Mohon tunggu...
Ahmad Sahidin
Ahmad Sahidin Mohon Tunggu... Freelancer - Alumni UIN SGD Bandung

Warga Kabupaten Bandung. Sehari-hari beraktivitas memenuhi kebutuhan harian keluarga. Bergerak dalam literasi online melalui book reading and review (YouTube Shalawat Channel). Mohon doa agar kami sehat lahir dan batin serta dimudahkan dalam urusan rezeki.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Hari Ketiga Ramadan, Membaca dan Mengulas Buku

26 April 2020   05:44 Diperbarui: 26 April 2020   06:55 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Hari ini, hari ketiga di Bulan Suci Ramadan. Sebagai muslim tentu saya melaksanakan puasa. Entah itu masuk kategori syariat, tarekat, atau hakikat. Yang penting puasa saja dengan niatan lillahi ta'ala.

Dan sejak merebaknya Covid19 maka aktivitas saya tidak lepas dari buku dan hanya di rumah saja. Kalau pun ada tugas dari sekolah, ya dikerjakan pakai daring. Hal ini termasuk mengajar pun via online. 

Dalam satu pekan memang pihak sekolah meminta guru untuk piket. Saya pun datang untuk piket. Bersama dua guru lainnya, di sekolah hanya ngobrol dan diskusi pelajaran serta mengecek aktivitas daring para murid yang sudah dapat tugas. Setelah itu kembali ke rumah. 

Di rumah, saya beraktivitas. Beres-beres, antar istri ke warung, nyapu dan pel lantai. Sesekali bantu istri menyiapkan makanan di dapur. Dan tentu saja masih membaca buku dan membuat bahan ajar untuk murid via online. Saya biasa pakai classroom dan moodle, tetapi kini coba menggunakan voice note. Untuk vidio belum dilakukan. Dalam voice note, saya cerita terkait pelajaran dan meminta murid untuk nyimak dengan disertai mencatat. Kemudian jika ada pertanyaan diminta untuk kirim via wa dan email. Dan selama aktivtas belajar via daring belum ada kendala dari aspek pembelajaran dan bahan ajar. Memang ada kendala, yaitu kuota. 

Kini momentum Ramadan, pelajaran via daring masih lanjut. Di sekolah tempat saya mengajar, untuk bulan ini diberikan pembelajaran online dengan basis ilmu keislaman dan kecakapan hidup. Murid disuruh tadarus dan dibagi dalam kelompok supaya terkejar tuntas 30 juz Alquran. Tidak hanya murid, guru pun dapat juz yang harus dibaca. Selain itu murid secara online dapat vidio dan voice note kecakapan hidup personal meliputi cara membersihkan kamar, pengetahuan tata boga, diminta melayani orangtua dan saudaranya di rumah. Belajar mandiri dari mulai bangun, mandi, menyiapkan makan dan mencuci setelahnya, membantu aktivitas orangtua dengan cara meminta pekerjaan rumah kepadanya.

Meski bulan suci Ramadan, saya masih membaca buku dan tadinya berupaya untuk jeda bikin ulasan buku. Inginnya terus baca buku saja. Namun, entah kenapa saat tidak menulis dalam satu pekan terasa ada yang kurang. Karena itu, saya coba untuk menulis apa saja. Ya termasuk menulis ulasan buku lagi.

Pada sabtu pagi kemarin saya coba bikin ulasan atas buku yang mengisahkan seorang Arab di Makkah abad 6 Masehi. Buku yang saya baca berjudul Sirah Ibnu Hisyam, terjemahan jilid satu. Buku ini dulu saya beli saat kuliah dan tidak terbaca full karena halamannya sampai 700an. Lalu, saat masa social distancing ini saya baca. Dalam buku tersebut ada kisah tentang seorang warga Makkah, Arab, yang tidak menganut agama Nasrani maupun Yahudi, bahkan tidak menyembah berhala. Ia tidak suka dengan perilaku jahiliah orang-orang Arab sebelum Islam muncul disebarkan Nabi Muhammad Saw. Menariknya dalam riwayat bahwa orang  tersebut mengakui pengikut agama Ibrahim. Dan pada sebuah pertemuan dengan bangsawan Makkah menyatakan mengecam kaum penyembah berhala. Namun, orang yang demikian tidak banyak. Sampai wafat pun diceritakan tidak banyak yang ikut agamanya. Orang tersebut bernama Zaid bin Amr bin Nufail.

Zaid bin Amr tidak menyembah berhala, menjauhi patung-patung, tidak memakan bangkai dan darah serta tidak mengonsumsi daging hewan yang disembelih atas nama berhala. Zaid meminta pada orang-orang Makkah agar menghentikan mengubur bayi perempuan. Suatu ketika dihadapan kaum Arab berkata: "Sembahlah Tuhan Ibrahim."

Ketika masa tua, Zaid pernah menyandarkan punggungnya di dinding Kabah. Kemudian berkata, "Hai orang-orang Quraisy, demi Dzat yang jiwaku ada ditangan-Nya, tidak ada seorang pun di antara kalian selain aku berpegang teguh pada agama Ibrahim. Ya Allah, seandainya aku mengetahui wajah yang paling Engkau sukai, pasti aku menyembahnya. Namun aku tidak mengetahuinya." Setelah menyatakan itu Zaid bersujud dengan posisi menghadap Kabah.

Sosok Zaid bin Amr bin Nufail ini, saya ketahui dari buku Sirah Ibnu Hisyam. Bahwa seorang putra Zaid, yaitu Said bin Zaid, bersama Umar bin Khaththab bertanya kepada Rasulullah Saw, "Bolehkah kita memintakan ampunan (kepada Allah) untuk Zaid bin Amr?" Rasulullah Saw menjawab, "Ya, boleh. Sungguh, dia dibangkitkan sebagai satu umat." 

Tentu ini riwayat yang amat jarang sampai di tengah masyarakat Islam Indonesia. Saya heran saat Rasulullah Saw membolehkan orang Islam memintakan ampunan kepada Allah untuk orang non-Islam dan Zaid bin Amr dianggap sebagai umat tersendiri.

Mari sedikit melintas sejarah. Sudah diketahui umum bahwa ajaran dan otoritas agama, setelah Nabi Ibrahim as, berlanjut kepada dua putranya, Ismail dan Ishaq, sehingga ajaran agama Nabi Ibrahim as mengalir dari keduanya. Darinya muncul agama yang dibawa Nabi Musa as, yang disebut Yahudi dan agama yang dibawa oleh Nabi Isa as disebut Nasrani.

Agama-agama ini bisa dikatakan melanjutkan agama Ibrahim as. Terkait ini, yang layak direnungkan adalah ajaran Nabi Ibrahim as ternyata masih dianut di Makkah (saat muncul agama Islam) sebagai ajaran yang tersisa dari nenek moyang. Konon Abdul Muthalib dan Abu Thalib dianggap menganut agama Ibrahim as, yang berarti masuk penganut agamanya Zaid bin Amr.  Tentang Zaid bin Amr, saya heran mengapa agama Yahudi dan Nasrani, yang jelas melanjutkan misi Ilahi dari Nabi Ibrahim as tidak dianutnya? 

Bahkan, seorang Nabi Muhammad Saw yang notabene pemegang otoritas agama Ilahi yang terakhir (Islam) mengakui agama Zaid bin Amr sebagai satu umat tersendiri. Dan menariknya Nabi saat di Madinah membiarkan orang-orang Yahudi dan Nasrani menjalankan agamanya sendiri. Padahal, saat itu Nabi berkuasa untuk mengubah keyakinan mereka. Dan ini tampaknya layak menjadi bahan diskusi. *** (Ahmad Sahidin)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun