Artikel ini ditulis sebagai refleksi atas acara Graduasi PKH 2 Mei 2025 di Universitas Brawijaya, dan sebagai kontribusi terhadap wacana pembangunan sosial yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Â
Pendahuluan: Bansos dan Paradoks Ketergantungan
Dalam upaya mewujudkan keadilan sosial, negara hadir melalui berbagai bentuk program bantuan sosial (bansos). Bantuan ini dirancang sebagai mekanisme perlindungan terhadap kelompok rentan dan miskin, terutama dalam menghadapi gejolak ekonomi dan ketimpangan struktural. Di Indonesia, salah satu instrumen utama yang digunakan untuk penanggulangan kemiskinan adalah Program Keluarga Harapan (PKH), yakni skema bantuan bersyarat yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga melalui investasi pada pendidikan, kesehatan, dan gizi anak. Namun, di balik fungsi mulianya, bansos menyimpan paradoks: ia bisa menjadi tali pengaman sekaligus jebakan ketergantungan sosial.
Dilema klasik inilah yang terus menjadi perdebatan dalam ranah kebijakan sosial. Di satu sisi, keberadaan bansos memberikan jaring pengaman minimum untuk masyarakat yang tidak memiliki daya tawar dalam sistem ekonomi. Di sisi lain, jika tidak disertai strategi pemberdayaan yang sistematis, bansos justru berpotensi memelihara ketergantungan struktural, menumpulkan inisiatif individu, dan menciptakan apa yang disebut sebagai dependency syndrome. Kritik semacam ini tidak baru, dan menjadi landasan filosofis munculnya pendekatan baru dalam penyaluran bantuan sosial, yakni pendekatan yang berorientasi pada keberdayaan dan kemandirian.
Di sinilah letak pentingnya graduasi dalam konteks kebijakan bansos. Graduasi bukan sekadar mekanisme administrasi untuk mengeluarkan keluarga dari daftar penerima bantuan, melainkan pergeseran dari pendekatan charity-based menuju pendekatan capability-based. Dengan kata lain, graduasi adalah upaya mentransformasikan posisi masyarakat dari objek bantuan menjadi subjek pembangunan.
PKH yang sejak awal mengusung prinsip conditionality, memberikan bukan hanya berdasarkan status kemiskinan, tetapi juga atas dasar pemenuhan kewajiban tertentu yang mendorong pembangunan kualitas sumber daya manusia keluarga penerima. Dalam konteks inilah, graduasi muncul sebagai fase lanjutan yang menandai keberhasilan intervensi: ketika keluarga sudah tidak lagi membutuhkan bantuan karena secara objektif telah mampu bertahan dan berkembang secara mandiri. Namun tentu saja, pertanyaan besar yang menyertainya adalah: sejauh mana mekanisme graduasi ini benar-benar menggambarkan keberhasilan substantif, dan bukan sekadar keberhasilan administratif?
Â
Makna Filosofis "Graduasi" dalam Konteks Sosial
Dalam kehidupan akademik, istilah graduasi merujuk pada momentum simbolik sekaligus substansial ketika seseorang menyelesaikan satu jenjang pendidikan dan dinyatakan layak untuk naik ke tahap berikutnya. Makna tersebut ternyata relevan pula ketika digunakan dalam konteks bantuan sosial. Ketika keluarga penerima manfaat PKH dinyatakan lulus atau "naik kelas", proses itu sejatinya bukan hanya perubahan status administratif, tetapi juga transformasi sosial. Mereka tidak lagi sekadar penerima, melainkan warga negara yang telah diberdayakan untuk mengambil peran aktif dalam kehidupan ekonomi dan sosial.