Ketika ISIS mengemuka, ideologi radikal dan provokasi teror banyak terjadi di dunia maya. Penyebaran propaganda, perekrutan, hingga mencari pendanaan mulai banyak dilarikan ke dunia maya. Proses indoktrinasi juga begitu masif dilakukan secara virtual. Tidak perlu lagi dilakukan dengan cara tatap muka seperti era sebelumnya. Bahkan untuk proses baiat pun, juga dilakukan secara online.
Dan terbukti, di era ISIS hingga saat ini, banyak sekali pelaku terorisme yang terpapar radikalisme melalui media sosial. Yang terbaru adalah perempuan yang berani menyerang petugas di Mabes Polri dengan menggunakan airgun, juga terpapar paham radikal melalui dunia maya. Perempuan pendiam juga pernah memposting bendara ISIS di akun media sosialnya.
Bagi sebagian orang, banyak yang tidak percaya, apa benar radikalisme bisa mempengaruhi orang lain melalui media sosial? Apa benar generasi milenial menjadi sasaran empuk kelompok teroris? Kenyataannya memang lah demikian. Lihat saja mereka yang memilih bergabung ke ISIS ketika itu. Rata-rata masih usia belia. Bahkan, anak-anak kecil pun juga mulai diajarkan radikalisme sejak dini.
Tak dipungkiri, jaringan ini seringkali memanfaatkan kecanggihan teknologi, untuk terus menyebarkan provokasi dan kebencian. Maraknya provokasi dan kebencian selama ini, tidak bisa dilepaskan dari maraknya bibit radikalisme di negeri ini. Alhasil, untuk urusan politik, provokasi dan kebencian muncul. Ketika terjadi bencana atau pandemi seperti sekarang ini saja, provokasi dan kebencian juga marak terjadi. Masyarakat yang tingkat literasinya rendah, tentu akan mudah terpengaruh.
Dakwah secara virtual, tanpa disadari juga banyak disusupi oleh bibit radikalisme dan intoleransi. Lihat saja, ada tokoh yang mengklaim paham agama, tapi perilakunya seringkali menebar kebencian, mencaci, dan menjelekkan orang lain. Selalu saja mencari kejelekan tanpa melihat dari sisi positifnya. Â Bayangkan, apa jadinya jika diantara kita terus saling membenci. Sementara negeri ini berisi banyak sekali keberagaman. Toleransi antar umat berpotensi akan terhalang, jika kita tidak segera menghilangkan pengaruh-pengaruh radikal dari dunia maya.
Kemampuan kelompok radikal dalam membangun opini, Menyusun narasi, logika dan semuanya memang tersistematis. Tak heran jika masyarakat langsung mempercayainya. Padahal, tidak jarang mereka juga sering mereduksi pengertian atau pemahaman ayat tertentu, untuk mendapatkan dukungan masyarakat. Dan pemerintah, seringkali dijadikan kambing hitam oleh kelompok ini. Apapun persoalannya, yang salah adalah pemerintah. Dan masyarakat yang tidak memahami informasi secara utuh, maka akan terbangun kebencian yang diarahkan untuk pemerintah tersebut.
Mari kita beri perhatian yang serius untuk ruang-ruang virtual, yang seringkali dimanfaatkan oleh kelompok radikal dan jaringan terorisme ini. Ketika terjadi ledakan bom, polisi langsung memberikan pengamanan yang sangat ketat di dunia nyata. Namun untuk dunia maya juga harus mendapatkan pengamanan yang ketat pula. Menjadi tugas kita bersama, dari masyarakat biasa hingga ke elit politik, untuk memberikan pemahaman yang benar jika ada penyesatan-penyesatan opini yang sengaja dimunculkan oleh jaringan teroris virtual ini.
Kaum moderat harus bergandengan tangan, bahu membahu untuk memberikan informasi yang valid, pemahaman yang benar, agar generasi milenial tidak hanya yang terjebak dalam informasi-informasi yang menyesatkan. Mari saling membekali diri agar tidak mudah terprovokasi radikalisme dunia maya. Ingat, generasi muda kita saat ini masih terus menjadi sasaran empuk, untuk melanjutkan regenerasi mereka. Namun sebagai generasi yang cinta damai dan mempunyai nilai-nilai kebangsaan, semestinya tidak mudah terpengaruh dan terprovokasi oleh informasi-informasi yang menyesatkan. Salam.