Setiap kaki di republik yang besar ini punya kaki untuk melangkah, mungkin kita dilahirkan dari rahim seorang petani, seorang nelayan, atau pun seorang buruh.Â
Tapi di balik itu semua kita yang lahir dirahim manapun punya hak untuk bermimpi apa saja. Ikut mengukir cakrawala, menggoreskan mimpi-mimpi, dan ikut langsung untuk merubah ketidakadilan.
Diskriminasi kepada status pekerjaan pada buruh sudah sejak lama, sejak zaman kolonial strata buruh merupakan kasta paling rendah di dalam kehidupan sosial masyarakat.Â
Pada zaman kolonial, buruh adalah sebutan untuk se kelompok masyarakat di koloni yang termasuk kaum pekerja, kuli, petani, pegawai Pemerintah, buruh kereta api, perkebunan, pertambangan, industri, jasa, pelabuhan, dan sebagainya.Â
Gerakan-gerakan protes dari kaum petani yang muncul untuk menuntut perbaikan kesejahteraan, kemudian memberikan inspirasi kepada kaum buruh untuk menggalang kekuatan secara kolektif, yang diinisiasi oleh buruh yang bekerja di perusahaan kereta api menuntut perbaikan kondisi kerja.
Hingga cerita berlanjut pada pasca kemerdekaan, Di Indonesia, khususnya jelang dan setelah proklamasi kemerdekaan tahun 1945, serikat buruh menjadi organisasi sosial yang penting karena keterlibatan mereka di dalam perjuangan kemerdekaan dan mempertahankannya. Gerakan buruh yang massif akhirnya membuat sebuah kekuatan besar, sehingga lahir lah sebuah tubuh kekuatan yang kuat.
Melihat perjuang buruh pada saat itu, akhirnya mendorong lahirnya berbagai undang-undang dan peraturan yang amat melindungi buruh justru ketika Indonesia belum sepenuhnya merdeka, seperti UU No. 33/1947 tentang Kecelakaan Kerja yang merupakan undang-undang pertama hasil karya pemerintah Indonesia, disusul dengan UU No. 12/1948 tentang Kerja yang berisi berbagai ketentuan yang amat maju pada masanya untuk perlindungan buruh, seperti waktu kerja delapan jam sehari, hak cuti haid bagi buruh perempuan dan lain-lain.
Kecenderungan undang-undang protektif ini berlanjut terus hingga tahun 1950an dengan lahirnya beberapa undang-undang lain yang senada. Seperti UU No 21/1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan yang berisi jaminan untuk hak berunding secara kolektif bagi serikat buruh. Juga UU No. 22/1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yang mengkanalisasi perselisihan ke lembaga semi-pengadilan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan; termasuk di dalam UU ini adalah larangan pemutusan hubungan kerja tanpa izin terlebih dahulu dari Negara; dan sebagainya.
Sepertinya pada saat orde lama, buruh juga menjadi salah satu komponen terbesar dalam bangsa ini sebagai sebuah komunitas yang mampu melahirkan gerakan massif dan kuat.
Hingga kemudian lahir Orde Baru pada tahun 1965 di bawah presiden  Jenderal Soeharto, yang mengambil alih kekuasaan dengan terutama menghancurkan seluruh gerakan progresif termasuk gerakan buruh yang dilumpuhkan dengan tuduhan keterlibatan pada percobaan kudeta yang diklaim dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan Gerakan 30 September (G30S), yang memberi legitimasi tentara mengambil alih kekuasaan dengan menghancurkan berbagai organisasi pendukung PKI dan khususnya organisasi buruh yang tergabung di bawah Sentral Organisasi Buruh Indonesia.