Hujat menghujat menjadi hal sering kita saksikan di dunia maya. Hanya karena persoalan sepele, antar individu bisa saling mencaci, menjelekkan, bahkan memprovokasi dengan berita bohong. Karena ini berkembang di dunia maya, perdebatan di jagat maya ini tidak mempunyai batas-batas kesopanan. Tidak ada hakim, tidak ada wasit ataupun taka da hukum. Yang diperlukan hanyalah kecerdasan dan kesadaran, agar kita tidak beringas  di era digital ini.
Untuk membangun kecerdasan dalam bermedia sosial, diperlukan sebuah kebiasaan baru. Yaitu sering membaca. Bacalah informasi atau berita yang benar. Bacalah agar kalian tidak salah arah. Membaca merupakan pintu masuk untuk mengantarkan kita pada kecerdasan. Tanpa membaca, kita tidak akan bisa menyerap informasi apapun. Namun, membaca juga harus selektif dan punya filter. Dalam artian jika informasi yang kita baca bukan informasi yang benar, tidak perlu kita ikuti.
Namun yang terjadi saat ini, minimnya budaya baca di masyarakat membuat banyak masyarakat yang menjadi korban informasi hoaks. Informasi bohong seringkali sengaja disebarkan di dunia maya, agar masyarakat salah menyerap informasi, dan menjadikan sebuah kebohongan menjadi kebenaran. Menyebarkan kebohongan jelas bertentangan dengan aturan apapun. Dalam agama apapun di negeri ini, kebohongan dan kebencian merupakan hal yang harus dihindari. Pada titik inilah diperlukan sebuah kesadaran. Jika menebar kebohongan tidak dibenarkan, kenapa masih saja dilakukan?
Saatnya introspeksi. Menebar provokasi kebencian, hanyalah akan melahirkan kebencian-kebencian baru. Ketika kebencian itu terus menguat makan potensi lahirnya intoleransi dan radikalisme semakin terbuka. Dan jika hal ini yang terjadi, maka potensi konflik ditengah masyarakat pun akan mudah terjadi. Dan kalau kita lihat apa yang terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun kebelakang, konflik karena provokasi media sosial pernah terjadi. Bahkan sentimen SARA pernah juga dimunculkan, untuk memprovokasi masyarakat agar saling bertikai satu dengan yang lainnya.
Provokasi yang terjadi di dunia maya ini, telah membuat keramahan berubah menjadi kemarahan yang tak terkendali. Kenapa masyarakat Indonesia menjadi beringas hanya karena pemberitaan yang belum tentu benar. Kemarahan yang tidak beralasan itu, lebih banyak karena tidak adanya upaya untuk memastikan apakah informasi tersebut valid atau tidak. Masyarakat umumnya langsung mempercayai, tapi melakukan cek ricek terlebih dulu.
Menjadi netizen harus cerdas, agar tidak mudah tergilas. Menjadi netizen juga harus ramah agar tidak mudah marah. Ingat, kita adalah bangsa Indonesia yang kaya akan nilai-nilai kearifan lokal. Mari kita jaga nilai-nilai ini dan kita sebarkan ke seluruh masyarakat di era digital ini. Silaturahmi harus tetap dijaga meski era digital tetap bisa saling berhubungan tanpa harus bertemu fisik. Era digital tidak harus disikapi dengan keberingasan. Era digital harus disikapi dengan hati yang teduh, damai, dan tetap mengedepankan saling menghormati antar sesama.