Mohon tunggu...
Ahmad Ricky Perdana
Ahmad Ricky Perdana Mohon Tunggu... Wiraswasta - gemar travelling, fotografi dan menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

seringkali mengabadikan segala hal dalam bentuk foto dan tulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

IKN Nusantara, Momentum Memperkuat Jati Diri Indonesia

29 Januari 2022   14:44 Diperbarui: 29 Januari 2022   14:51 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak yang menganggap miring keputusan presiden Joko Widodo terkait pemberian nama ibu kota negara dengan nama Nusantara. Di dunia maya banyak yang mencemooah, tapi tidak sedikit pula yang memuji. Tanpa bermaksud memuji atau mencemooh, mari kita sikapi penamaan ini dengan terbuka. Kata Nusantara bisa jadi menjadi titik balik bagi Indonesia untuk lebih baik.

Seperti kita tahu, seiring perkembangan zaman seringkali diantara kita banyak melupakan budaya dan adat istiadat yang ada. Pelan namun pasti, budaya lokal mulai ditinggalkan berganti dengan budaya asing. Nilai kearifan lokal mulai ditinggalkan, dan ada yang terjerumus ke radikalisme dan intoleransi. 

Akibatnya, banyak orang atau kelompok yang merasa benar, merasa paling suci dan menganggap orang lain yang berbeda sebagai pihak yang salah, sesat bahkan kafir.

Dalam kondisi kesesatan pikir tersebut, muncul ujaran kebencian dan hoaks yang terus beredar di media sosial. Hal ini pun akhirnya mengakibatkan banyak orang terprovokasi. Pada saat yang sama, karena rendahnya literasi, muncul budaya sharing tanpa melakukan saring terlebih dulu. 

Terlebih hal-hal yang bernuansa SARA, begitu cepat beredar dan memicu amarah publik. Hal ini lah yang kemudian merusak tatanan kehidupan yang telah berjalan. Kerukunan antar umat beragama terus diganggu oleh provokasi-provokasi bernuansa SARA.

Beberapa waktu lalu kita ingat bagaimana seorang tokoh agama seperti Bahar bin Smith yang harus berurusan dengan hukum karena hoaks yang disebar. Lalu ada Ferdinand Hutahaean, politisi yang juga harus berurusan dengan hukum karena cuitannya dianggap bisa memicu konflik SARA. Begitu juga dengan aksi penendangan yang dilakukan oleh seorang pemuda di gunung Semeru, yang membuang dan menendang sesajen.

Contoh diatas merupakan bentuk sikap sosial atau sikap keagamaan, yang mengandung muatan kebencian atau permusuhan. Sementara budaya kita yang sudah ada sejak era Nusantara waktu itu, tidak pernah ada kebencian. Yang terjadi justru sebaliknya. 

Guyub, rukun, toleran menjadi karakter yang sangat kuat. Karena masifnya provokasi, hoaks dan propaganda radikalisme di dunia maya, membuat karakter budaya lokal itu pelan-pelan mulai terkikis.

Dan sadar atau tidak, diantara kita sering sekali melontarkan ujaran-ujaran kebencian dalam hal apapun tanpa sengaja atau tidak. Mulai dari masyarakat biasa, hingga masyarakat yang terdidik. Padahal, keramahan merupakan budaya kita sejak dulu. Saling menghargai dan menghormati, sudah diajarkan sejak dulu, jauh sebelum negeri bernama Indonesia ini terbentuk. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun