Mohon tunggu...
Ahmad Sahudin
Ahmad Sahudin Mohon Tunggu... Guru - Kepala SDN 2 Sekotong Timur
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saya adalah seorang guru yang suka mengekspresikan diri dengan foto-foto dan jalan-jalan menikmati keindahan alam.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Soden Turun Gunung_Sambungan 3

15 Juni 2022   05:07 Diperbarui: 15 Juni 2022   05:11 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

....................................................................................................................................................................................................................................................

Memburuh dan Mengabdi di Madrasah

            Setelah beberapa lama menikah, kehidupanku masih biasa-biasa saja dari sebelumnya. Keadaan ekonomiku sangat lemah. Kurang lebih satu setengah tahun setelah menikah aku hidup bersama dengan orang tua. Selama itu pula aku belum juga merasakan pahit manis berumah tangga. Selama itu hampir seluruh kebutuhan dapur masih ditanggung oleh ibu. Aku ingin seperti orang lain walaupun hidup menderita tapi sudah mandiri. Akhirnya melalui istri pamanku kuutarakan keinginanku untuk berpisah dengan ibuku. Rupanya ibuku segera menanggapi keinginanku. Tak lama kemudian aku pun dipisah untuk hidup mandiri bersama istriku.

            Setelah beberapa minggu berpisah, beban hidup mulai kurasakan. Saat itu segala sesuatu yang berkaitan dengan kebutuhan dapur dan lainnya harus kupenuhi sendiri. Aku mulai giat bekerja dengan cara menjadi buruh bata. Setiap hari aku ikut mengantar batu bata ke kota atau ke mana saja sesuai permintaan pembeli. Dari memburuh bata aku bisa mendapatkan upah yang sedikit membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Begitu juga dengan istriku, dia juga membantu dengan cara mencetak batu bata dan sesekali ikut membongkar batu bata milik orang lain yang sudah dibakar.

            Suatu hari persediaan dapurku habis dan upah mengangkut bata belum juga dikasih. Aku dan istriku sangat sedih sekali. Istriku sempat mengeluarkan air mata. Aku malu meminta bantuan atau pinjaman beras atau pun uang pada ibuku. Hari itu aku tidak makan seharian. Dalam hati berdoa, "Ya Allah sungguh berat rasanya keadaan ekonomiku saat ini. Ku mohon kiranya Engkau membuka pintu rezeki untuk keluarga kecilku ini." Karena perut sudah tidak bisa diajak kompromi, akupun pergi minta pinjaman beras pada bibiku (istri pamanku). Beliau pun bertanya "Kok kamu pinjam beras ke saya, mengapa tidak minta pada ibumu? Kan ibumu jualan." Aku pun menceritakan keadaanku sebelumnya dan memberi tahu bahwa aku malu minjam sama ibuku. Beliau pun mengasih beras padaku. Tanpa sepengetahuanku rupanya bibiku menceritakan keadaanku kepada ibuku. Setelah bertemu dengan ibuku, aku langsung dipanggil. Aku pun mendekati ibuku. Tampak pada raut wajahnya perasaan yang sedih sekali. Beliau berkata, "Nak, kalau kamu tidak punya beras mengapa tidak bilang sama ibu? Mengapa harus tidak memasak dan menahan lapar? Mengapa harus minta pinjaman ke orang lain dulu? Ibuku sambil menangis menasihatiku." Aku hanya terdiam saja tidak mengeluarkan sepatah katapun. Ibu lanjut berucap, "Nak, maafkan ibu. Ibu tidak pernah coba masuk ke rumahmu untuk melihat keadaanmu." Aku pun bilang, "Ibu tidak perlu minta maaf. Aku yang salah karena tidak bercerita pada ibu." Setelah kejadian itu, baik aku maupun ibu selalu berkomunikasi terkait dengan kebutuhan. Seandainya persediaan dapurku habis, istriku terkadang minta pinjaman pada ibuku. Namun, namanya orang tua apa yang diberikan tidak dianggap sebagai pinjaman. Beliau terkadang memberi beras bila persediaan dapur sudah menipis.

Melihat keadaan ekonomiku  yang begitu-begitu saja, keluargaku yang di Tempos sering mengatakan pada ibuku bahwa bagaimana mau hidup sejahtera kalau hanya bekerja sebagai buruh bata. Coba kalau mau ekonomi berubah dan hidup sejahtera pergi ke luar negeri. Namun saat itu aku tidak sedikitpun punya niat untuk merantau ke negeri jiran (Malaysia). 

Apalagi untuk merantau ke Malaysia saat itu sebagian besar secara illegal. Sungguh aku tidak berani. Selain itu, biaya ke Malaysia cukup besar sementara aku tidak punya uang yang cukup. Saat itu untuk merantau ke Malaysia rata-rata orang pinjam uang dengan jaminan uang pinjaman kembali dua kali lipat. Aku tidak mau seperti itu. Kalau dapat tempat yang bagus dan berhasil di Malaysia. Kalau sebaliknya, maka beban hutang yang akan kita tanggung.

Selain bekerja membuat dan memburuh batu bata, akupun diajak oleh kakakku untuk ikut mengabdikan diri di salah satu pondok pesantren yang tidak jauh dari rumahku. Aku bilang sama kakakku, "Bagaimana aku bisa menjadi guru? Aku kan tidak pernah kuliah. Apakah bisa jadi guru di madrasah hanya sekedar tamatan Madrasah Aliyah atau SMA?"  

Kakakku pun bilang, "Di madrasah banyak yang belum kuliah, bahkan sebagian gurunya masih tamatan SMA. Kalau mau biar besok saya beritahu pimpinan yayasan. Siapa tahu kamu diterima sebagai tenaga administrasi atau guru mata pelajaran. 

Kebetulan kamu kan jurusan IPA sehingga kemungkinan besar diterima menjadi guru biologi atau fisika." Aku pun sedikit ragu untuk menerimanya. Aku terdiam sesaat dan mengatakan,  "Tidak apalah akan aku coba. Tapi jangan berikan mata pelajaran fisika padaku. Kalau sekedar biologi dan matematika tingkat tsanawiyah mungkin bisalah."

Setelah aku diterima mengabdi di madrasah, akupun mulai aktif masuk sekolah. Kala itu aku diterima sebagai salah seorang guru tidak tetap yayasan. Aku diberikan tugas untuk mengajar bidang studi matematika. Pada awalnya aku merasa agak kaku dan sedikit grogi menghadapi anak-anak. Namun untung saja aku sudah ada pengalaman menjadi sales. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun