Mohon tunggu...
Ahmad Sobany
Ahmad Sobany Mohon Tunggu... -

Aku orang yang lurus-lurus aja...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ngitungnya Gak Pakai Matematika

13 April 2010   16:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:49 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selama 20 tahun, sejak kami bertetangga, setiap jam 8 pagi aku melihat dia melintas depan rumahku dengan mengayuh sepeda onta, demikian orang di kampungku menyebut sepeda model lama. Pak Mukmin, boleh kita sebut demikian, pergi memajang kotak kaca berukuran kira-kira 50 cm x 80 cm di trotoar seberang pasar.

Ditungguinya kotak kaca itu hingga jam empat sore. Tak lupa, setiap jam 12 siang Pak Mukmin menutupi kotak kacanya dengan kain, kemudian berjalan menuju musholla. Setelah salat dhuhur, dia menikmati makan siang yang dibawanya dari rumah kemudian beristirahat sejenak. Rebahan di teras musholla. Dia bekerja menjual jasa reparasi arloji.

20 tahun yang lalu dia masih lajang. kemudian menikah dan sekarang memiliki 6 orang anak. Istrinya hanya seorang ibu rumah tangga, sehingga perekonomian keluarga hanya mengandalkan penghasilan Pak Mukmin. Ya, dengan jam 8 pagi keluar rumah dan pulang jam 4 sore serta masih mengendarai sepeda ontanya.

Aku pernah mengajak ngobrol soal kehidupan rumah tangganya. Dia bercerita, saat masih bujangan penghasilan setiap hari hanya cukup untuk makan sendiri, itu pun dirasa sangat pas-pasan. Keinginan untuk membantu orang tua hanya bisa dilakukan sewaktu-waktu dan jumlahnya tidak seberapa. Justru sekarang dengan beban 6 orang anak dan seorang istri, Pak Mukmin merasa tercukupi kebutuhan rumah-tangganya. Tidak itu saja, bersama dua orang adiknya, dia bisa membiayai hidup kedua orang tuanya. Bahkan secara patungan, tiga orang kakak adik itu telah berhasil mewujudkan cita-cita kedua orang tua mereka yang sudah sangat renta untuk pergi ke tanah suci.

Pak Mukmin bisa membangun rumah tinggal walau sederhana. Untuk anak-anak dan istrinya dia membelikan dua buah sepeda motor. Dia sendiri masih setia dengan sepeda ontanya untuk pergi bekerja. Anak-anaknya semua sekolah kecuali si bungsu yang baru berusia 2 tahun. Bahlkn tahun ajaran baru kemarin putrinya yang sulung dia masukan ke sebuah akademi kebidanan dengan biaya daftar ulang sebesar Rp 17.500.000,- Dia bayar kontan, tanpa pakai nyicil. Lagian mana boleh sih daftar ulang sekolah pakai nyicil?

Aku heran, bagaimana cara dia mengatur keuangannya sehingga bisa mengumpulkan uang sebanyak itu dari penghasilan usahanya yang cuma itu-itunya? *Subhanallah, Mas. Saya sendiri juga bingung. Padahal sumber penghasilan saya Mas tahu sendirilah. Dari awal saya menjadi tukang service arloji sampai hari ini dalam sehari pelanggan yang datang berkisar 3 – 5 orang, paling banter 7 orang. Ngitungnya gak pakai matematika hehe….” katanya sumringah.

Uang segitu tentu saja sangat besar bagi orang seperti Pak Mukmin. Tanpa harus menjual sesuatu atau berhutang. “Iyalah, Mas. Bagi saya sangat besar. Bahkan kalau dilogikakan saya harus menabung beberapa tahun agar bisa terkumpul uang segitu. Tujuh belas setengah juta bagi seorang Mukmin sangat besar…. tapi bagi Allah tak berarti sama sekalil.”

Mengamati kehidupan keluarga Pak Mukmin, aku seperti membaca buku tebal tentang pelajaran hidup. Tentang kuasa Tuhan yang acapkali tidak bisa dicerna otak manusia. Teori-teori barat tentang pertumbuhan penduduk yang selalu pesimistis terbukti tidak relavan. Hitungan matematis tidak bisa menjangkau limpahan rahmat Tuhan kepada makhluk-Nya, sebagaimana janji-Nya dalam Al-Qur’an surat Huud ayat 6; "Tidak ada yang merayap di atas bumi kecuali ditanggung Allah rezekinya. Dan Allah mengetahui tempat tinggal (habitat) mereka, Allah mengetahui tempat menyimpan rezeki mereka. Semua itu berada di dalam kitab yang nyata (alam semesta)."

Rejeki Tuhan diberikan sejak spermatozoid seorang ayah berada dalam indung telur ibu. Sperma berubah wujud menjadi segumpal darah, lalu berkembang menjadi embrio. Pada saatnya tanpa kita minta, Tuhan menumbuhkan tangan, kaki, rambut, mata, hidung dan instrument-instrument lain dari jasad.

Selain bagian-bagian dari jasad wadhak, Tuhan melengkapinya dengan software super canggih, yakni otak untuk berfikir dan hati untuk merasakan. Kemudian kita lahir dari rahim ibu sebagai bayi merah yang lemah tanpa daya. Rejeki Tuhan pun datang tanpa diminta melalui ayah ibu, sampai pada saat tertentu kita harus mengupayakan sendiri rejeki Tuhan yang tidak bisa kita terima kecuali setelah berusaha.

Cara manusia berusaha untuk menafkahi diri sendiri dan keluarganya adalah dengan bermanuver menggunakan instrument-instrument yang telah dikaruniakan Tuhan kepadanya. Dengan jasad wadhaknya manusia berinteraksi dengan aktivitas yang bermanfaat bagi kehidupannya. Sementara otaknya yang mengatur strategi dan rencana-rencana, hatilah yang menjadi sensor agar semua manuver dan aktivitasnya meraih rejeki bisa dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan di akhirat nanti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun