Mohon tunggu...
Ahmad Ricky Perdana
Ahmad Ricky Perdana Mohon Tunggu... Wiraswasta - gemar travelling, fotografi dan menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

seringkali mengabadikan segala hal dalam bentuk foto dan tulisan

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Ramadan Jadi Ruang Introspeksi untuk Tinggalkan Bibit Kebencian

10 April 2022   00:43 Diperbarui: 10 April 2022   00:47 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Toleransi - jalandamai.org

Kebencian merupakan bagian dari sifat manusia. Setiap manusia pasti punya sekian persen bibit kebencian di dalam tubuhnya. Bagi yang bisa mengendalikan, kebencian itu tidak akan keluar menguasa pikiran. Namun jika kita tidak bisa mengontrol, kebencian itu bisa mengambil alih dan mempengaruhi segala bentuk ucapan dan perilaku kita. Dan kita bisa melihat bagaimana perilaku yang mengandung kebencian itu beredar di berbagai media sosial.

Perlu ada upaya yang serius, untuk meredam penyebaran ujaran kebencian di media sosial. Bagi masyarakat yang tingkat literasnya rendah, akan mudah terprovokasi oleh kebencian tersebut. Bagi masyarakat yang merasa paling benar, akan dengan mudah menyalahkan, menghujat, bahkan mengkafirkan jika hal yang dipersoalkan terkait dengan agama. Suka tidak suka, hal semacam ini masih saja terjadi.

Umumnya mereka yang menyebarkan kebencian ini sudah terpapar bibit radikalisme melalui media sosial. Mereka merasa paling benar sendiri dan menilai pihak yang berbeda sebagai pihak yang salah. Akibatnya, sentiment yang dibangun adalah kebencian dan provokasi. Karena merasa paling benar, mereka umumnya tidak mau mendengar pendapat orang lain. Karakter orang atau kelompok semacam ini, harus terus diingatkan agar kembali ke nilai-nilai kearifan lokal.

Salah satu nilai kearifan lokal itu adalah toleransi. Dan dalam konteks nilai-nilai agama, sebenernya juga mengusung konsep toleransi. Ini menunjukkan bahwa nilai agama dan kearifan lokal di Indonesia, saling sinergi satu dengan lainnya. Tak heran jika akulturasi antara budaya dan Islam di era Wali Songo bisa terjadi dan masih terjadi hingga saat ini. Karena keduanya pada dasarnya saling melengkapi. Namun, ironisnya, masyarakat yang sudah terpapar radikalisme, seringkali mempersoalkan keberagaman yang sudah ada sejak dulu itu.

Menjadi tugas kita bersama untuk terus mengingatkan. Dan Ramadan seperti sekarang ini, harus bisa dijadikan momentum untuk melakukan introspeksi. Karena di bulan ini semua umat muslim berlomba berbuat kebaikan untuk mendapatkan pahala dan keberkahan. Mayoritas umat muslim akan memperbanyak ibadah, untuk mendekatkan diri dengan Allah SWT.

Jika semua umat muslim bisa melakukan introspeksi, dan sadar bahwa ujaran kebencian itu hanya akan memicu terjadinya konflik, Indonesia akan tumbuh menjadi negara penuh dengan warna-warni. Namun belakangan kelompok yang mengklaim bagian dari mayoritas, tapi terus menyuarakan kepentingan kelompok terus terjadi. Kelompok ini umumnya sudah terpapar radikalisme dan terjalin dengan jaringan terorisme.

Kenyataannya, Indonesia adalah negara yang kaya akan suku, agama, bahasa dan budaya. Keragaman ini merupakan anugerah yang harus dijaga oleh siapapun. Keberagaman tidak boleh hilang hanya karena provokasi radikalisme. Mari jadikan Ramadan ini sebagai momentum untuk menguatkan tali bersaudaraan. Untuk menguatkan literasi dan saling menguatkan pengendalian diri. Hal ini penting agar provokasi yang marak di media sosial itu, tidak mampu masuk ke dalam pikiran kita semua. Salam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun