Tak dipungkiri, maraknya ujaran kebencian di media sosial terus berkembang dengan berbagai macam model, modus dan kepentingan. Cara penyebarannya pun juga mulai bervariasi. Tidak hanya disebarkan melalui status, tapi juga mulai berkembang ke wa group, hoaks lalu disebarluaskan ataupun di upload ke media sosial, membuat media baru dan segala macamnya.Â
Artinya, berbagai cara terus dilakukan oleh kelompok radikal untuk menyebarkan bibit radikalisme melalui media sosial.
Salah satu yang juga marak dalam penyebaran bibit radikalisme adalah maraknya narasi islamophobia. Islamophobia adalah salah satu istilah yang populer namun kerapkali disalahpahami oleh umat Islam itu sendiri.Â
Fenomena islamophobian ini marak terjadi di negara barat, setelah terjadi tragedi 11 September 2001 di Amerika Serikat. Namun di Indonesia mulai marak setelah 2014, ketika memasuki tahun politik.
Bentuk narasi islamophobia ini bermacam-macam. Salah satunya adalah kebijakan pemerintah yang dianggap membatasi kebebasan umat Islam. Misalnya ketika awal pandemi, pemerintah mengeluarkan kebijakan membatasi aktifitas di tempat ibadah untuk membatasi penyebaran virus covid-19 untuk sementara waktu.Â
Kebijakan ini langsung disikapi sebagai kebijakan yang tidak berpihak pada Islam dan segalam macamnya.Â
Padahal, kebijakan tersebut murni untuk mengurangi penyebaran covid-19, dan ketika sudah terkendali aktifitas di tempat ibadah diperbolehkan dengan menerapkan protokol kesehatan. Bahkan, masjidil haram pun juga sempat menerapkan lockdown di awal pandemi ketika itu. Â
Sentimen islamophobian juga marak dalam konteks individu. Misalnya seperti bullying terhadap perempuan muslim berjilbab di tempat kerja atau sekolah. Tapi disisi lain, juga ada pemaksaan jilbab di tempat kerja atau sekolah. Karena itulah kita harus jeli dalam menyikapi sentimen keagamaan yang sengaja dimunculkan di ruang publik.
Di Indonesia, narasi islamophobia sengaja diproduksi oleh kelompok tertentu, untuk mendeligitimasi kekuasaan pemerintah. Dalam perjalanannya berkembang semakin liar di media sosial. Kelompok minoritas pun juga seringkali menjadi sasaran diskriminasi oleh kelompok yang mengaku bagian dari muslim.Â
Padahal, Islam dan agama apapun tidak ada yang mengajarkan untuk saling menebar kebencian, apalagi melakukan tindakan diskriminasi.
Satu hal yang perlu kita sadari adalah, kelompok radikal seringkali membangun citra bahwa mereka adalah bagian dari Islam yang tertindas oleh kebijakan pemerintah, mereka bagian dari mayoritas yang terancam dan segala macamnya. Mareka memposisikan sebagai korban.Â
Padahal, lagi-lagi tidak ada sama sekali maksud seperti yang mereka munculkan. Playing victim adalah bagian dari strategi yang mereka gunakan untuk mendapatkan simpati publik, dengan membawa isu keagamaan.
Mari hilangkan bibit kebencian dari dalam pikiran kita masing-masing. Mari bangun relasi keharmonisan antar sesama. Keberagaman di Indonesia bukanlah hal yang harus dipersoalkan, melainkan hal yang harus dihargai dan dihormati.Â
Karena Tuhan pada dasarnya menciptakan bumi dan seiisinya ini penuh dengan keberagaman. Salam.