Mohon tunggu...
Ahmad Sahidin
Ahmad Sahidin Mohon Tunggu... Lainnya - Learner

Alumni UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Selanjutnya

Tutup

Diary

Dosa dan Salah

29 November 2024   14:54 Diperbarui: 29 November 2024   21:05 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Siang itu saya bertemu sesama pengajar. Ia mengalami sakit. Cukup berat. Ia mengisahkan harus banyak istirahat dan minum obat teratur. Banyak obat yang harus dikonsumsi. Dalam obrolan itu, sampailah ia pada upaya "pasrah" kepada Allah. "Kira-kira dosa dan salah apa yang kuperbuat hingga sakit berat begini," ucapnya. Tampaknya ia menganggap bahwa sakit akibat dari dosa dan salah. Saya hanya diam. Dalam hati, saya pun mengiyakan pernah muncul kata-kata demikian dalam benak. 

Kawan saya bicara, "Sekarang mah hanya doa dan ikhtiar saja. Ada buku Sahifah Sajjadiyah yang sering saya baca." Saya senyum dan acungi jempol. Mungkin itu pesan Ilahi melalui sakitnya agar punya banyak waktu dan meluangkan kesempatan untuk membaca buku Sahifah Sajjadiyah, kumpulan doa dari Imam Ali Zainal Abidin putra Imam Husain as, cucu Rasulullah SAW.  

Selepas ngobrol itu, saya teringat dengan kejadian jatuh dari motor sekira Senin lalu. Di gang menuju rumah. Saya tampaknya sedang tidak fokus. Ada anak lari di gang. Sontak saya rem. Kebetulan ada pasir. Jatuhlah saya tertimpa motor. Tak bisa angkat motor. Jempol tangan kiri dan telunjuk terasa sakit. Beruntung ada tukang air galon yang cepat membantu saya berdiri. Jari tangan dan ujung kaki kanan serta pundak kanan terasa sakit hingga kini. Jalan pun terpincang pincang. Moga tidak lama. 

Saya berusaha paksakan saja saat masuk sekolah untuk mengajar. Kalau terasa sakit saya coba alihkan pada dzikir dan shalawat. Itu yang bisa lakukan. Entah berapa kali saya jatuh dari motor. Belum kapok tubuh ini merasakan sakit. Terjadi peristiwa yang sama. Kenapa demikian? Sakit ditubuh saja dengan faktor kelalaian sendiri sudah terasa ripuh. Apalagi nanti di akhirat. Duh, Ilahi ampuni aku.

Dulu saat saya jatuh dari motor dan ada yang mengetahui kondisi saya. Kawan saya, yang kini almarhum segera kontak dan mengirim orang untuk memijat dan cek kondisi. Luar biasa perhatiannya. Sungguh itu bukti persaudaraan sesama muslim. Saya mengenangnya kala tubuh terkena sakit. Moga almarhum berada dalam kasih sayang Ilahi. Aamiin Ya Robbal 'alamiin.

Kini--meski saya ceritakan --belum ada yang seperti almarhum. Sekian kali sakit hanya dirasakan sendiri dan disembuhkan oleh diri sendiri. Serba sendiri. Saat kondisi tersebut persaudaraan, keluarga, dan perkawanan tidak terasa manfaatnya. 

Saya hampir menyimpulkan bahwa empati sulit dibuktikan pada masa kini. Kawan dan saudara akan "kabur" kala kita tak punya dan menderita. Kabarnya, mereka akan merapat kalau kita lagi makmur dan jaya raya. Apalagi sedang berkuasa pasti akan intensif menghubungi kita. Ada petuah yang beredar di medsos: perbanyak uang nanti saudara dan teman akan banyak berdatangan dan mengakui keberadaan kita. Jika sebaliknya maka akan menjauh mereka. 

Pada konteks ini, saya ingat pertanyaan sang kawan: dosa dan salah apa, yang kuperbuat? Daripada memikirkan yang demikian, saya pilih baca buku, menerima apa adanya, dan doa. Ya karena harapan hanya kepada Ilahi diserahkan.  Allahumma Shalli 'ala Sayyidina Muhammad wa 'ala Aali Sayyidina Muhammad. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun