Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis Hadiwaluyo
Akhmad Mukhlis Hadiwaluyo Mohon Tunggu... Freelancer - Journalist

Sampai jauh, jauh di kemudian hari.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Narayana - Bagian 1

3 September 2022   13:06 Diperbarui: 3 September 2022   19:31 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi oleh Vfor V

I. Berkenalan

Rani Narayana, gadis desa 21 tahun, tekun membaca, taat ibadah, ia tak suka keluyuran apalagi meninggalkan rumah seharian tanpa ibunya. Keseharian Rani, pagi hari ia wajib menemani ibunya berjualan di pasar, sampai tengah hari, dan sore hari ia pun harus membantu ibunya membuat kue-kue tradisional dan nasi pecel, untuk di jual ibunya di pasar. Pekerjaan rumah, seperti mencuci, menyapu, dan lainnya, di kerjakan oleh adiknya. Adik Rani bernama Rina Hildayana, di keluarganya Rani adalah anak pertama dan Rina adik terakhir Rani.

Ayah Rani meninggal saat Rani berusia 6 tahun, ayahnya meninggal akibat penyakit yang di deritanya sejak remaja, Gula Darah. Sejak saat itu Rani tak pernah berhenti membantu ibunya, semakin hari ia semakin menyayangi ibunya, "kulit Ibuku kian mengkerut, satu persatu rambutnya memutih. Tiap berangkat ke pasar, aku selalu melihat roda sepeda ibu, sendalnya, dan kakinya yang sedang memancal pedal sepedanya. Sejak usiaku 15 tahun, kekuatan kaki ibu mengayun pedal sepeda mulai melemah, sampai hari ini malah kian melemah. Saat berangkat ke pasar aku selalu mengikuti ibu dari belakang sepedanya, sesekali mengajaknya bercerita saat jalanan sepi kendaraan, sesekali mengajaknya bercanda, seperti dengan menyalipnya lalu aku berteriak 'ibu sudah tidak bisa menyalipku lagi kan! Hahahaa', dengan sepeda miniku, dan ibuku tersenyum berkata teriak 'iya, ibu mengaku kalah deh! Rina makin jago nih. Kata ibuku'. Akupun berhenti di tepian jalan, menunggunya, dan aku kembali mengikuti di belakang sepeda ibu.

Tadi pagi aku menggantikan ibu membawa sepedanya dan keranjang yang berisi makanan untuk di jual di pasar. Aku mendengar desah nafasnya sangat keras, tampak sangat lelah, seraya ibu terus mengayun sepedanya. 'Ibu aku mau bawa keranjang dan sepeda ibu boleh? Masa ibu terus yang bawa, sekali-kali anaknya dong, biar gini-gini kan Rani penerusnya ibu', kataku kepada ibu. 'Iya boleh, tapi nanti ya Ran sepulang dari pasar', jawab ibu.

'Sini deh ibu', aku berhenti di depan sepeda ibu, dan memaksanya. 'Yasudah, ini. Kamu pegang setirnya dan keranjangnya, saat berhenti seperti ini kamu perlu menyangga keranjang ini dengan kayu yang ibu sudah siapkan', tutur ibu kepadaku, dan aku mendengar nafas ibu sangat lelah. 'Iya Bu, setelah itu aku naik di sadel, menarik pedal sebelah kanan, kaki kuriku menyanggah sepeda karena kayu penyanggah sudah di lepas, dan saatnya jalan kan ibu', kataku. Ibu pun mengambil sepedaku, dan menungguku berjalan, sepertinya ibu akan mengikuti ku di belakang. Kaki ku pun mengayun pedalnya 'YaAllah', kataku berbisik, pertama kalinya aku membawa sepeda dengan keranjang berisi barang-barang seberat ini. Benar-benar berat, ini sangat berat, lenganku memaksa untuk terus menekan dan mengontrol setir sepeda agar tidak bergoyang, kakiku perlahan menginjak pedal dengan sangat kuat. Aku berfikir, pekerjaan ibu memang sangat berat, tak hanya saat menyiapkan barang dagangan dirumah, seperti memecah kelapa, mengumpulkan dan memotong kayu bakar, atau memasak sampai menyelesaikan pekerjaan rumah lainnya, Semoga aku dan adikku Rina bisa meringankan beban ibu", ungkap Rani.

Rabu, pukul 06.17 pagi, Rani dan ibunya tiba di pasar, tepat dimana ia biasa berjualan. Rani dan ibunya selalu berangkat ke pasar lebih awal, subuh tiba, Rani, Rina dan ibunya menyiapkan barang dagangannya untuk di bawa ke pasar, sampai tiba pukul 05.38 pagi Rani dan ibunya pun bergegas berangkat ke pasar. "Sebelum jam 07.00 pagi, ibu harus sudah berada di pasar, kue-kue jualan ibu dan nasi pecelnya banyak di beli saat pagi, sebelum anak-anak sekolah berangkat atau orang-orang yang hendak berangkat bekerja selalu membeli dagangan ibu, untuk sarapan mereka. Jika ibu terlambat saja atau jika ibu tiba di pasar jam 8 lewat, dagangan ibu tak banyak yang laku, hanya mungkin tengah hari tiba, itupun nasi pecel yang laku untuk mereka makan siang", ungkap Rani.

Pukul 09.56 pagi, saat pembeli mulai sepi, tampak bapak tua 56 tahun bersama tiga anggotanya berjalan menuju ke arah tempat Rani dan ibunya berjualan, "Bu, Bakwan 5.000, Kue lapis 5.000 dan Cenil 10.000 kasih jadi tiga bungkus ya", kata bapak tua itu. Rani pun membungkuskan kue lapis dan bakwan, sembari ibunya menyiapkan kue Cenil pesanan bapak tua itu. Seorang pemuda 26 tahun yang sedang bersama bapak tua itu tampak dari belakang bapak tua itu berkata, "Ibu, ini anaknya?" Tanya pemuda itu, "Iya mas", jawab ibu Rani, "Anaknya cantik ya Bu! berjilbab. Tadi aku perhatikan sedang membaca buku. Anaknya tidak sekolah ya Bu?" Lanjut tanya pemuda itu. "Ini mas kuenya", kata ibu Rani sembari menyerahkan kue pesanan bapak tua itu, "hehemm, iya mas. Anakku memang tidak pernah sekolah sejak kecil. Almarhum bapaknya dulu seorang guru sejarah di SMA Dua Ujung Kulon, semenjak anakku ini berusia empat tahun, bapaknya di pecat dari sekolah tempatnya mengajar", jawab ibu Rani.

"Lhoh! Apa gara-gara bapaknya di pecat terus tidak di sekolahkan begitu Bu?", Sambung tanya pemuda itu. "Bapaknya di pecat bukan karena berbuat kesalahan, atau melanggar aturan sekolah kok, mas. Ini juga bukan karena sekolahnya memecat bapaknya, terus kesannya kecewa dengan sekolah. Bapaknya dulu bolak balik masuk rumah sakit, sampai ketika bapaknya selama sebulan hanya masuk mengajar tiga hari, lalu masuk rumah sakit kembali. Jadi pihak sekolah memberhentikan bapaknya, mengingat penyakit Gula Darahnya semakin parah dan harus di rawat dirumah sakit. Pihak sekolah pun menyesalkan soal itu, kalau saja bapaknya sudah pegawai tetap, beliau dapat pensiun, sedikit meringankan beban kebutuhan saya dan anak saya.", tutur ibu Rani. "Maaf soal itu Bu., Jadi sedih suasananya, padahal lagi di pasar", ungkap pemuda itu sembari melontarkan gurauannya. "Terimakasih kalau begitu bu", lanjut kata pemuda itu, sembari melirikan matanya ke wajah Rani, dengan penuh rasa penasaran. Bapak tua itu pun pergi bersama beberapa anggotanya.

"Itu siapa Bu? Kok aku baru lihat, sepertinya juga baru belanja di sini bu", tanya Rani kepada ibunya. "Bapak tua itu Pak Ibrahim, kepala pengelola di Pasar ini, pak Ibrahim itu yang mengizinkan ibu berjualan di pasar ini, ia juga yang mencarikan ibu tempat untuk berjualan, ya tempat yang kita pakai berjualan ini Ran. Memang jarang ke pasar ini, ibu juga tidak tau kenapa. Kalau pemuda-pemuda yang bersamanya itu ibu juga baru lihat, mungkin anggota barunya pak Ibrahim", Jawab ibu Rani.

Pukul 12.50 siang, beredar surat dari pihak pengelola, ditujukan kepada seluruh penjual di pasar. "Menghimbau kepada seluruh penjual, bahwa awal bulan september 'Pasar Desa Kulon' akan di pindahkan di Desa Wetan, penjual agar mengosongkan pasar sebelum bulan September, bagi penjual yang ingin mendaftarkan namanya untuk mengisi pasar Desa Wetan agar kiranya mengurus di bagian pengelola", rangkuman surat dari pengelola pasar tersebut.

"Bu, Bukannya Desa Wetan itu sangat jauh, jika di tempuh dengan sepeda bisa sampai satu jam. Jadi ibu ingin juga pindah berjualan? Penjual di pasar ini kan banyak dari desa kita. Jadi pasar ini..," Rani terhenti berkata, ketika melihat raut wajah panik ibunya, perlahan Rani duduk di sebuah kursi kayu dan perlahan-lahan menyandarkan tubuhnya di kursi tersebut. Ibu Rani tampak gelisah dan seolah tak ingin menunjukkannya kepada Rani.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun