Mohon tunggu...
Ahmad Risani
Ahmad Risani Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Menulis apa saja

Selanjutnya

Tutup

Politik

Memaknai Politik Kampus

29 Januari 2013   09:00 Diperbarui: 4 September 2015   19:19 6235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1359450643554366256

Memaknai Politik Kampus

“Sampaikanlah Pada ibuku, aku pulang terlambat waktu, ku akan menaklukan malam, dengan jalan fikiranku”. (Ost. GIE)

Politik kampus adalah manifestasi dari gerakan mahasiswa. Berwujud pemerintahan mahasiswa. Kampus sebagai tempat lahirnya generasi intelektual masa depan, berpengaruh besar terhadap pembangunan manusia yang berkualitas dan kompeten dibidangnya. Selain itu, kampus juga merupakan tempat pertaruhan ideologi dan kaderisasi, sehingga adanya gerak politik di kampus adalah sebuah keniscayaan. Karena hal ini berkenaan dengan ideologisasi dan pendidikan politik.

Politik kampus kerap disalahpahami sebagai ujud politisasi kampus (politik praktis), padahal dalam realitasnya politik kampus adalah lawan sekaligus oposisi dari politik praktis. Tak jarang kesalahpahaman inilah berdampak kultural bagi sebagian besar mahasiswa dalam memandang politik kampus. Dinilai sebagai gerakan pragmatis yang bergerak hanya untuk mendapatkan posisi-posisi strategis tertentu dilingkungan kampus. Di satu pihak, kelompok gerakan disebut pragmatis; di lain pihak, kelompok “pencela” disebut apatis-apolitis. Pada akhirnya tidak ada titik temu sinergi antar keduanya.

Kampus adalah ruang industri pemikiran, sekaligus tempat yang paling teruji untuk mengukur kompetensi politik, begitulah yang pernah diungkapkan Anis Matta. Sehingga tidak heran, terjadi pertaruhan ideologi dan usaha hagemonik – meminjam istilah Gramsci – sebagai upaya untuk memperebutkan pengaruh politik sekaligus pembentuk stereotype gerakan mahasiswa yang diinginkan oleh kelompok tertentu.

Bagi organisasi gerakan, seperti KAMMI, HMI, PMII misalnya. Politik kampus adalah salah satu entitas yang mesti diperjuangkan. Tentunya, bukan berarti berkonotasi negatif dan sarat kepentingan. Melainkan sebagai usaha untuk menghidupkan kultur gerakan mahasiswa dan membangun kesadaran atas kondisi yang melanda negeri ini.

Menduduki posisi sebagai presiden atau gubernur mahasiswa dengan struktur-struktur didalamnya misalnya, secara tidak langsung turut membantu usaha perbaikan masyarakat kampus agar lebih respon dan mampu bergerak dalam memberikan solusi. Di waktu yang sama juga membelajarkan hakekat berpolitik bagi mahasiswa, baik tentang kepemimpinan, keorganisasian, strategi dan taktik, hingga kebijakan kampus.

Pengabdian, internalisasi dan menjawab sinisme

Mahasiswa sebagai creative minority memiliki segudang ide dan gagasan segar dalam menyikapi persoalan yang dihadapi masyarakat kita saat ini. Sehingga perlu adanya saluran untuk mengaktualisasikan diri. Jiwa-jiwa muda yang hidup penuh kepedulian, keprihatinan, dan gagasan selayaknya dieksistensikan agar tidak mati dalam pusaran pragmatisme. Keberadan organisasi mahasiswa di lingkungan internal dan eksternal kampus memberikan ruang dialektika sekaligus panggung unjuk kerja. Dengan demikian kehidupan kampus akan semakin dinamis dan progresif lewat kerja-kerja intelektual dan moral oleh gerakan mahasiswa.

Melalui politik kampus kita belajar bagaimana memimpin masyarakat, tidak semata dilingkungan kampus. Keberadaan politik kampus bermanfaat secara luas dalam kehidupan masyarakat, misalnya dengan turut mengawal kebijakan-kebijakan pemerintah dan advokasi masyarakat – dilakukan dengan – aksi-aksi sosial, aksi dialogis, demonstrasi, aksi menulis, serta agenda-agenda lainnya.

Selain itu, politik kampus menjadi saluran internalisasi nilai-nilai (kejujuran, tanggungjawab, kepedulian, dan amanah). Sebagai gerakan moral, Gerakan mahasiswa berperan serta dalam membangun keshalihan sosial. Terlebih jika kita melihat kondisi perpolitikan di tanah air akhir-akhir ini, semakin terombang ambing dalam pusaran korupsi dan manipulasi. Politik kampus dapat menjadi antitesa bagi kondisi buruk tersebut.

Sebagai antitesa atau countertype atas kondisi perpolitikan saat ini, sebagai gerakan intelektual dan moral yang teraktualiasi dan terinternalisasi, secara otomatis gerakan mahasiswa menjawab sinisme-sinisme yang beredar dalam alam pikiran sebagian besar mahasiswa. Sinisme adalah pandangan meremehkan terhadap gerakan mahasiswa, pandangan ini terbentuk dari beragam konstruksi pemikiran dan latarbelakang. Upaya inilah pada akhirnya sedikit banyak melerai stigma sinis terhadap aktivis dan politik kampus.

Kampus sebagai medium dakwah

Kampus identik dengan upaya persemaian gerakan moral dan intelektual. Politik kampus bukanlah tujuan akhir, tapi ia adalah alat untuk merekonstruksi sendi-sendi moral yang keropos dan lumpuh. Oleh karena itu, diperlukan sebuah pakem yang mampu menopang tegaknya sendi-sendi tersebut. Penopangnya adalah dakwah. “Politisi kampus” yang berpegang pada ideologi (tali) islam - selagi ia memegang prinsip tauhid dan perbaikan ummat - disebut sebagai aktivis dakwah kampus. Aktivis dakwah bukan hanya menjadi aktivis gerakan sosial-politik. Lebih dari itu, ia menjadi gerakan dakwah intelektual profetik dan perbaikan ummat. Gerakan dakwah mengedepankan spritualitas sebagai basis pembentuk kebijakan dan urusan lainnya. Sehingga keberadaan organisasi dakwah kampus dan organisasi yang dikelola bernafaskan islam dapat dikatakan sebagai alat alternatif ditengah-tengah krisis ideologi yang saat ini sedang kita hadapi.

Konsep syumuliyatul islam, menjadikan islam sebagai cara hidup total yang menyentuh segala aspek kehidupan, termasuk urusan politik dan gerakan. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, Gerakan intelektual profetik dan akhlak bertumpu pada kontruksi hasil pikir dan hasil zikir. Ia bermuatan ilahiyah. Gerakan intelektual profetik adalah wujud gerakan yang meletakkan keimanan sebagai ruh atas penjelajahan nalar dan berprinsip kemanusiaan universal. Gerakan  ini mempertemukan akal dan nalar wahyu pada usaha perjuangan perlawanan, pembebasan, pencerahan, dan pemberdayaan manusia secara organik.

Bertumpu dari landasan berfikir inilah, gerakan dakwah kampus adalah wasilah yang ideal dalam menghadapi realitas kampus, wabilkhusus sebagai pioner gerakan kampus.

Akhirnya, keberadaan gerakan pada intinya sebagai upaya pelayanan dan perbaikan. Serta sebagai ekspresi kecintaan terhadap Indonesia. Semuanya dimulai dari kampus, semoga kita tetap terjaga!.

Referensi:

Amin Sudarsono. 2010. Ijtihad Membangun Basis Gerakan. Jakarta: Muda Cendekia

Bill Moyer. 2006. Membangun Perlawanan Rakyat. Yogyakarta: Pustaka Kendi

M. Alfan Alfian. 2009. Menjadi Pemimpin Politik. Jakarta: Gramedia

GBHO KAMMI Bab VI Pasal 7 ayat 2

***

Januari 2013 diperbaharui lagi Februari 2015

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun