Mohon tunggu...
Ahmad Syairozi Dahlan
Ahmad Syairozi Dahlan Mohon Tunggu... Guru

Saya suka membaca tapi tidak dengan menulis, jika saya sudah menulis berarti ada alasan dibalik hal tersebut.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menjaga Harmoni: Relasai Agama dan Budaya dalam Masyarakat Indonesia

11 April 2025   23:05 Diperbarui: 11 April 2025   23:05 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Relasi antara agama dan budaya dalam konteks Indonesia merupakan suatu dinamika sosial yang kompleks, namun sarat makna. Indonesia, sebagai negara dengan keberagaman etnis, budaya, dan agama yang sangat luas, telah menunjukkan bahwa interaksi antara nilai-nilai agama dan praktik kebudayaan dapat berjalan berdampingan, bahkan saling menguatkan. Namun, seperti halnya relasi lainnya, hubungan ini juga kerap mengalami ketegangan, terutama ketika pemahaman agama dipersempit hanya pada aspek normatif dan tekstual, tanpa mempertimbangkan konteks kultural masyarakat yang bersangkutan.

Salah satu bentuk konkret dari akulturasi agama dan budaya yang dapat ditemukan di seluruh Indonesia adalah beragam ritual keagamaan yang menyatu dengan tradisi lokal. Selain tradisi kenduri di Jawa yang telah banyak dikaji, terdapat pula tradisi Maulid Nabi dengan nuansa budaya lokal di Sulawesi Selatan (misalnya Maudu Lompoa di Takalar dan Jeneponto), tradisi Tari Saman sebagai media dakwah di Aceh, hingga ritual Ngaben di Bali yang tidak bisa dilepaskan dari religiositas Hindu. Masyarakat di berbagai daerah secara aktif melakukan proses adaptasi dan reinterpretasi terhadap ajaran agama agar bisa hidup berdampingan dengan nilai-nilai budaya yang telah lama mengakar. Proses ini mencerminkan adanya teologi kultural, yakni pemahaman keagamaan yang terikat dengan pengalaman dan identitas lokal.

Relasi ini juga penting dilihat sebagai proses dialogis, bukan dominatif. Agama tidak semestinya dipaksakan untuk menggantikan budaya, tetapi berfungsi sebagai kekuatan moral dan spiritual yang membimbing masyarakat dalam melaksanakan tradisi mereka dengan cara yang lebih bermakna dan berkeadaban. Budaya, di sisi lain, memberikan "wadah" konkret agar ajaran agama bisa diekspresikan secara kontekstual, akrab, dan membumi. Dalam hal ini, budaya bukanlah lawan agama, melainkan mitra yang memungkinkan agama diterima dan dipraktikkan secara luas oleh masyarakat.

Namun, tantangan besar muncul ketika sebagian kelompok mengusung pemurnian agama dengan pendekatan skripturalis dan eksklusif. Praktik-praktik tradisional yang tidak secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur'an atau hadits misalnya, kerap dianggap sebagai bid'ah atau bahkan syirik. Pandangan semacam ini tidak hanya memutus relasi harmonis antara agama dan budaya, tetapi juga berpotensi menimbulkan konflik sosial dan menggerus identitas lokal yang telah terbentuk selama berabad-abad.

Di sinilah pentingnya pendekatan hermeneutika kontekstual, yang menempatkan pemahaman agama dalam kerangka waktu, ruang, dan budaya yang spesifik. Ulama dan cendekiawan Muslim seperti KH. Hasyim Muzadi dan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah lama mengedepankan model Islam yang toleran terhadap budaya lokal---Islam yang membumi (pribumisasi Islam), bukan Islam yang menghapus budaya. Gagasan ini tidak hanya relevan, tetapi juga mendesak untuk terus dikembangkan di tengah arus globalisasi dan ideologi transnasional yang sering kali menafikan konteks lokal.

Lebih dari itu, relasi harmonis antara agama dan budaya juga memainkan peran strategis dalam memperkuat integrasi nasional. Ketika masyarakat merasa bahwa keyakinan dan tradisi mereka dihargai, maka loyalitas terhadap bangsa dan negara akan semakin kokoh. Dalam konteks inilah Pancasila sebagai dasar negara memainkan fungsi integratif: menjembatani antara nilai-nilai religius dan kebudayaan Nusantara dalam satu kesatuan yang kohesif.

Sebagai penutup, relasi agama dan budaya di Indonesia seharusnya tidak dilihat sebagai dilema antara keimanan dan tradisi, melainkan sebagai peluang untuk menciptakan bentuk keberagamaan yang inklusif, kontekstual, dan humanis. Negara dan masyarakat sipil perlu mendorong ruang-ruang dialog dan pendidikan yang menumbuhkan kesadaran bahwa keberagaman ekspresi keagamaan adalah kekayaan, bukan ancaman. Dengan pendekatan yang tepat, agama dan budaya akan terus menjadi fondasi utama dalam menjaga harmoni sosial dan keutuhan bangsa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun