Mohon tunggu...
Ahmad Suhendra
Ahmad Suhendra Mohon Tunggu... Santri -

Lahir di Bogor, Pesantren di Bekasi, Kuliah di Yogyakarta dan Tinggal di Tangerang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Relasi Gender dalam Islam

10 Januari 2011   07:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:46 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tuhan menciptakan manusia dalam dua bentuk, yakni laki-laki dan perempuan. Adanya Adam sebagai perwakilan kaum laki-laki dan Hawa sebagai perwakilan kaum perempuan, mengundang atau bahkan menimbulkan suau pandangan bahwa Hawa (perempuan) yang menyebabkan Adam (laki-laki) “diturunkan” ke muka bumi. Dalam beberapa peradaban, dengan tidak menyebut semua peradaban, kaum perempuan dijadikan second class, bahkan dijadikan suatu hal (something) yang berbeda dengan laki-laki, untuk tidak menyatakan “barang”. Seperti dalam peradaban Hindu seorang istri harus rela mengakhiri hidupnya dengan dibakar hidup-hidup saat suainya meninggal. Terlebih saat masa jahiliyah derajat perempuan seperti tidak berharga. Dari beberapa contoh tersebut mengindkasikan adanya praktek diskriminasi atau menomor-duakan atas perempuan.

Islam datang dengan menganggungkan derajat perempuan, namun saat perjalanan terus berlalu “cerminan” segala aspek kehidupan manusia pun ditafsirkan yang berimplikasi kebenaran penafsiran tersebut relative dan nisbi. Karena tidaklah mungkin seorang mufassir terbebas dari sosio-politik yang mempengaruhinya dalam menafsirkan Alquran. Sehiggga sebagian aktifis akademik modern-kontemporer menyatakan adanya bias patriaki dalam penafsiran (produk tafsir) yang “mengunggulkan” kaum laki-laki dan mengesampingkan perempuan.
Persoalan yang penulis hadapi adalah apakah hakikat gender itu mengharuskan adanya perbedaan respon-sosial?apakah perempuan harus dipandang dalam kacamata sensitive-praxis?bagaimana relasi gender dalam pandangan islam?
Dalam makalah ini akan disajikan secara sederhana mengenai persoalan Relasi Gender dalam Islam; Suatu Kajian Filosofis.

A.    Hakikat Gender; suatu upaya kajian ontologis
Latar belakang munculnya konsep gender  berawal dari banyaknya problem yang menghimpit wanita secara akumulatif. Di antaranya perlakuan diskriminatif dan tindak kekerasan terhadap wanita. Perihal ini kemungkinan besar adanya taqlid dalam penafsiran yang berorientasi terhadap patriaki. Sehingga mengakibatkan anggapan bagi laki-laki sebagai yang “paling utama” dibanding perempuan (superioritas).

Secara etimologi, gender berasal dari bahasa Inggris, gender, yang berarti jenis kelamin (John M. Echol, 1983). Jender, dalam Women’s Studies Encyclopedia, adalah suatu konsep cultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional anatara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Namun perlu diketahui bahwa kata gender secara fungsional berbeda dengan kata jenis kelamin (sex).

Kata jenis kelamin merupakan penafsiran atau pembagian kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin memiliki penis, memiliki jakala dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat rahim dan saluran untuk melahirkan, memperoduksi sel telur (ovum), memiliki vagina dan memiliki alat menyusui. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau dapat dikatan sebagai ketentuan Tuhan (kodrat). Adapun nantinya (pada era sekarang) ada laki-laki yang mempunyai status of sex perempuan dan perempuan mempunyai status of sex laki-laki, itu merupakan perihal diluar kodrat manusia, bahkan menyalahi kodrat yang sudah ditentukan oleh Tuhan.

Sedangkan gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum Adam maupun Hawa yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa kaum hawa itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional jantan, perkasa. Ciri-ciri dari sifat tersebut merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Perubahan ciri-ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dan dari tempat ke tempat yang lain pula.

Salah satu hal yang menarik mengenai peran gender adalah peran-peran itu berbeda pada setiap kultur yang ada dalam tatanan masyarakat. Bahkan terjadi perkembangan peran pada suatu kultur tertentu. Sehingga dapat dikatakan bahwa peran tesebut amat dipengaruhi oleh sosio-kultur, uisa, dan latar belakang suatu etnis.
Bermula dari perbedaan biologis menimbulkan pembedaan dalam sosio-politik saat bermasyarakat. Dalam masyarakat lintas budaya, pola penentuan beban gender (gender assignment) memang lebih banyak mengacu kepada faktor biologis. Sehinggga terdapat pandangan sebelah mata (pembedaan) pembagian kerja secara jenis kelamin. Padahal sebenarnya al-Qur’an tidak mengaitkan jenis kelamin dengan gender atau dengan pembagian kerja tertentu atau dengan sifat-sifat maskulin (al-Rajul) dan feminis (al-Nisa`)
Keberadaan dan perbedaan gender seharusnya bukan menjadis suatu yang dijadikan asas structural, sehingga terdapat posisi yang lebih tinggi, namun sebaiknya menjadi asas fungsional yang saling melengkapi, melindungi, dan mendampingi.

B.    Relasi Gender dalam kajian epistemologis
Islam merupakan agama yang membawa misi persamaan (musawwa) antara manusia satu dengan yang lainnya, baik kaya-miskin, tua-muda, pejabat-rakyat, maupun perempuan-laki-laki. Memang, dalam Alquran dinyatakan al-Rijal qawwamuna ‘ala al nisa`, dalam surat al Nisa` ayat 34, adalah laki-laki sebagai pemimpin rumah tangga. Permasalahannya  adanya perbedaan dalam menilai, apakah pernyataan itu normative atau histories?. Apabila bersifat normative, maka kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga sebagai permanent. Namun, jika bersifat histories kepemimpinan rumah tangga disesuaikan dengan konteks sosial. Apabila konteks sosialnya berubah dengan sendirinya “Nash” tersebut (baca: al Rijal qawwamuna ‘ala al nisa`) akan ikut berubah, sehingga laki-laki belum tentu menjadi pemimpin.

Penjamuran yang terjadi sekarang memang laki-laki dianggap lebih tinggi dari perempuan dengan adanya nash QS. Al Nisa`: 34 tersebut. Sehingga nilai-nilai mengurangi nilai-nilai universal dan integralitas Islam sebagai agama rahmah li al ‘alamin.

Penciptaan Perempuan
Al-Qur’an membentuk kesetaraan gender dalam Islam dan meruntuhkan gagasan perbedaan radikal dan hierarki gender, terkait dengan asal-usul penciptaan manusia. Al-Qur’an “memandang” laki-laki dan pereempuan bukan hanya tak terpisahkan , tetapi jug sama secara ontologism, dan seatara. Dalam surat al-Nisa` ayat 1,
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamudari jenis yang sama dan darinya Allah menciptakan pasangannya dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”
Jelas bahwa al-Qur’an menolak pandangan-pandangan yang membedakan laki-laki dan perempuan
Mengenai proses penciptaan perempuan, dengan berpedoman pada surat al Nisa` diatas, Al-Zamakhsari memahami bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Al-Lusi menyebut tulang rusuk dimaksud adalah yang sebelah kiri berdasarkan hadist Bukhari-Muslim.Begitu pula Said Hawwa mufassir lainnya juga menyetujui argumen bahwa Hawa dijadikan dari tulang rusuk Adam. Namun, penulis lebih sependapat dengan penjelasan Quraish Shihab, bahwa tulang rusuk yang bengkok merupakan kata kiasan (majazi). Dalam arti bahwa hadis tersebut memperingatkan para laki-laki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana.

Pemikir kontemporer sekaligus tokoh feminisme dan teolog Muslimah Riffat Hasan menolak penafsiran klasik tadi.  Riffat mempertanyakan kenapa dipastikan saja nafs wahidah itu Adam dan zaujaha  itu Hawa, isterinya. Kata nafs adalah netral, tidak menunjuk kepada laki-laki atau perempuan.  Lalu kata Adam, menurut penelitian Riffat  jata itu berasal dari bahasa Ibrani artinya tanah berasal dari kata adamah yang sebagian besar berfungsi sebagai istilah generik untuk manusia. Menurut Riffat, al-Qurán tidak menyatakan Adam manusia pertama dan tidak pula menyatakan Adam laki-laki. Adam adalah kata benda maskulin , hanya secara linguistik bukan jenis kelamin. Adam, kata Riffat merupakan istilah sama dengan basyar, al-insan dan al-nas yang menunjukkan arti  “manusia” bukan jenis kelamin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun