Mohon tunggu...
Ahmad Turmuzi
Ahmad Turmuzi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Bekerja sebagai guru di satuan pendidikan dasar, sekarang sebagai Kepala Sekolah di SMP Negeri 4 Jerowaru.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Implikasinya dalam Dunia Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

20 September 2011   03:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:48 5156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pembangunan membawa perubahan dalam diri manusia, masyarakat dan lingkungan hidupnya. Serentak dengan laju pembangunan, terjadi pula dinamika masyarakat. Terjadi perubahan sikap terhadap nilai-nilai yang sudah ada. Sehingga terjadi pula pergeseran sistem nilai yang membawa perubahan dalam hubungan interaksi manusia dengan masyarakatnya, baik yang menyangkut bidang material (lahiriah) maupun yang bertalian dengan bidang mental (batin).

Indonesia sebagai negara yang sedang membangun, tidak luput dari perubahan-perubahan tersebut. Misalnya, persoalan budaya dan karakter bangsa menjadi sorotan tajam masyarakat atau menjadi isu sentral dewasa ini, yang menyedot perhatian, pemikiran dan keperihatinan banyak orang di negeri ini. Pada dasarnya, yang dipersoalkan adalah menyangkut semakin memudarnya nilai-nilai budaya dan karakter dalam kehidupan bermasyarakat (lihat Kemendiknas, 2010 : 1, Kemendiknas, 2010 : 2).Persoalan-persoalan yang belum dapat terselesaikan itu, bahkan ada kecenderungan semakin melebar, menyebabkan pemerintah mencoba menggagas solusinya serta membangun kembali jati diri dan karakter bangsa yang sesungguhnya. Gagasan itu mulai dikembangkan pada tahun 2010. Oleh karena itu, pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa, menjadi tema besar dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun 2011 ini.

Salah satu alternatif yang disodorkan adalah dengan mengembangkan pendidikan budaya dan karakter bangsa di satuan pendidikan. Sekolah memasukannya sebagai bagian integral dari kurikulum, dan mengintegrasikannya ke dalam semua mata pelajaran serta dilaksanakan melalui proses pembelajaran secara aktif. Bukan sebagai pokok bahasan baru, nilai-nilai yang dikembangkan terintegrasi ke dalam silabus dan rencana program pembelajaran (RPP) yang sudah ada (lihat Kemendiknas, 2010 : 11 - 22).

Berangkat dari ketentuan di atas, menarik untuk dikaji tentang implikasi pendidikan budaya dan karakter bangsa itu dalam pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Dimana IPS sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah, memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama dalam mengembangkannya. Mengingat pula bahwa “mata pelajaran IPS bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa kehidupan masyarakat” (Depdiknas, 2006 : 1).

Pendidikan yang berlangsung di sekolah adalah suatu proses yang bertujuan. “Tujuan pendidikan pada hakekatnya adalah pemanusiaan manusia muda” (Driyarkara, 1986 : 3). Tujuan ini tidaklah semata-mata mengarahkan pendidikan untuk mencetak wujud manusia yang hanya mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) atau memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi semata. Tetapi harus diimbangi oleh penguasaan dan kemampuan mengamalkan nilai-nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Bupati Lombok Barat, Dr. Zaini Arrony bahwa “percuma intelligence guotient cerdas, namun tidak diiringi emotional quotient dan spiritual quotient, maka bisa jadi anak tersebut akan mengggunakan kecerdasan otaknya untuk hal yang negatif” (Radar Lombok, 2 Mei 2011 : 6).

Penguasaan iptik adalah prasyarat bagi kemajuan bangsa, dan sekaligus sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa. Bahkan hal ini dianggap sebagai “wujud dari nasionalisme baru yakni suatu nasionalisme yang tidak lagi menekankan pada usaha merebut atau mempertahankan kemerdekaan, melainkan bagaimana menyejajarkan diri dengan kemajuan bangsa-bangsa lain lewat penguasaan iptek”(Harry Tjan Silalahi, dikutip oleh Atmadja, 1992 : 16).

Disamping itu, kemajuan iptek juga menimbulkan transformasi sosial yang cepat dan mendasar. Transpormasi sosial itu adalah “perubahan yang cepat menuju masyarakat baru yang bersifat global, yang kekuatannya terutama terletak pada teknologi serba canggih dan ekonomi” (Widja, 1992 : 3). Atau, “kehidupan manusia akan beranjak kearah ciri utama, yakni reifikasi, manipulasi, fragmentasi dan individualisasi” (Poespowardoyo, 1986 : 122-116). Sehingga “terefleksi sosok manusia masa depan yang semakin menjadi meterialistis, legalistis dan formalitis. Semua kenyataan diusahakan dalam bentuk angka-angka serta bentuk-bentuk lahiriah” (Widja, 1991 : 3). Kehidupan manusia dalam “situasi semacam ini akan makin menonjolkan peran individu dalam masyarakat dan merenggangkan ikatan sosial yang ada sebelumnya. Sisi ekstrim situasi ini adalah egoisme yang makin mendapat peluang untuk berkembang apabila tidak cukup tersedia bendung-bendung budaya sebagai tandingannya” (Widja, 1991 : 3).

Oleh karena itu, pembangunan dan pendidikan yang hanya bertumpu pada penguasaan iptek, tanpa diimbangi dengan nilai akan melahirkan generasi-generasi muda yang kering dengan nilai budaya dan terasing dari budayanya sendiri, serta kehilangan karakter bangsanya. “Pendekatan dan strategi pembangunan hendaknya menempatkan manusia sebagai pusat interaksi kegiatan pembangunan spiritual maupun material. Pembangunan yang melihat manusia sebagai makhluk budaya, dan sebagai sumber daya dalam pembangunan. Hal itu berarti bahwa pembangunan seharusnya mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia. Menumbuhkan kepercayaan diri sebagai bangsa. Menumbuhkan sikap hidup yang seimbang dan berkepribadian utuh. Memiliki moralitas serta integritas sosial yang tinggi” (Mustopo, 1983 : 14).

Untuk menuju ke arah itu, IPS sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah memiliki kedudukan dan peranan yang strategis dalam pendidikan nilai bagi peserta didik. Mengingat bahwa “dalam mengembangkan pendidikan karakter bangsa, kesadaran akan siapa dirinya dan bangsanya adalah bagian yang teramat penting. Kesadaran tersebut hanya dapat terbangun dengan baik melalui sejarah yang memberikan pencerahan dan penjelasan mengenai siapa diribangsanya di masa lalu yang menghasilkan dirinya dan bangsanya di masa kini. Selain itu, pendidikan harus membangun pula kesadaran, pengetahuan, wawasan, dan nilai berkenaan dengan lingkungan tempat diri dan bangsanya hidup (geografi), nilai yang hidup di masyarakat (antropologi), sistem sosial yang berlaku dan sedang berkembang (sosiologi)” (Kemendiknas, 2010 : 6).

Dengan demikian, program pembelajaran IPS di sekolah harus dilaksanakan sebagai satu kesatuan dari berbagai bahan kajian dalam mata pelajaran IPS (sejarah, geografi, ekonomi, antropologi dan sosiologi). Tidak seharusnya diajarkan (dibelajarkan) secara terpisah-pisah atau menyendiri, tanpa ada ikatan (kaitan) antara satu dengan yang lain. Proses pembelajaran IPS harus menerapkan pendekatan terpadu (Depdiknas, 2006 : 1) atau pendekatan multidimensional (Atmadja, 1992 : 13), disebut pula dengan pendekatan interdisipliner (Dipdiknas, 2006 : 6). Dimana “model pembelajaran terpadu pada hakikatnya merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang memungkinkan peserta didik baik secara individual maupun kelompok aktif mencari, menggali, dan menemukan konsep serta prinsip secara holistik dan otentik. Melalui pembelajaran terpadu peserta didik dapat memperoleh pengalaman langsung, sehingga dapat menambah kekuatan untuk menerima, menyimpan, dan memproduksi kesan-kesan tentang hal-hal yang dipelajarinya. Dengan demikian, peserta didik terlatih untuk dapat menemukan sendiri berbagai konsep yang dipelajari secara holistik, bermakna, otentik, dan aktif. Cara pengemasan pengalaman belajar yang dirancang guru sangat berpengaruh terhadap kebermaknaan pengalaman bagi para peserta didik. Pengalaman belajar lebih menunjukkan kaitan unsur-unsur konseptual menjadikan proses pembelajaran lebih efektif. Kaitan konseptual yang dipelajari dengan sisi bidang kajian yang relevan akan membentuk skema (konsep), sehingga peserta didik akan memperoleh keutuhan dan kebulatan pengetahuan. Perolehan keutuhan belajar, pengetahuan, serta kebulatan pandangan tentang kehidupan dan dunia nyata hanya dapat direfleksikan melalui pembelajaran terpadu” (Depdiknas, 2006 : 1).

Keterpaduan dalam pembelajaran IPS, berarti pula dapat mengantarkan peserta didik ke arah kemajuan bermasyarakat yang bermartabat. Artinya, dalam ternspormasi sosial ke arah kemajuan akibat pembangunan serta kemajuan iptek, pendidikan IPS secara terpadu dapat memberikan arah yang tepat bagikemajuan tersebut, sehingga kemungkinan timbulnya perubahan salah arah tertanggulangi. Dengan kata lain, pendekatan pembelajaran IPS terpadu tidaklah semata-mata menekankan pada tambahan ilmu pengetahuan, tetapi yang lebih penting adalah “menunjang homonisasi dan humanisme, yakni membentuk manusia yang tahu dan mau bertindak sebagai manusia dan tindakannya itu benar-benar manusiawi dan semakin manusiawi” (Mardiatmadja, 1990 : 50).

Manusia yang manusiawi adalah menjunjung kemanusiaan yang integral. Hal ini dintandai oleh sikap dan perilaku mereka yang menyadari kodratnya sebagai mahkluk yang tidak sempurna, mampu menangani secara selektif setiap situasi yang mereka hadapi berdasarkan tujuan yang dipilih secara sadar, dan juga menyadari kemampuannya sebagai makhluk berakal. Namun di sisi lain mereka pun harus pula menyadari kemampuannya tentang hakekat manusia sebagai makhluk berperasaan. Jadi manusia dalah makhluk yang mempunyai rasio dan rasa. Selain itu, manusia harus pula kreatif dan mengekspresikan dirinya. Tetapi mereka pun harus memahami rasionalitas , kreativitas, dan pengekspresian diri itu dibatasi oleh alam, moralitas, masyarakat, tradisi, dan agama (lihat Murchland, 1992 : 93 – 102). Jadi, wujud manusia yang sesugguhnya adalah menghargai alam beserta isinya, memiliki kepekaan moral, menjungjung tinggi nilai-nilai agama, dan menghargai tradisi. Ini tidaklah berarti manusia menolak atau apriori terahadap perubahan, melainkan yang penting mereka sadar bahwa “intelek yang benar-benar besar adalah yang memandang lama dan baru, masa lalu dan sekarang, jauh dan dekat secara tak perpisah, dan yang memiliki wawasan atas pengaruh dari semua hal itu atas satu sama lainnya yang tanpa pengaruh ini tidak akan ada keseluruhan, tidak akan ada pusat. Intelek yang benar-benar besar itu memiliki pengetahuan, bukan hanya mengenai benda-benda, tetapi juga hubungan benda-benda itu satu sama lainnya” (Murchland, 1992 : 98).

Pembentukan manusia yang menjunjung tinggi kemanusiaan yang intergral menuntut adanya kemauan yang kuat, inovasi, dan kreativitas yang tinggi dari guru IPS untuk menciptakan proses pembelajaran yang aktif dalam mengkaji secara kritis dan kreatif akan nilai-nilai yang terkandung dalam materi pembelajaran. Dengan demikian, dalam pengintegrasian nilai-nilai budaya dan karakter, guru IPS memiliki posisi yang sangat penting dan sebagai salah satu soko guru humaniora, menjadi toladan yang dapat digugu dan ditiru dalam masalah kemanusiaan. Untuk itu, guru IPS “dituntut tidak saja perlu menguasai keterampilan atau kiat untuk mendidik dan mengajar, tetapi juga memiliki wawasan vertikal – wawasan yang mendalam dan reflektif tentang bidang studi yang diajarkannya, dan wawasan horizontal – wawasan yang melebar yakni ramah terhadap konsep-konsep, proposisi-proposisi, dan teori-teori ilmu sosial ataupun ilmu-ilmu budaya, bahkan juga ekologi” (Atmadja, 1992 : 21). Dalam kaitannya dengan ini, maka guru IPS harus terus menyegarkan, memperluas dan memperdalam pengetahuan yang dimilkinya.

Dengan demikian, pencapaian pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa dalam mata pelajaran IPS sangat tergantung pada guru dalam merancang dan melaksanakan program pembelajaran secara terpadu diaorganisasikan dengan baik, dan didukung oleh pengetahuannya yang luas dan mendalam tentang ilmu-ilmu sosal dan nilai-nilai kemaunisan.

DAFTAR PUSTAKA

Atmadja, Negah Bawa, 1992

“Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Implikasinya dalam Pendidikan Sejarah”, Artikel dalam Aneka Widya, Singaraja : FKIP Unud.

Depdiknas RI, 2006

Panduan Pengembangan Pembelajaran IPS Terpadu, Jakarta : Depdiknas.

Driyakara, 1986

Driyakara tentang Pendidikan, Yogyakarta : Penerbit Yayasan Kanisius.

Harian Radar Lombok, 2011

“Lombok Barat Akan Mengembangkan Pendidikan Karakter”, Harian Radar Lombok, 2 Mei 2011.

Kemendiknas, 2010

Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Pedoman Sekolah, Jakarta : Kemendiknas.

Kemendiknas, 2010

Pedoman Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Jakarta : Kemendiknas.

Mardiatmadja, BS, 1990

“Pendidikan dan Pendidikan Nilai”, dalam Dick Hartoko (ed) Memanusiakan Manusia Muda Tinjauan Pendidikan Humaniora, Yogyakarta : Penerbit PT Gramedia.

Murchland, Bernard, 1982

Humanisme dan Kapitalisme Kajian Pemikiran tentang Moralitas (Hartono Hadikusumo Penerjemah). Yogyakarta : Penerbit Tiara Wacana.

Murtopo, M. Habib, 1983

Ilmu Budaya Dasar Kumpulan Essay – Manusia dan Budaya, Surabaya : Penerbit : Usaha Nasional.

Poespowardojo, Soerjanto, 1986

“Masalah Perubahan Nilai dan Strategi Kebudayaan”, dalam J.A. Deny (Penyunting), Transformasi Masyarakat Indonesia. Jakarta : Kelompok Studi Proklamasi.

Widja, I Gde, 1991

“Pendididikan Sejarah dan Tantangan Masa Depan”, Orasi Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Pendidikan Sejarah Pada FKIP Unud.Singaraja : FKIP UNUD.

Widja, I Gde, 1992

Pendidikan Sejarah, Identitas Nasional dan Tantangan Abad XXI Mencari Model Pendidikan Sejarah di Masa Depan”, Artikel dalam Aneka Widya, Singaraja : FKIP Unud.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun