Mohon tunggu...
Ahmad Ali Rendra
Ahmad Ali Rendra Mohon Tunggu... Lainnya - Kartawedhana

Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kab. Hulu Sungai Selatan - Kalimantan Selatan Pemerhati Budaya dan Sejarah Pemandu (khusus) Museum Rakyat Kab.Hulu Sungai Selatan Pembina komunitas Dapur Budaya HSS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hikayat Kerajaan Lada di Selatan Borneo

11 Maret 2022   15:12 Diperbarui: 11 Maret 2022   16:03 1373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pangeran Banjar, Sumber Foto : C.A.L.M. Schwaner, 1853.

Sesudah tahun 1637 terjadi migrasi besar-besaran dari pulau Jawa (terutama penduduk dari pantai utara Jawa). Mereka merupakan penduduk dari wilayah yang terdampak akibat agresi politik Sultan Agung dari Mataram. Kedatangan imigran dari utara pulau Jawa ini mempunyai pengaruh besar saat itu dimana pelabuhan-pelabuhan Borneo menjadi pusat difusi dari kebudayaan Jawa.

Migrasi penduduk pantai utara Jawa mendorong Banjar sebagai kerajaan dagang menggantikan kedudukan Gresik. Schrieke sependapat dengan Goh Yoon Fong, bahwa semaraknya pelabuhan atau bandar di Banjarmasin karena bantuan imigran-imigran Jawa yang menjadikan Banjarmasin sebagai pusat modal dan perkapalan mereka. Disamping lada sebagai ekspor andalan saat itu, juga pembuat kapal Jung yang amat diperlukan bagi perdagangan dan pelayaran interinsuler.

Kekacauan perang saudara yang berdampak pada daerah sepanjang pesisir utara pulau Jawa dan kemunduran Kesultanan Banten serta perubahan jalur perniagaan rempah menuju Makassar justru sangat menguntungkan bagi bandar perdagangan rempah kesultanan Banjar di Banjarmasin.

Lada yang diperdagangkan di Banjarmasin sejak abad ke-16 berasal dari  Pulau Laut, Nagara, Alai, Banua Lima, Kayu Tangi dan Maluca. Para penanam lada di pedalaman Kalimantan Selatan pada umumnya adalah suku Dayak seperti Dayak Ngaju, Ma’anyan, orang-orang Dusun, Bukit (meratus), Pahuluan dan Ot Danum

C.A.L.M. Schwaner, Borneo. Schwaner Een Gezigt op Bandjermassin. Sumber : Wikipedia.
C.A.L.M. Schwaner, Borneo. Schwaner Een Gezigt op Bandjermassin. Sumber : Wikipedia.

Suku Dayak Biaju atau Ngaju merupakan suku yang terbesar di wilayah Dayak Besar (Kalteng Sekarang) dan pada umumnya mereka adalah para petani lada. Pada awalnya, orang Dayak menggunakan lada sebagai alat tukar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selama musim panen atau antara musim tanam dan musim panen, sebagian besar petani lada menukar lada dan hasil hutan lainnya dengan garam, beras, kapas, manik-manik, tembakau dan lain-lain kepada pedagang Bengal, Bugis, Jawa, dan Cina Daratan.

Meskipun demikian, dalam mata rantai perdagangan lada, orang pedalaman menjadi pihak yang paling lemah dan tidak memiliki daya tawar. Dari kaca mata otoritas para elite kesultanan Banjar, masyarakat pedalaman penanam Lada diposisikan sebagai “rakyat” yang harus tunduk dan mematuhi semua ketentuan dari pusat elite kekuasaan. Para penanam Lada tidak dapat menentukan harga. Harga ditentukan oleh Sultan dan para elite Bangsawan. Sultan dan para bangsawan Kraton membeli lada dari pedalaman sekitar 2 real Spanyol per pikul. Harga menjadi mahal ketika elite-elite Kerajaan menjualnya kepada para pedagang Cina, yakni 8 real Spanyol per pikul. 

Keuntungan dari perdagangan lada telah menjadikan Sultan dan para bangsawan cepat kaya. Bisnis lada mengantarkan Kerajaan Banjar menjadi sebuah negara yang mapan secara ekonomi dan kekuatan militer. Perdagangan lada di Negeri Banjar pun lantas sangat mendorong Negeri Banjar di Selatan Kalimantan ini menjadi imperium besar penguasa dataran Kalimantan. Dari Sambas, Lawai, Sukadana, Kotawaringin, Pembuang, Sampit, Mendawai, Kahayan Hilir dan Kahayan Hulu, Kutai, Pasir, Pulau Laut, Satui, Asam Asam, Kintap dan Swarangan akhirnya tunduk pada legitimasi kekuasaan negeri Kesultanan Banjar

Pada masa itu berbagai bangsa meramaikan perdagangan di Bandar Kerajaan Banjar seperti bangsa Cina, Siam, Johor, Jawa, Arab, Sunda, Palembang, Pegu, Kedah, Kamboja, Bangka, Brunei, Bugis, Maluku, Jambi, Aceh, Portugis, Inggeris dan Belanda yang puncaknya saat pemerintahan Pangeran Anom, ia Sultan Banjar yang memerintah dengan gelar Pangeran Suryanata II  adalah seorang yang dijuluki "raja dari pegunungan lada" atau dalam bahasa Belanda "Koning yan het pepergebergte", demikian L.C.D Van Dijk menyebutnya dalam Neerlands Vroegste Betrekkingen met Borneo en Solo Archipel, Cambodja, Siam en Cochin-Cina.

Saat puncak kejayaan Kerajaan Banjar di abad ke-18 Masehi diberitakan Sultan Banjar mempunyai ratusan dayang-dayang dalam balutan pakaian yang serba indah, jika Sultan bepergian ia juga menaiki seekor gajah, diikuti para pengiring yang membawa regalia Kerajaan, pakaian, sepatu, pusaka kesultanan dan tempat-tempat sirih.

Saat itu memang terjadi dualisme kekuasaan di Negri Kesultanan Banjar. Sultan Agung/Suryanata II telah menobatkan diri sebagai Sultan Banjar dan memindahkan keraton ke Banjarmasin (dari Martapura) ia mengambil alih semua kekuatan dan otoritas perdagangan Kesultanan Banjar. Terlebih Sultan Agung di dukung penuh oleh Bala tentara dari klan Dayak Ngaju.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun