Oleh: Ahmad Raziqi
Jika mendengar tentang sastrawan, maka yang akan terlintas adalah teman-teman yang pandai bersyair. Jika mendengar tentang teori keilmuan maka yang akan terlintas adalah seorang ilmuan.
 Jika mendengar tentang falsafah maka yang terlintas adalah seorang filosof. Sempat beberapa kali jatuh cinta, tapi cinta yang suci iyalah cinta yang rela berpanas-panasan, rela hujan-hujanan dan rela kedinginan hanya guna mencari tentang hakikat atau keberadaan dari sesuatu.
Jika setiap pagi aktivitas dari seorang yang hidup dalam konsep berfikir baik terhadap hakikat suatu, maka yang pasti pikirannya sudah teracuni oleh epistem-epistem yang tidak selamanya akan basi apalagi karat seumpama besi.Â
Jika Descartes mengatakan "cogito Ergo sum" artinya "aku berpikir maka aku ada", sepertinya konsepsi filosof negeri ayam jantan tersebut menjadi layak dimasukkan dalam rentetan konsepsi dasar membiasakan berfikir tentang realitas yang ada.
Aku sempat teringat, secara sederhana aku diajarkan menghargai falsafah berfikir yang senderhana tapi mampu mewakili bahwa aku harus sistematis, kritis, objektif, skeptis dan mendalam dalam memikirkan sesuatu makna kehidupan, sehingganya bisa dianggap benar kata Idhom Cholid yang mengatakan "orang banyak bicara sedikit kerja, itu seperti burung beo.Â
Orang banyak kerja tapi sedikit bicara itu seperti maling". Nampaknya kata-kata itu layak untuk menjadi aturan hidup bahwa antara omongan dan kerja nyata harus moderat, seimbang dan adil.
Dari itu mari kita membuka gerbang cinta. Gerbang yang menuntut kita harus bisa membaca mantera dan harus berusaha keras untuk membukanya. Ingatanku kembali terhadap Aksiologi dari ontologis dan epestimologis. Sehingga aku akan mengajak bahwa teori "cogito Ergo Sum" serta perkataan Idhom Cholid itu bisa di jadikan pembelajaran yang baik. Coba ingat syair ini.
Balonku Ada Lima
Rupa-rupa warnanya
Merah-kuning-kelabu-merah muda dan biru