Indonesia dikenal sebagai bangsa yang kaya akan keberagaman agama, budaya, bahasa, dan etnis. Dalam konteks ini, pendidikan memiliki peran sentral bukan hanya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga dalam membentuk karakter kebangsaan yang moderat dan inklusif. Namun, sejumlah temuan empiris menunjukkan bahwa dunia pendidikan masih dihadapkan pada tantangan serius terkait intoleransi, ekstremisme, dan penolakan terhadap nilai-nilai kebangsaan. Karena itu, moderasi beragama bukan sekadar pilihan, melainkan keniscayaan dalam merespons krisis keberagaman di ranah pendidikan.
Suwendi dkk. dalam tiga karya terpisah menegaskan bahwa moderasi beragama merupakan strategi penting dalam menghadapi ekstremisme keagamaan yang tumbuh di lingkungan pendidikan. Data yang mereka sajikan seperti tingginya persentase guru dan siswa di Indonesia yang memiliki pandangan intoleran dan radikal menjadi sinyal peringatan bahwa pendidikan belum sepenuhnya berhasil menjadi ruang aman bagi toleransi dan keberagaman.
Konsep Dasar dan Tantangannya
Konsep moderasi beragama sebagaimana diuraikan oleh Suwendi, Mesraini, dan Farkhan Fuady, mencakup cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang menjunjung tinggi kemanusiaan, keadilan, keseimbangan, serta ketaatan terhadap konstitusi. Moderasi bukan berarti menyamakan semua agama atau melemahkan akidah, tetapi lebih kepada cara mengelola perbedaan dengan arif, menghindari kekerasan, dan menolak sikap ekstrem.
Namun demikian, sejumlah riset memperlihatkan bahwa banyak pelaku pendidikan termasuk guru dan dosen masih memiliki pandangan eksklusif terhadap agama lain dan cenderung menolak ideologi negara seperti Pancasila. Hal ini diperparah oleh model pendidikan yang cenderung satu dimensi, minim ruang dialog, dan miskin pendekatan multikultural.
2. Transformasi Pendidikan melalui Moderasi Beragama
Transformasi moderasi beragama dalam pendidikan harus dimulai dari perubahan paradigma. Pendidikan tidak boleh lagi sekadar berorientasi pada penguasaan materi, tetapi harus mencakup pengembangan literasi keberagamaan dan kebangsaan secara seimbang. Seperti diungkapkan dalam ketiga artikel Suwendi dkk., ada beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan:
- Integrasi nilai-nilai moderasi ke dalam kurikulum dan pembelajaran. Ini mencakup materi tentang toleransi, dialog antaragama, penghargaan terhadap perbedaan, dan penguatan identitas kebangsaan dalam kerangka pluralisme.
- Penguatan peran guru sebagai agen moderasi. Guru harus memiliki wawasan luas, sikap demokratis, serta kemampuan mengelola keberagaman di kelas. Mereka juga perlu dilatih untuk tidak terjebak dalam bias keagamaan dan mampu menanamkan nilai damai dalam pembelajaran.
- Penerapan pendidikan multikultural di sekolah dan kampus. Ini berarti membangun iklim pendidikan yang menghargai perbedaan etnis, agama, budaya, dan latar belakang sosial dengan semangat inklusif.
3. Pendidikan sebagai Benteng Ketahanan Sosial
Relasi antara agama dan negara harus dilihat sebagai hubungan yang saling mendukung, bukan saling mengancam. Pendidikan berfungsi sebagai benteng yang menjaga keberlangsungan ideologi bangsa di tengah dinamika global yang kompleks. Moderasi beragama harus menjadi nilai dasar dalam mencetak warga negara yang religius sekaligus nasionalis. Di sinilah pendidikan memainkan peran ganda: sebagai wahana transmisi ilmu pengetahuan dan sebagai ruang pembentukan identitas kebangsaan yang harmonis.
Sebagaimana ditegaskan oleh Suwendi dkk., pendidikan yang menolak keberagaman dan mengedepankan pemikiran monokultural justru berpotensi memupuk sikap intoleran dan kekerasan. Oleh karena itu, pendekatan multikultural dan pengembangan multiple literacies baik spiritual, sosial, dan kultural harus menjadi bagian integral dari sistem pendidikan nasional.