga anaknya. Hal ini tentunya disebabkan oleh ketidakpahaman orang tua terhadap konsep-konsep keluarga di dalam Islam.

Meskipun tujuannya mungkin ingin kebaikan, campur tangan orang tua ini bukanlah hal yang positif. Selain akan mengurangi kepercayaan atas kemandirian seorang anak, kedudukan laki-laki (suami) juga akan terganggu akibat campur tangan orang tua pihak perempuan. Lebih sensitif lagi jika campur tangan itu berkaitan dengan keuangan keluarga yang bisa berakibat perselisihan dan bahkan perceraian.

Untuk menghindari hal tersebut di atas, ada beberapa konsep penting yang harus dipegang dalam menerapkan konsep Islam dalam menejemen keluarga. Hal ini sesuai dengan UU perkawinan di Indonesia No. 1 tahun 1974 yang merupakan interpretasi dari nilai-nilai Islam.  

Berikut ini adalah beberapa prinsip di dalam membangun rumah tangga:

  • Komitmen bersama
  • Suami istri memiliki komitment yang sama mencapai keluarga sakinah,mawaddah wa rahmah(QS: Al-Baqarah:221, 230, QS An-Nur: 320).
  • Saling menghormati dan mentaati serta saling menasehati dalam kebaikan (Agama). Saling menjaga martabat keluarga dengan menutupi kekurangan masing-masing di depan kedua orang tua apalagi di depan orang lain (Qur’an Al-Baqarah: 187).
  • Suami berkedudukan sebagai kepala keluarga, bertugas menaungi dan menjaga keutuhan keluarga sebagaimana diamanatkan UU dan ajaran agama (Qur’an Surat An-Nisa 34).
  • Suami istri saling menjaga kehormatan keluarga dan saling mendukung dalam kebaikan. Itu sebabnya istri berkewajiban mengikuti keputusan suami sepanjang tidak bertentangan dengan agama dan nilai-nila norma sosial.  
  • Suami dan istri memiliki komitmen bersama menjalani dan mengambil keputusan dalam rumah tangga berdasarkan agama Islam yang benar.
  • Istri wajib mendukung keputusan dan perjuangan suami (spt. Saat suami bertugas ke luar daerah atau ke Luar Negeri, jika suami menghendaki istri ikut maka tidak ada alasan untuk tidak mengikuti).
  • Istri bersedia menerima dan menyayangi anak dari suami (jika suami memiliki anak dari istri sebelumnya) sebagaimana anak sendiri. Bersedia berlaku adil berdasarkan keputusan bersama dengan suami. Hal-hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban anak suami mengikuti ketentuan ajaran Islam dan kesepakatan bersama.
  • Istri memberikan kesempatan dan mengikhlaskan suami untuk berbakti kepada kedua orang taunya sesuai ajaran Islam (An-Nisa 36),  Bani Israil 23). Hal ini berbeda dengan kedudukan istri yang dalam pernikahan memang sudah diserahkan kepada suami. Tidak ada kewajiban istri menafkahi kedua orang tuanya kecuali dalam kondisi tertera di ketentuan selanjutnya (lihat bagian harta dalam keluarga).
  • Kewajiban belajar bersama
  • Suami sebagai kepala keluarga memiliki wewenang menentukan arah dan tujuan keluarga berdasarkan atas nilai-nilai agama.
  • Istri wajib taat pada suami selama suami tidak melanggar ketentuan dalam agama (Istri juga berkewajiban mengingatkan suami jika suami melanggar nilai-nilai agama).
  • Agama Islam (nilai-nilai Islam) adalah pedoman dan pegangan hidup yang dijadikan rujukan utama dalam menyelesaikan setiap persoalan.
  • Itu sebabnya keduanya memiliki kewajiban utama saling belajar atau meningkatkan pengetahuan agama.
  • Suami dan istri memiliki kewajiban mendidik dan mengajarkan nilai-nilai agama kepada anak-anak. (jika suami bekerja, maka pendidikan utama tertumpu pada istri karena istri adalah pendidik utama dan pertama dalam rumah tangga).
  • Pergaulan dan etika dalam keluarga
  • Keduanya memiliki kewajiban saling menjaga perasaan pasangan dengan menjaga sikap, perkataan dan tindakan.
  • Saat suami bepergian, istri hanya boleh pergi meninggalkan rumah atas ijin suami
  • Istri/suami tidak boleh menerima tamu lawan jenis saat suami/istri sedang tidak berada di rumah. Kecuali dalam kondisi tertentu yang dibenarkan menurut agama (lihat adab bertamu dan menerima tamu dalam Islam).
  • Saat ada tamu di rumah (khususnya tamu laki-laki) istri tidak diperkenankan ikut menyambut tamu kecuali masih kerabat istri maupun suami.
  • Suami/istri wajib saling menghormati dan menjadikan kedua orang tua masing-masing sebagai orang tua bersama yang harus dihormati dan ditaati nasehat-nasehatnya (selama tidak bertentangan dengan agama).
  • Perselisihan/perbedaan pandangan
  • Jika ada perselisihan, harus menyelesaikan dengan musyawarah. Semua persoalan diselesaikan berdua dan tidak perlu melibatkan orang ketiga kecuali dalam kondisi terpaksa. Orang ketiga yang boleh terlibat dalam penyelesaian masalah adalah ahli agama (ulama).
  • Istri atau suami diharamkan menceritakan persoalan keluarga kepada teman, saudara, bahkan kedua orang tua. Sebelum diselesaikan berdua atau dengan nasehat ulama (guru agama).
  • Menceritakan masalah keluarga kepada kedua orang tua hanya dilakukan untuk menerima nasehat (itupun atas persetujuan dan sepengetahuan bersama) jika persoalan dikira tidak bisa diselesaikan berdua.
  •  
  • Kewajiban menafkahi dan masalah harta keluarga
  • Suami adalah kepala keluarga itu sebabnya hal-hal yang berkaitan dengan mencari nafkah adalah tanggung jawab suami (prinsip dasar) (An-Nisa: 34, Al-Baqarah: 233, Al-Furqon: 67, Ath-Thalaq: 6).
  • Tanggung jawab istri adalah mengatur rumah tangga, boleh bekerja sesuai yang dibolehkan suami dengan catatan tidak mengganggu tugas utama dalam mengurus rumah tangga dan pendidikan anak.
  • Istri yang ingin bekerja harus atas persetujuan suami. Di dalam islam seorang perempuan yang sudah menikah ridho istri tergantung suami.
  • Jika istri bersikeras ingin bekerja maka harus ada pemilahan tanggung jawab (pembiayaan). Suami-istri yang bekerja berarti segala penghasilan milik bersama.  
  • Tidak ada hukum yang mengajurkan (membolehkan) istri yang sudah menikah bekerja untuk menopang kebutuhan orang tuanya (kecuali dalam kondisi tertentu). Untuk itu, jika pun seorang istri ingin membantu orang tua (lihat syarat dan ketentuan di bagian lain) harus sepengetahuan dan persetujuan suami. Seorang istri yang memberikan harta kepada orang tua tanpa sepengetahuan suami adalah bagian dari pencurian (tidak barokah), karena bisa memicu sesuatu yang diharamkan (perceraian). Jika hal ini terjadi suami bisa memutuskan tidak memberikan haknya (menurut islam), jika perceraian disebabkan oleh tindakan curang yang dilakukan oleh istri.
  • Dalam situasi tertentu, seorang suami boleh mengikuti ketentuan mertua (orang tua istri) selama ada perjanjian sebelum pernikahan dan/atau karena ada alasan yang ma’rufyang melatarinya. Seumpamanya karena segala kebutuhan rumah tangga ditanggung oleh mertua atau orang tua istri (seperti tempat tinggal dan kebutuhan lainya) dan atau dikarenakan kondisi orang tua yang sudah tua sementara kedudukan istri sebagai ahli waris satu-satunya (tidak ada yang mewakili) untuk menjaga (kedua) orang tuanya.
  • Jika istri tetap memilih bekerja dengan persetujuan suami, maka penghasilanya untuk membantu kebutuhan rumah tangga, pengelolaannya harus dimusyarahkan dengan suami (tidak boleh ada campur tangan orang tua dalam hal ini, agar tidak terjadi konflik keluarga). Di dalam Islam segala pengeluaran rumah tangga diluar untuk kebutuhan anggota keluarga (suami, istri dan anak-anak) harus atas persetujuan bersama, bahkan untuk sedekah atau infaq sekalipun.  
  • Selama suami sebagai tulang punggung keluarga (Istri tidak bekerja). Semua pendapatan dikelola bersama dengan rincian: suami mengelola hal-hal yang bersifat besar (simpanan masa depan, pembelian properti dll), sementara istri  mengelola yang berkaitan dengan kebutuhan pokok keluarga (kebutuhan konsumsi harian, kebutuhan sekolah anak, pakaian semua anggota keluarga dll). Tetapi jika istri juga bekerja (berpenghasilan) pembagian pembiayaan perlu dibicarakan bersama.
  • Semua uang keluarga dikelola bersama, tidak boleh melibatkan orang ketiga dalam kondisi apapun. Jika ingin membantu anggota keluarga/saudara harus berdasarkan atas pengetahuan dan kesepakatan bersama.
  • Dalam kaitannya dengan membantu keluarga (dalam Islam suami masih terikat dengan kedua orang tuanya), tetapi bagi anak perempuan tidak bisa mendahulukan orang tua dibandingkan suaminya kecuali dalam kondisi-kondisi mendesak, seperti disebutkan sebelumnya.

Prinsip-prinsip di atas harus diketahui bersama dua belah pihak (juga orang tua kedua belah pihak kalau dibutuhkan) untuk menghindari perselisihan. Tetapi jika sudah terjadi intervensi pihak orang tua (apalagi persoalan keuangan) yang mengakibatkan terjadinya perselisihan maka perlu dibuat surat pernyataan (dari pihak yang intervensi) agar ada jaminan untuk tidak ikut campur dalam urusan rumah tangga anak. 

Pada prinsipnya ikatan pernikahan adalah penyerahan wewenang dan tanggung jawab sepenuhnya dari orang tua pihak istri kepada calon suami, sehingga tidak ada hak secara undang-undang maupun hukum agama atas tindakan orang tua khususnya pihak perempuan untuk mencampuri urusan rumah tangga anak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun