Mohon tunggu...
Muzakkil Anam
Muzakkil Anam Mohon Tunggu... -

Asal dari Jepara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rasionalisasi Isra' dan Mi'raj

10 April 2017   07:59 Diperbarui: 10 April 2017   15:30 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa hari lagi, umat Islam di seluruh dunia akan dihadapkan pada peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Ya, peristiwa yang dialami oleh Rasulullah pada tahun 621 M ini bisa dikatakan menjadi awal mula disyariatkannya sholat lima waktu bagi umat Islam. meskipun demikian, dalam tulisan ini saya tidak akan berbicara secara spesifik terkait dengan peristiwa Isra’ Mi’raj tersebut, melainkan tentang respon dari masyarakat yang ada di sekitar Nabi.

Dalam buku Sejarah Hidup Muhammad yang ditulis oleh Muhammad Husain Haekal[1] dalam sub-bab “Peristiwa Isra dan Mikraj” disebutkan adanya percakapan Nabi dengan sepupunya, Hindun bint Abu Thalib. Nabi bercerita kepada Hindun: “Hai Ummu Hani, setelah aku mendirikan shalat akhir malam bersama kalian di lembah ini seperti yang engkau lihat, lalu aku pergi ke Baitul Maqdis (Yerussalem) dan mendirikan shalat di tempat itu. Dan sekarang, aku mendirikan shalat fajar bersamamu seperti engkau lihat.” Mendengar itu, kemudian Hindun berkata kepada Nabi: “Wahai Nabi Allah, janganlah menceritakan ini kepada orang-orang, karena mereka pasti akan mendustakanmu dan menyakitimu!” Tapi dengan tanpa ragu, Nabi pun menjawabnya: “Demi Allah, aku akan menceritaknnya kepada mereka.”

Respon yang ditunjukkan oleh Hindun itu tentu sangat beralasan, karena sangatlah tidak mungkin (dalam ukuran saat itu) ada seseorang yang dapat melakukan perjalan yang biasanya membutuhkan waktu berminggu-minggu tapi bisa ditempuh hanya satu malam dan itu tidak hanya pergi, tapi pulang-pergi. Dan memang kekhawatiran Hindun ini terbukti benar, bahwa setelah Nabi menceritakan peristiwa Isra’ Mi’rajnya, banyak sekali kaum Quraisy yang kemudian mendustakan Nabi, menganggap Nabi sudah gila, bahkan ada pula orang-orang Islam yang kemudian memilih kkeluar dari agama yang telah dipeluk dengan alasan bahwa mereka tidak seharusnya mengikuti seorang yang gila.

Sampai sini saya kemudian mencoba membayangkan dan bertanya pada diri saya sendiri, apakah jika saja saya hidup di zaman peristiwa Isra’ Mi’raj ini terjadi (dan katakanlah saya telah iman) saya akan berada di kelompok yang mengimaninya atau justru kemudian berada di kelompok yang “menggilakan Nabi”? Jika ukuran yang saya pakai adalah logika, maka sudah dipastikan saya akan masuk ke kelompok yang kedua. Dari sini pula kemudian saya sadar betul betapa kuatnya keimanan para sahabat Nabi, karena beliau-beliau dapat memposisikan aspek keimanan mereka di atas aspek rasional yang mereka miliki. Karena bagaimana pun, Isra’ Mi’raj menjadi sesuatu yang sangat tidak rasional untuk kurun waktu di mana Islam masih berusia sangat belia, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi (utamanya teknologi transportasi) belum semaju sekarang ini.

Kenapa saya katakan tidak rasional untuk kurun waktu saat itu? Ya, karena seiring berjalannya waktu dan khususnya di era kemajuan teknologi seperti sekarang ini, peristiwa Isra’ Mi’raj bukan menjadi hal yang tidak mungkin atau tidak masuk akal lagi, karena di era saat ini memang jarak sejauh apapun bisa ditempuh dengan waktu yang singkat.

Terlepas dari itu, saya teringat sebuah pertanyaan dari salah seorang rekan yang masih belum sepenuhnya bisa menerima peristiwa Isra’ Mi’raj, bagaimana bisa?

Meskipun dia sudah punya jawaban bahwa tidak ada yang tidak bisa bagi Allah SWT., tapi dia masih ingin mendapat jawaban yang lebih dari itu. Akhirnya saya teringat salah satu analogi yang disampaikan oleh salah satu guru saya. Kurang lebih analogimya demikian:

Di salah satu sudut rumah (di daerah Jakarta), di bawah meja makan, ada dua ekor semut yang terlibat percakapan, katakanlah semut A dan B. Semut A bercerita kepada semut B bahwa dia berasal dari Semarang. Kemudian semut B bertanya; “Oh ya? Lantas berapa waktu yang kamu habiskan untuk menempuh perjalanan dari Semarang sampai ke Jakarta?”. Semut A pun menjawab: “Hanya satu malam kog, sore pagi kemarin saya masih di Semarang.” Mendengar jawaban itu kemudian semut B menjawab: “Dasar semut gila”.

Ya, dari sudut pandang dunia persemutan, tentu apa yang diceritakan semut A di atas adalah hal yang gila. Bagaimana mungkin seekor semut dapat pindah dari Semarang ke Jakarta dalam satu malam? Tapi, tentu ini akan sangat mungkin jika didekati dari dunia yang berbeda, bukan dunia persemutan. Karena ternyata memang demikianlah, sore kemarin semut A masih di Semarang, tapi pada paginya dia sudah ada di Jakarta. Karena ternyata, sore itu si semut A tidak sengaja masuk ke dalam kotak kue dan terjebak di dalamnya. Kemudian kotak kue tersebut dibawa oleh seseorang ke Jakarta dengan menggunakan bis malam. Sesampai di Jakarta, si pemilik kue tadi kemudian membuka kotak kue dan singkat cerita semut tadi berhasil keluar dari kotak kue dan bertemu dengan semut B.

Jika alurnya demikian, sangat masuk akal bukan? Nah, lantas apa hubungannya dengan Isra’ Mi’raj? Hubungannya ada kedua perjalanan baik itu Isra’ Mi’raj atau perjalanan  semalam semut A akan menjadi hal yang mustahil jika pendekatan “dunia” yang kita pakai sama. Semut B tidak akan bisa menerima pernyataan semut A jika semut B hanya menggunakan pendekatan dunia persemutan. Sama halnya dengan Isra’ Mi’raj, kita sebagai manusia (apalagi manusia yang hidup saat peristiwa itu terjadi) akan mudah menolak pernyataan Nabi tentang Isra’ Mi’raj jika hanya menggunakan ukuran dunia “manusia” saja dan tidak menganggap adanya dunia lain di luar dunia manusia.

Tapi, akan berbeda jika kemudian semut B menemukan penjelasannya, bahwa ternyata di luar dunia semut ada dunia manusia yang memiliki alat transportasi yang canggih, yang bisa membawa dirinya dari satu tempat ke tempat yang lain dengan waktu tempuh yang sangat singkat. Sama halnya dengan manusia ketika mencoba memaknai Isra’ Mi’raj. Kita tidak tahu, ada berapa dunia yang Allah ciptakan, dan ada berapa makhluk yang kemudian Allah ciptakan dalam dunia yang banyak itu, lebih jauh lagi, ada apa saja dalam dunia-dunia yang tidak semuanya kita ketahui itu menyimpan banyak hal yang menurut dunia manusia tidak masuk akal?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun