Menarik membaca tulisan Prof. Amzulian Rifai, PhD, Dekan Fakultas Hukum UNSRI, Palembang di Koran Sindo Sumsel, senin kemarin (29/4). Analisa itu terkait pembelaan Bupati OKU Timur, Herman Deru sehalaman penuh di media lokal atas tuduhan perbuatan tidak senonoh terhadap wanita yang mengaku mantan pembantunya. Bagi Prof. Amzulian, menjadi sangat wajar ketika Herman Deru, yang juga Calon Gubernur Sumatera Selatan, melakukan pembelaan dan penyangkalan terhadap pemberitaan tersebut, karena sudah mengganggu citra baik yang dimiliki Herman Deru selama ini.
Bahkan Profesor yang menamatkan pendidikan doktoral nya di Monash University, Australia ini menganggap tuduhan tersebut sudah kelewatan, keterlaluan dan teramat serius implikasinya. Dia mewani-wanti jikalau menuduh, apalagi memfitnah dengan tujuan mencampakkan seorang kandidat, adalah perbuatan keji.
Analisa Profesor hukum terhadap persoalan itu agaknya sama dengan logika sederhana penulis. Tuduhan terhadap Herman Deru sangat tendensius, tujuannya hanya ingin merusak nama baik Herman Deru. Paling tidak ada beberapa penjelasan mengapa Herman Deru bereaksi atas fitnah yang ditujukan kepadanya.
Logika awam pertama, sangat tidak mungkin seorang Herman Deru melakukan tindakan affair dengan seorang pembantu. Di pelbagai kesempatan Herman Deru menegaskan bahwa pembantu itu hanya tokoh fiktif yg tidak pernah ada dalam kehidupan nyata. Herman Deru berani menjamin bahwa perempuan “jadi-jadian” itu tidak pernah bekerja sehari pun dirumahnya.
Logika awam kedua, jika cerita itu memang benar, maka orang yang harus marah dan kecewa adalah keluarga terdekatnya, yakni istri dan keempat anak perempuannya. Sampai saat ini mereka selalu memberi dukungan dan tak pernah sedikit pun meragukan kesetiaan suami dan ayahnya.
Logika awam ketiga, jika cerita itu memang benar, tidak mungkin Herman Deru didukung dan dicintai masyarakat OKU Timur. Jangan kan dua periode, saat kali pertama Herman Deru mencalonkan diri saja tentu tidak akan dipilih warga. Perlu diketahui, cerita ini pernah disebar tahun 2004 atau satu tahun sebelum Herman Deru maju menjadi Bupati OKU Timur.
Dalam tradisi kampanye modern, model kampanye hitam (black campaign) sudah lama ditinggalkan dan tidak diminati pemilih. Selain tidak berdasarkan fakta, terlalu mengada-ada, berita yang disampaikan menjurus fitnah. Dan sudah bisa ditebak, tujuan akhirnya merusak citra seseorang. Kasus tuduhan terhadap Herman Deru termasuk kategori kampanye hitam itu.
Sangat disayangkan jika pesta demokrasi lima tahunan Sumsel harus dicederai oleh tindakan-tindakan yang tidak terpuji. Memfitnah, menuduh adalah contoh perilaku yang tidak beradab. Harusnya demi Sumsel yang lebih baik, semua pihak bisa menahan diri, dan tetap menunjukan budaya politik santun, beretika dan cerdas (let politic polite).
Catatan penulis dalam beberapa pemilukada terakhir, kandidat yang menjadi korban serangan black campaign justerumemperoleh simpati yang lebih dari warga. Meski tidak berharap untuk terus difitnah, penulis tentu memiliki keyakinan, semakin Herman Deru dituduh, maka makin banyak masyarakat yang mengunduh (baca: mendukung)!