Gelagap malam yang kian membisu, termenung hati penuh tanda tanya.
"Adakah empati pada setiap manusia?"
Terngiang, memutar pertanyaan tersebut dalam haluan dan kenyataan.Â
Terkadang kita mampu untuk simpati, tapi hanya sekedar memberi. Tanpa merasa, apa yang sebenarnya mereka alami.
Terkadang kita bergurau penuh canda dan tawa, seakan kehidupan yang mudah kita tempuh ada di depan mata. Kita sadar, namun lupa. Di emperan kota, setiap saat mereka bekerja untuk menyambung kehidupan. Sedang kita, terlena oleh rayuan kata-kata yang mungkin saja tersimpan dusta!
Setiap manusia di bekali hati dan nurani. Namun lagi-lagi, manusia lupa saat ia 'Jaya'.
Padahal tangga kehidupan ada dalam kebersamaan, keragamaan dan kedamaain. Bukan pada kardus emosional.
Oke, lagi-lagi manusia dibenturkan oleh waktu dan keadaan. Kita berusaha menggunakan waktu sebaik mungkin, dan keadaan semaksimal mungkin.
Dalam circle yang sama, kita dihadapkan pada pola kehidupan yang beda. Masyrakat perkotaan, dan masyarakat pedesaan.
Bukan membedakan mereka atas faktor sosial.
Masyarakat perkotaan, identik bergelimang kerlap kerlip lampu jalanan setiap malam.