Mohon tunggu...
Ahmad Turmuzi
Ahmad Turmuzi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Bekerja sebagai guru di satuan pendidikan dasar, sekarang sebagai Kepala Sekolah di SMP Negeri 4 Jerowaru.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Berikan Kami Madu, Jangan Berikan Kami Racun

30 November 2011   14:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:00 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya kaget dan seakan tidak percaya begitu membaca berita catatan kaki pada Kabar Petang TV One petang tadi. Di sana tertera tulisan kalimat seperti ini, “Kemenkes : NTB daerah tertinggi kasus kekurangan gizi”. Ini mengejutkan bagi diri saya, karena kasus gizi buruk merupakan masalah yang sudah cukup lama dialami oleh daerah ini. Berarti usaha untuk mengatasi permasalahan tersebut selama ini tidak membuahkan hasil. Sama halnya dengan kurang berhasilnya Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dalam menaikkan peringkat IPM secara nasional, walaupun angka statistik menunjukkan adanya kenaikan IPM, tetapi peringkatnya masih berada diurutan bawah, nomor dua dari bawah. Sudah tergolong dewasa (tua) usia daerah saya tercinta ini, tetapi belum mampu mengejar ketertinggalan dari daerah lain. Keterpurukan masih saja mewarnai perkembangannya. Sehingga tidak mengherankan kalau orang atau pihak luar, memelesetkan nama daerah ini menjadi “Nasib Tidak Beruntung”,atau tidak aneh juga kalau ada orang luar yang mengungkapkan kalimat seperti ini “kalau ingin cepat mati, tinggallah di NTB”. Ungkapan kalimat yang terakhir ini, menjadi masuk akal mengingat usia harapan hidup yang masih rendah, tingginya angka kematian ibu dan anak (ibu melahirkan), dan ditambah lagi dengan adanya kenyataan sebagaimana diungkap dalam Berita Petang TV One di atas, tentang kurangnya gizi masyarakat.

Rendahnya gizi masyarakat NTB, mengingatkan saya pada masalah penyaluran beras miskin (raskin). Baru-baru ini masalah pendistribusian raskin menjadi berita hangat di media massa lokal (daerah), seperti Lombok Post dan Radar Lombok, dan membikin heboh di kalangan masyarakat (rakyat) yang menerima jatah raskin tersebut. Bagaimana tidak menjadi berita hangat dan menghebohkan, karena Bulog menyalurkan raskin dengan kualitas rendah. Beras yang dibagikan sudah berwarna kuning dan berbau, sangat jauh berbeda kualitasnya dengan “beras kaya” (berasnya orang kaya). Tetapi karena tidak ada yang harus dimakan dan untuk memenuhi kebutuhan yang lain, mereka terpaksa harus menerima, sebab mereka tidak mampu membeli beras kaya. Kasus seperti tidak sekali terjadi, berkali-kali, selalu berulang. Dengan kualitas beras yang dikonsumsi rakyat miskin seperti itu, bagaimana gizi mereka mau baik.

Masalah kekurangan gizi, bisa jadi dipicu oleh masih rendahnya pelayanan kesehatan bagi warga miskin, sebagaimana pelayanan terhadap ibu melahirkan yang belum optimal walaupun sudah digratiskan. Masih rendahnya pelayanan kesehatan, merupakan akibat dari masih kurangnya fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan (medis), dan seretnya anggaran, rumah sakit dan puskesmas harus menumpuk hutang dulu untuk biaya operasional atau biaya pengobatannya. Dengan kondisi pelayanan seperti itu, maka tidak mengherankan kalau usia harapan hidup rendah dan angka kematian ibu melahirkan tinggi, disamping disebabkan oleh faktor budaya (tradisi) yang masih kuat dipertahankan oleh masyarakat setempat. Keadaan ini tentunya memberikan kontribusi terhadap masih rendahnya peringkat IPM daerah NTB.

IPM NTB belum mampu dinaikan peringkatnya, juga disebabkan karena masih banyaknya masyarakat miskin atau masih rendahnya penghasilan per kapita masyarakat setempat. Pada umumnya mereka menggantungkan hidup pada sektor agraris, bermata pencaharian sebagai petani. Lapangan kerja lainnya yang tersedia sangat sedikit atau tidak sesuai dengan jumlah penduduk yang membutuhkan. Oleh karena itu, masyarakat di daerah ini banyak yang mengadu nasib menjadi tenaga kerja kasar ke luar negeri, sebagai TKI dan TKW ke Malaysia dan negara-negara Timur Tengah (Arab). Itu pun tidak sepenuhnya dapat menjamin kesejahteraan mereka dan keluarganya.

Warga masyarakat yang menjadi TKI atau TKW, ternyata tidak sedikit yang berasal dari usia anak sekolah (SMP dan SMA). Mereka tidak bersekolah atau putus sekolah. Angka putus sekolah dan anak yang tidak bersekolah di daerah ini, tergolong masih tinggi. Sehingga program wajib belajar (wajar) sembilan tahun pun belum bisa dilaksanakan dengan maksimal, belum sepenuhnya berhasil, sekalipun biaya untuk pendidikan dasar (SD dan SMP) telah digratiskan. Sekolah gratis dengan pengucuran dana BOS dan BSM, tidak dapat sepenuhnya mengatsi masalah pendidikan. BOS yang dihitung per siswa/berdasarkan jumlah siswa di sekolah, belum mampu memebuhi seluruh kebutuhan yang harus dibiayai sekolah.Pemerintahpun belum sepenuhnya mampu memberikan fasilitas sekolah dan peningkatan profesionalisme tenaga pendidikan secara adil dan merata. Banyak sekolah yang berjalan apa adanya karena kekurangan fasilitas (sarana dan prasarana), kekurangan jumlah dan kualitas tenaga, serta kekurangan dana, karena harus tunduk pada ketentuan (aturan) tidak boleh memungut. BSM yang dianggarkan Pemda, tidak mampu menjangkau seluruh peserta didik, hanya sebagian kecil yang dapat menerima. Sehingga tidak sepenuhnya mampu mengatasi masalah yang dihadapi siswa miskin. Pendidikan gratis dan anggaran pendidikan 20 %, hanya manis diucapkan, tetapi pahit dalam pelaksanaannya.

Apabila ditelisik (dianaisa) secara lebih luas dan mendalam, akar penyebab (faktor pendorong) banyaknyapeserta didik drouf out dan tidak bersekolah, ternyata tidak terbatas hanya pada masalah ekonomi (kemiskinan), letak geografis, dan infrastuktur (keterbatasan sekolah, jalan dan transfortasi). Faktor lain yang ikut memberi kontribusi bersumber juga dari aspek sosiologis dan unsur-unsur kebudayaan yang ada dalam masyarakat setempat, yaitu adanya dualisme kultural dalam kehidupan bermasyarakat.

Kenyataan di atas telah ikut mengakibatkan peringkat IPM daerah tidak dapat didongkerak naik. Apa lagi buta aksara belum mampu dituntaskan, masih banyak warga masyarakat yang belum bisa membaca dan menulis. Program penuntasan buta aksara, sekalipun dengan anggaran yang cukup besar, belum dapat terlaksana dengan optimal. Terdapat faktor kebiasaan atau tradisi masyarakat yang ikut menghalangi pencapaian program. Kenyataan di lapangan berbeda dengan angka-angka yang ada di atas kertas. Dikatakan sudah banyak warga masyarakat yang sudah tuntas belajar yang dibuktikan dengan selembar sertifikat tanda lulus atau tamat, ternyata tidak sepenuhnya dapat membuktikan bahwa masyarakat telah dapat membaca dan menulis.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa masalah pendidikan, kesehatan, dan pendapatan perkapita masyarakat merupakan masalah utama yang belum mampu dipecahkan oleh Pemda NTB. Sehingga masih tetap menjadi kasus yang menonjol dalam perjalanan dan perkembangan daerah ini. Menyadari tentang kenyataan itu, maka sudah pada tempatnya untuk tidak menempatkan persoalan yang dihadapi pada sudut pandang atau memposisikannya sebagai proyek semata, tetapi diletakkan pada landasan dan prinsip demi kemaslahatan ummat. Pelaksanaannya tidak setengah-setengah, dan terkesan asal-asalan atau kurang ikhlas. Berilah masyarakat “madu”, bukan sebaliknya diberikan “racun”. Sehingga dapat meningkatkan peringkat IPM secara signifikan.

Untuk dapat keluar dari permasalahan tersebut, maka pemerintah harus mampu memberikan dan meningkatkan pelayanan dan fasilitas pendidikan, dan kesehatan secara optimal, serta dapat memperluas lapangan pekerjaan dan memperhatikan kualitas raskin yang didistribusikan bagi warga miskin. Disamping itu, peningkatan pelayanan pendidikan dan kesehatan, tidak cukup hanya lewat program pendidikan dan kesehatan gratis, melainkan memerlukan pula adanya penanggulangan kendala struktural dan kendala kultural. Penanggulangan struktural diarahkanuntuk mengentaskan kemiskinan yang terdapat dalam masyarakat. Sedangkan penanggulangan kendala kultural membutuhkan penyadaran lewat pendidikan budaya yang ditujukan kepada seluruh elemen atau lapisan masyarakat, dengan melibatkan berbagai lembaga atas dukungan berbagai aktor yang memiliki aneka keahlian. Pola ini sangat penting, mengingat, bahwa merubah tindakan lewat penyadaran budaya sangat sulit, karena budaya sebagai kognisi tidak selamanya bermuatan rasionalitas, melainkan berbaur dengan kepercayaan, rasa atau emosionalitas.

Jerowaru Lombok Timur, 30 Nopember 2011.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun