Mohon tunggu...
Ahmad Wazier
Ahmad Wazier Mohon Tunggu... Dosen -

Manusia awam yang \r\npenuh dengan keterbatasan dan kebodohan. \r\n\r\nSaat ini berstatus sebagai Dosen dan Mahasiswa Program Doktor (S3) di University of Tasmania-Australia.\r\n\r\nMantan pengurus DPD IMM DIY ini menyelesaikan Pendidikan Pasca Sarjana di Universitas Gadjah Mada.\r\nPengalaman organisasi: Sekretaris Pusat Pengembangan Bahasa (dua periode), Wakil sekretaris MTDK PWM DIY dan Sekjen KAMADA, Ketua Umum KORKOM IMM, Waka 1 IMM PSH,. Jabatan terakhir sebagai Kepala Pusat Pengembangan Bahasa (2 Periode).\r\n\r\nAktivis alumnus Pondok Pesantren Ar-Ruhamaa’ ini mempunyai minat bidang kebijakan politik Amerika Serikat, ideologi dan agama.\r\n\r\nAktif di beberapa perkumpulan dan juga latihan menjadi pembicara dalam diskusi, training, seminar atau konferensi. bisa di hub di: Twitter: @WazierW wazier1279@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perlukah Penghapusan Mushola dan Adzan dengan Pengeras Suara untuk Sebuah Toleransi?

17 Desember 2014   21:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:06 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa bulan ini, isu-isu SARA bergentangan di media social di Indonesia. Dominasi Islam di negeri mayoritas Muslim ini mulai digoyang saat Mendikbud memiliki gagasan untuk mengatur masalah doa di sekolah. Adanya pengaturan doa itu dikarenakan selama ini Islam dianggap mendominasi bahkan mungkin mendholimi agama minoritas. Isu yang awalnya terlihat sederhana itu akhirnya melebar ke isu-isu sensitive lainya: isu pendirian mushola di kantor-kantor pemerintah dan adzan dengan pengeras suara.



Perlu dipahami bahwa isu-isu ketidakadilan sebenarnya akan selalu ada. Kalau berkaca dari sejarah, di hampir semua negara, kelas minoritas memang selalu merasa menjadi korban ketidak-adilan baik dari kelompok mayoritas maupun oleh pemerintahannya sekalipun. Di Barat, negara yang konon paling demokratis sekalipun, isu-isu penindasan dan diskriminasi tetap saja ada. Di Amerika Serikat sendiri isu diskriminatif terhadap ras tertentu masih saja ada sampai detik ini. Bukan hanya itu, masyarakat Muslim yang tinggal di negara Adi Daya itu  sampai detik ini masih mengalami diskriminiasi bahkan intimidasi.

14192150021531268467
14192150021531268467


Kenyataan inilah seharusnya yang menjadikan kita belajar dalam kasus-kasus SARA di Indonesia. Negeri yang mayoritas berpenduduk muslim harusnya wajar jika kaum Muslim mendapatkan hak-hak istimewa dalam menjalankan ibadahnya, selama hak-hak itu tidak merugikan kaum minoritas. Indonesia sebenarnya memiliki toleransi yang lebih baik disbanding dengan negara manapun. Terbukti meskipun Islam mayoritas tetapi agama-agama lain tetap bisa hidup damai tanpa ada diskriminasi dan intimidasi seperti yang terjadi di negara lain. Agama Islam tetap bisa mengayomi dan memberikan toleransi yang sangat baik sampai masa pemerintahan SBY.Umat beragama bisa bersatu padu, hidup berdampingan, menghormati satu dengan yang lainnya.

141921495123284893
141921495123284893


Namun demikian, kondisi kondusif itu saat ini digoyang kembali oleh adanya isu-isu miring yang sebenarnya tidak banyak disuarakan oleh masyarakat minoritas di negeri ini. Adanya gagasan merivisi doa di sekolah justru memancing isu-isu lain yang mengancam persatuan dan kesatuan antarumat beragama. Hal ini sudah tampak dengan lahirnya gagasan penghapusan mushola di intansi-intansi pemerintah dan larangan adzan dengan pengeras suara. Gagasan yang disampaikan oleh seorang professor di media sosial ini meskipun tidak booming tetapi tetap perlu mendapat tanggapan serius karena hal itu akan memancing polemik dalam masyarakat.



Sebagai negara bermenduduk mayoritas Muslim sebenarnya wajar instansi pemerintah memiliki mushola atau masjid. Adanya mushola atau masjid sangat membantu para karyawan kerja tepat waktu. Tampa harus jauh-jauh meninggalkan kantor umat muslim bisa menjalankan ibadah dengan baik. Itulah sebabnya isu penghapusan mushola di lingkungan kantor pemerintah hanya akan mempersulit perusahaan atau kontor itu sendiri. Oleh karena itu, tindakan yang lebih adil bukanlah penghapusan mushola atau masjid tetapi juga menyediakan ruang khusus ibadah bagi agama lain.

1419215122791343903
1419215122791343903


Jika harus menyediakan tempat ibadah bagi agama lain, pertanyaanya lalu apakah kantor akan mendirikan gereja dan pura? Tentu jawabnya tidak. Karena hanya agama Islam yang memiliki rutinitas ibadah setiap jamnya, sedangkan agama lain hanya hari-hari tertentu saja. Bagi yang beragama Kristen ibadanya pada hari Minggu sehingga mereka cukup beribadah ke gereja pada hari Minggu, demikian juga dengan agama-agama lainnya. Kalau pun mereka ingin memiliki tempat ibadah di kantor cukup disediakan fasilitas ruangan yang khusus untuk kepentingan ibadah harian mereka. Penyediaan fasilitas bagi agama lain inilah yang nampaknya memang belum terpikirkan di kantor-kantor pemerintah di Indonesia.

Mungkin kita bisa belajar dari Univiersity of Tasmania di Australia. Meskipun Islam minoritas, mahasiswa muslim tetap memiliki hak-hak istimewa. Selain disediakan fasilitas mushola yang sangat memadai, universitas ini tidak melarang kaum muslim melakukan adzan, bahkan dengan pengeras suara yang cukup bagi kaum Muslim. Fasilitas yang diberikan universitas ini bisa dibilang lebih istimewa dibandingkan dengan agama lain, karena selain di-design khusus bagi muslim, mushola memiliki fasilitas yang cukup lengkap dari karpet, tempat wudhu, pengeras suara bahkan sajadah. Sedangkan bagi agama lain cukup disediakan ruang khusus yang disebut dengan ruang multi-faith yang bisa digunakan agama-agama lain secara bersama-sama. Bahkan mushola di kampus ini bisa jadi lebih baik dibandingkan dengan mushola-mushola yang ada di kantor-kantor pemerintah di Indonesia.

Kembali pada persoalan di atas, sangat tidak bijak jika ada gagasan penghapusan mushola di intansi-intansi pemerintah, termasuk penghapusan adzan sebagai tanda waktu sholat. Hal itu karena mayoritas penduduk di Indonesia adalah Muslim. Hanya saja pemerintah atau intansi pemerintah harus mengakomodasi masyarakat beragama lain dengan ruangan ibadah sesuai kebutuhan. Di dunia manapun agama mayoritas tetap memiliki hak-hak istimewa dibandingkan dengan menoritas, sehingga harus ditanamkan pemahaman “Yang kecil menghargai yang besar sedang yang besar merangkul yang kecil”. Itulah makna toleransi yang harus ditanamkan bagi masyarakat Indonesia yang memiliki latarbelakang kepercayaan yang beragam. Semoga!

Hobart-Australia, 16 Desember 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun