Di balik selembar sertifikat SKP yang sering kali dipajang dengan bangga di meja kerja atau dipamerkan di media sosial, tersimpan kisah tentang ribuan tenaga kesehatan yang rela merogoh kocek dalam untuk sekadar memenuhi syarat kredit profesi. Namun, apakah semua ini benar-benar sepadan dengan manfaat yang diperoleh? Ataukah SKP hanya menjadi formalitas yang lebih banyak menguntungkan penyelenggara seminar daripada pesertanya?
Seminar sebagai Mesin SKP
Bagi banyak tenaga kesehatan, mengikuti seminar bukan lagi soal memperkaya pengetahuan, melainkan upaya untuk mengejar angka. Setiap seminar menawarkan sederet manfaat di atas kertas: SKP, jejaring, pengetahuan terbaru, hingga sertifikat. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, ada fenomena yang menarik. Banyak peserta hanya mengejar sertifikat tanpa benar-benar memperhatikan kualitas materi yang disajikan.
Biaya yang dikeluarkan pun tidak main-main. Mulai dari registrasi, transportasi, akomodasi, hingga konsumsi, semuanya menambah beban finansial yang tak sedikit. Untuk satu seminar dua hari saja, seorang peserta bisa merogoh kocek jutaan rupiah. Jika ditambah dengan biaya fasilitas seperti jejaring dan dokumentasi, angka ini bisa melonjak drastis.
Namun, pertanyaan yang lebih mendasar adalah: apakah investasi ini sebanding dengan manfaat yang diperoleh?
Menghitung Nilai Sejati SKP
Mengukur nilai sejati SKP seharusnya tidak hanya soal angka, tetapi juga tentang kualitas. Bayangkan seorang apoteker yang mengikuti seminar tentang manajemen klinis, atau seorang perawat yang mengambil pelatihan tentang teknologi radiologi. Meski SKP tetap didapat, apakah materi tersebut benar-benar relevan dengan praktik mereka sehari-hari?
Inilah yang membuat Cost-Benefit Analysis (CBA) menjadi penting. Dengan pendekatan ini, kita bisa menilai apakah manfaat yang diperoleh sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Selain itu, CBA juga mempertimbangkan aspek seperti kualitas materi, jejaring, dan kesesuaian topik dengan latar belakang profesi.
Ketika Kredit Mengalahkan Kompetensi
Dalam survei informal yang dilakukan pada beberapa tenaga kesehatan, banyak yang mengakui bahwa mereka lebih memilih seminar yang menawarkan banyak SKP dengan biaya rendah, tanpa terlalu memperhatikan kualitas materinya. Ini seolah menegaskan bahwa SKP telah berubah dari investasi kompetensi menjadi sekadar angka untuk memenuhi syarat administrasi.
Namun, apakah ini sepenuhnya salah? Tidak sepenuhnya. Di tengah tuntutan administratif dan tekanan pekerjaan, sering kali tenaga kesehatan tidak punya banyak waktu untuk memilih seminar yang benar-benar berkualitas. Akibatnya, mereka cenderung memilih yang praktis dan ekonomis.