Mohon tunggu...
Ahmad Ricky Perdana
Ahmad Ricky Perdana Mohon Tunggu... Wiraswasta - gemar travelling, fotografi dan menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

seringkali mengabadikan segala hal dalam bentuk foto dan tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berhentilah Menebar Kebencian dan Permusuhan

21 Juli 2018   12:31 Diperbarui: 21 Juli 2018   12:44 835
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stop Hate Speech - steemkr.com

Entah kenapa, ujaran kebencian terus saja menyebar di negeri kita ini. Entah kenapa pula, ujaran kebencian seringkali digunakan, untuk kepentingan yang tidak semestinya. Untuk kepentingan politik misalnya, seringkali ujaran kebencian ini digunakan untuk menjatuhkan elektabilitas pasangan calon. 

Dan hal itu pun selalu saja terjadi di negeri ini. Padahal, katanya demokratisasi di negeri ini sudah semakin dewasa. Lebih dari 70 tahun merdeka, semestinya demokrasi semakin matang. Namun kenyataannya, masih saja ada pihak-pihak yang ingin mengganggu negeri ini dengan cara menebar kebencian.

Ujaran kebencian ini menyebar ke semua lini kehidupan. Media sosial, yang saat ini sedang digemari generasi muda, juga tak bisa dilepaskan dari pengaruh ujaran kebencian. Hampir setiap hari selalu saja ada informasi yang sifatnya provokasi. Informasi menyesatkan itu tak jarang juga dibumbui dengan sentiment SARA, yang dikhawatirkan bisa memicu terjadinya konflik di tengah masyarakat. 

Dan lagi-lagi, provokasi SARA mengalami peningkatan ketika terjadi perhelatan politik. Bahkan, ujaran kebencian tidak hanya merambah di dunia maya, juga terjadi di dunia nyata. Bayangkan jika diantara kita saling berseteru, hanya karena diprovokasi oleh informasi yang salah.

Padahal, sekeliling kita dipenuhi keberagaman. Dan keberagaman ini tentu akan berdampak pada perbedaan dalam melihat suatu informasi atau peristiwa. Perbedaan ini juga dipengaruhi oleh sudut pandang dan latar belakang pendidikan. Terlebih lagi, seorang Jawa akan berbeda menanggapi sebuah informasi dengan seorang Dayak, ataupun masyarakat dar Papua. 

Keberagaman itulah yang sebenarnya menjadikan Indonesia sebagai negeri yang kaya. Sayangnya, bagi sebagian orang tidak melihat kekayaan ini sebagai anugerah. Mereka justru melihat keberagaman ini sebagai sumber persoalan.

Mereka yang dimaksud adalah kelompok intoleran dan radikal, yang selalu melihat orang lain dari sisi yang salah, dan melihat dirinya dari sisi yang benar. Perbedaan dianggap sebagai sebuah kesalahan besar. Padahal, keberagaman yang ada di negeri ini sudah ada sejak dulu. Tuhan telah menciptakan Indonesia beragama sejak dulu. Lalu, kenapa keberagaman ini selalu disalahkan dan menjadi sumber kebencian? Dan ironisnya, ujaran kebencian  itu ada yang kelur dari beberapa tempat ibadah di Jakarta.

Beberapa waktu lalu, media massa memberitakan tentang sebuah survey yang dilakukan oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta. Dalam survey tersebut dijelaskan bahwa dari 100 masjid yang ada di kementerian, lembaga dan BUMN di Jakarta, terindikasi radikal. Materi khotbah dari khatib di beberapa masjid tersebut, masuk dalam kategori radikal tinggi, sedang dan rendah. Kenyataan ini tentu tidak bisa dianggap remeh. Jika dibiarkan, dikhawatirkan tempat ibadah akan menjadi tempat penebar kebencian.

Mari kita sudahi perilaku menebar kebencian ini. Mari kita saling bergandengan tangan. Mari kita saling introspeksi diri. Adakah manfaatnya saling menebar kebencian? Jika lebih banyak dampak buruknya, lebih baik kita tinggalkan perilaku yang tidak terpuji tersebut. Ingat, Tuhan menciptakan setiap manusia berbeda-beda. Karena itu pula, Tuhan menganjurkan kepada setiap manusia untuk saling mengenal satu dengan yang lainnya. Bagaimana bisa saling mengenal, jika bibit kebencian masih subur dalam diri kita masing-masing. Salam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun