“Aku akan menjamin sebuah rumah di dasar surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun dia berada dalam pihak yang benar. Dan aku menjamin sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun dalam keadaan bercanda. Dan aku akan menjamin sebuah rumah di bagian teratas surga bagi orang yang membaguskan akhlaknya.” (HR. Abu Dawud)
Kenapa ya sekarang ini orang lebih suka marah? Suka berdebat dan suka mengumbar aurat? Bahkan lebih ironis lagi suka membuka aib diri sendiri di depan umum?
Di media-media masa hampir tidak pernah lepas dari tampilan tampang-tampang artis yang “mempromosikan” kemolekan tubuhnya. Tanpa ada rasa malu, mereka pamer apa yang seharusnya dirahasiakan. Bahkan dengan bangga mengabadikan ke-aib-anya itu media yang menggemparkan.
Ironis, memang kehidupan ini. Semua sudah berbalik 180 derajat. Panutan jadi cemoohan bahkan hujatan dan berdebatan. Sedangkan larangan jadi panutan dan kebanggaan. Banyak orang berbangga dengan kemulusan tubuhnya, keradikalan pikirannya, dan kekayaan hasil kejahatannya.
Itulah kehidupuan manusia. Manusia yang tidak pernah berhenti mencari sensasi. Kehidupan manusia yang tidak pernah berhenti mencari persoalan. Seolah hati kita sudah tertutup dengan awan, tidak dapat membedakan mana ajaran dan larangan. Perdebatan (kolot) jadi tontonan. Keculasan jadi lelucuan. Kebejatan jadi model-an. Kekerasan jadi ajaran. Kehinaan jadi kebanggan.
Tidak heran jika setiap orang dilahirkan untuk mengalahkan, bukan mencari kebenaran. Rujukan mereka adalah rujukan syaitan. Tuhan dianggap tidak bisa mendatangkan kedamaian. Sehingga mereka mencari kedamaian dengan kepopuleran dan kekayaan. Ketenaran jadi ajaran kebenaran.
Manusia memang aneh. Suka mencari sesuatu yang beda. Agar jadi sorotan. Semakin aneh dianggap semakin modern dan dianggap kebenaran. Orang pun berbondong-bondong mengikuti tren kepopuleran tanpa ada pertimbangan kebenaran Tuhan.
Kebenaran sudah sangat subjektif. Hanya tergantung siapa yang mengatakan dan kemampuan mempertahankan. Yang bejat diagungkan dan dipuja. Sedangkan yang sholeh disingkirkan dan diabaikan. Sungguh ironis memang kehidupan. Tidak ada lagi yang tahu kebutaan kita ini. Kita bahkan lebih banyak berdiam mencari aman. Kita tidak berani melawan arus kebobrokan. Karena takut lahan hilang.
Sungguh suatu pertanyaan. Sampai kapan kita akan berjalan dalam kelam. Apakah akan sampai pada titik kehancuran? Atau memang kita sudah hilang ingatan?
Perjalanan Jogja-Lampung, 18 Agustus 2012