Mohon tunggu...
Ahmad Syairozi Dahlan
Ahmad Syairozi Dahlan Mohon Tunggu... Guru

Saya suka membaca tapi tidak dengan menulis, jika saya sudah menulis berarti ada alasan dibalik hal tersebut.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mendamaikan Regulasi dan Spirit Keberagaman dalam Sistem Pendidikan Nasional

6 Juni 2025   21:23 Diperbarui: 6 Juni 2025   21:41 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Wacana dan praktik pendidikan di Indonesia kerap dihadapkan pada dilema antara regulasi formal negara dan semangat keberagamaan masyarakat. Berbagai kebijakan pendidikan mulai dari kebijakan full day school (lima hari sekolah), distribusi guru Pendidikan Agama Islam (PAI), hingga alokasi anggaran pendidikan belum sepenuhnya mencerminkan keadilan dan afirmasi terhadap pengembangan keberagamaan, khususnya dalam konteks pendidikan Islam.

Kebijakan lima hari sekolah, misalnya, pernah menjadi polemik serius. Di satu sisi, pemerintah beralasan bahwa kebijakan ini bertujuan mengoptimalkan waktu belajar dan membangun karakter anak. Namun, di sisi lain, kebijakan tersebut dinilai berpotensi menggerus ruang pendidikan nonformal berbasis komunitas, seperti Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) dan lembaga pendidikan Al-Qur'an. Pendidikan informal yang menjadi tulang punggung transmisi nilai-nilai keagamaan justru berpeluang terpinggirkan oleh sistem yang semakin sentralistik dan formalistik.

Isu lainnya adalah kekurangan guru PAI di sekolah umum. Berdasarkan data Ditjen Pendis, lebih dari 180 ribu guru PAI harus melayani lebih dari 34 juta siswa Muslim di sekolah formal. Jumlah ini jelas tidak sebanding. Ironisnya, beban penggajian dan tunjangan profesi mereka ditanggung oleh Kementerian Agama, meskipun mereka bekerja di bawah naungan sekolah milik pemerintah daerah atau Kemendikbud. Ini menciptakan ketimpangan struktural yang merugikan pendidikan Islam secara kelembagaan.

Pendidikan keagamaan yang lebih mendalam, seperti pendidikan mutafaqqih fiddin mereka yang mendalami ilmu-ilmu agama Islam secara serius, baik di pesantren maupun perguruan tinggi keagamaan Islam juga tidak mendapatkan dukungan yang layak dari negara. Padahal, kelompok ini adalah benteng moral bangsa dan pengemban misi moderasi beragama. Minimnya anggaran untuk pengembangan pesantren, MDT, dan pendidikan Al-Qur'an menunjukkan negara belum cukup hadir dalam mendukung keberlanjutan mereka. Bahkan, menurut Suwendi (2016), anggaran pendidikan keagamaan nonformal hanya sekitar 2,5% dari total anggaran Ditjen Pendis, sebuah ironi di tengah semangat revolusi mental dan moderasi beragama.

Akar masalah ini tidak sekadar terletak pada niat baik para pengambil kebijakan di Kementerian Agama, tetapi lebih dalam lagi pada regulasi struktural yang timpang. Dua undang-undang menjadi sorotan: UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. UU pertama membuat anggaran pendidikan terkonsentrasi di Pemda, yang nyaris tidak menyentuh lembaga pendidikan Islam berbasis masyarakat, kecuali ada keberpihakan dari kepala daerah. UU kedua mengecualikan ustadz dan kyai yang mengajar di jalur pendidikan nonformal dari kategori "guru", sehingga mereka tidak mendapatkan tunjangan profesi dan hak kesejahteraan sebagaimana guru di sekolah formal.

Lebih parah lagi, rezim Angka Partisipasi Kasar (APK) yang dijadikan indikator keberhasilan pendidikan nasional tidak mengakui kontribusi lembaga-lembaga nonformal terhadap pendidikan masyarakat. Akibatnya, pesantren, MDT, dan pendidikan Al-Qur'an tidak dianggap berkontribusi terhadap APK, sehingga diabaikan dalam perencanaan anggaran.

Sudah saatnya negara melakukan koreksi terhadap regulasi yang eksklusif dan sentralistik ini. Judicial review terhadap UU Guru dan Dosen serta revisi pendekatan penganggaran berbasis APK harus diupayakan untuk menciptakan keadilan. Pendidikan keberagamaan tidak boleh dianggap sebagai pelengkap, apalagi beban. Ia adalah bagian dari jati diri bangsa. Negara harus hadir bukan sekadar sebagai regulator, tetapi juga sebagai mitra strategis umat dalam mencetak generasi berakhlak, berilmu, dan moderat.

Dengan demikian, membangun sistem pendidikan yang inklusif terhadap keberagamaan bukan hanya tuntutan moral, tetapi juga strategi cerdas dalam membangun peradaban bangsa yang utuh: cerdas secara intelektual, matang secara spiritual.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun