KPU memastikan bahwa 809.500 TPS ada untuk memberikan kebebasan pada rakyat untuk memilih. Sekitaran 7.385.500 PPS tersebar di seluruh penjuru nusantara. Kira-kira jumlahnya 3 persen dari jumlah penduduk di republik ini. Petugas itu lah yang memastikan bahwa setiap suara dari kita menjadi pembawa perubahan besar di republik ini.
Kematian Massal
Mengutip dari CNN bahwa data sementara secara keseluruhan petugas yang tewas mencapai 554 orang, baik dari pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) maupun personel Polri.
Berdasarkan data KPU per Sabtu (4/5) pukul 16.00 WIB, jumlah petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal sebanyak 440 orang. Sementara petugas yang sakit 3.788 orang.
Sebuah peristiwa pilu. Kematian Massal. Tak ada yang memikirkan ini bahwa akan terjadi. Seluruh masyarakat akhirnya turut berduka atas peristiwa ini. Narasi pemilu berubah drastis, subjeknya kini bukan caleg gagal atau paslon presiden yang akan kalah, tetapi petugas KPPS yang pergi tak di duga-duga.
Seluruh caleg yang kalah maupun yang dapat kursi sama-sama tertunduk duka. Masing-masing berbela sungkawa. Tak disangka, sistem mengalir tapi tak begitu jernih. Kemarin rakyat tertawa dengan sumringah berubah menjadi duka air mata.
Anggota KPPS yang hanya mendapat gaji 500.000/orang/bulan tanpa konpensasi. belum lagi pajaknya, mesti dikurangi lagi.
Peristiwa ini ibarat pembantaian massal yang pernah terjadi dalam berbagai catatan sejarah, seperti pembantaian kelompok etnis di Mali, rasisme yang pernah Hitler lakukan pada kaum komunis di Jerman, bahkan pembantaian muslim di Uighur di Cina. Walau prosesnya beda, tapi tetap ada yang harus barkabung nyawa.
Peristiwa ini ujungnya hanya menjadi data bagi pembuat kebijakan sebagai ajang evaluasi, dan memang siapapun yang punya titah dan paling bertanggung jawab dalam proses pemilu serentak ini harus mengkaji ulang dan membuat sebuah kebijakan baru.
Semua peristiwa ini akan berakhir sebagai catatan utuh, namun beberapa bagiannya cacat dan miris untuk kita banggakan.
Penulis; Ahmad Takbir Abadi Â