Mohon tunggu...
Ahmad Ricky Perdana
Ahmad Ricky Perdana Mohon Tunggu... Wiraswasta - gemar travelling, fotografi dan menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

seringkali mengabadikan segala hal dalam bentuk foto dan tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bukan Khilafah, Mari Tingkatkan Ketakwaan untuk Hadapi Semua Tantangan

27 November 2022   08:19 Diperbarui: 27 November 2022   08:21 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pancasila, jalandamai.org

Propaganda sistem khilafah kembali digaungkan oleh kelompok pengusungnya sebagai sebuah solusi atas Ancaman Resesi Global tahun 2023 mendatang. Seakan tak mau ketinggalan momentum, mereka sigap memanfaatkan ancaman resesi tersebut dengan menyiapkan narasi-narasi yang membuat masyarakat dipenuhi rasa panik dan ketakutan. Ketika terjadi kepanikan massa justru akan membawa dampak buruk, memperparah resesi itu sendiri. Rasanya hal tersebut memang tujuan mereka, dengan begitu mereka seakan mendapat legitimasi untuk menjejalkan paham khilafah. 

Al Qur'an sebagai pedoman hidup umat muslim telah mengatur bagaimana relasi rakyat dan pemimpin. Sebagai rakyat seharusnya kita patuh kepada ulil amri "Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS 4 : 59).

Dalam ayat ini Allah menjadikan ketaatan kepada pemimpin pada urutan ketiga setelah ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya. Namun, untuk pemimpin di sini tidaklah datang dengan lafazh perintah "taatilah" karena ketaatan kepada pemimpin merupakan ikutan (tbi') dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu, apabila seorang pemimpin memerintahkan untuk berbuat maksiat kepada Allah, maka tidak ada lagi kewajiban mendengar dan taat kepada mereka. Apabila ada pemimpin zalim dan dia tidak memerintahkan berbuat maksiat kepada Allah, maka hukumnya wajib kita taati.

Syekh 'Ali Jum'ah, mantan mufti Mesir menyitir maqalah Imam Malik:

"(Tetaplah menaati) pemimpin yang zalim dan jangan sampai terjadi fitnah yang berkepanjangan tanpa akhir. Lalu beliau berkomentar:

 

  .  

"Pada masa ini kita mendapati seseorang yang menyempal dari kita seraya berkata: "Pemimpin sudah berbuat kesalahan bahkan fitnah (kekacauan dengan tidak mengakui adanya pemimpin yang sah untuk ditaati) itu lebih baik dibandingkan dengan pemerintah yang zalim." Komentar kami (Syekh Ali Jum'ah) untuk orang ini: "Anda termasuk golongan Khowarij, karena yang dikehendaki adalah kerusakan di muka bumi."

Sekarang kita dapat menyaksikan orang-orang yang memberontak kepada penguasa. Mereka hanya mengajak kepada pertumpahan darah dan banyak di antara kaum muslimin yang tidak bersalah menjadi korban. Yang wajib dan terbaik adalah mendengar dan menaati mereka. Namun bukan berarti tidak ada amar ma'ruf nahi munkar. Hal itu tetap ada tetapi harus dilakukan menurut kaidah yang telah ditetapkan oleh syari'at yang mulia ini. Sahabat 'Amr bin 'Ash berkata kepada putranya, Abdullah:

: !

"Wahai anakku, pemimpin yang adil itu lebih baik dibandingkan dengan hujan yang deras, macan yang buas lebih baik daripada pemimpin yang zalim sedangkan pemimpin yang sangat zalim itu masih lebih baik dibandingkan dengan fitnah yang permanen (dikarenakan tidak ada pemimpin sama sekali)."

Namun demikian, amar ma'ruf nahi munkar harus tetap dijalankan namun dengan lemah lembut dan pelakunya harus mempunyai ilmu yang cukup agar bisa bertindak dengan benar. Al-Imam Sufyan ats-Tsauri berkata:

  :  

"Seseorang tidak boleh melakukan amar ma'ruf nahi munkar melainkan ada pada dirinya tiga perangai: lemah lembut ketika menyeru dan mencegah, adil ketika menyeru dan mencegah, mengilmui sesuatu yang diseru dan dicegahnya." (Ibnu Rajab al-Hanbali, Jami'ul Ulum wal Hikam) Dikisahkan ada seseorang yang akan beramar ma'ruf dan nahi munkar, lalu dia meminta pendapat kepada seorang ulama agar diizinkan dengan cara yang keras karena pelakunya itu sudah dianggap keterlaluan, namun sang ulama menjawab bahwa kamu tidak lebih baik dari Nabi Musa as dan orang yang akan kamu nasihati tidak lebih jahat dari Fir'aun, tapi Allah di dalam Al-Qur'an tetap memerintahkan Nabi Musa as dan Nabi Harun as) untuk berbicara dengan lemah lembut kepada Fir'aun:

"Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, karena dia benar-benar telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut. (QS. Thaha 43-44)

Sungguh ketakwaan orang-orang yang dipimpin sangat berpengaruh kepada seorang pemimpin dalam menjalankan pemerintahan. Sejarah mencatat pada zaman khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq & Umar bin Khaththab lebih aman dan tenteram dibanding masa kekhalifahan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Salah satu rakyat menanyakan kepada Sayyidina Ali sebagai khalifah ke-4 Al-Khulafaur Rasyidin "Mengapa di bawah kepemimpinanmu terjadi keributan dan pencurian?" Sayyidina Ali tersenyum, lalu menjawab: "Di saat khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq & Umar bin Khaththab memimpin yang menjadi rakyat pada saat itu adalah orang-orang sepertiku. Sedangkan kini, dibawah kepemimpinanku, sebagian besar rakyat adalah orang-orang sepertimu."

Kita bisa teladani orang-orang saleh seperti yang dicontohkan diatas, bagaimana seharusnya kita sebagai rakyat harus bertindak dan bersikap menurut kaidah Islam. Ternyata bukan khilafah solusi atas segala permasalahan namun ketakwaan yang akan menurunkan rahmat dan pertolongan Allah SWT dalam menghadapi segala tantangan. Semoga Allah menguasakan kepada kita pemimpin-pemimpin yang takut kepada-Nya, mau mengasihi kita dan menjadikan Indonesia sebagai baldah thayyibah wa rabbun ghafuur, amiin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun