Mohon tunggu...
Ahmad Jefri
Ahmad Jefri Mohon Tunggu... Penulis - berbagi untuk kehidupan bersama yang lebih baik

'' hidup yang sesa'at harus bermanfaat untuk orang lain''

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Paradoks di Negeri Sendiri

7 Mei 2021   19:28 Diperbarui: 7 Mei 2021   19:32 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                

Apa di kata rasa rindu itu sekali lagi harus terpendam ketika memang sudah mencapai titik didih. tradisi sakral di hari yang suci, merajut ikatan tali silaturahmi, bertumpu pada moment kebersamaan terjarang di dapati, terpasung oleh aturan tangan besi. teresensi tiada hal yang dapat di ukur oleh nilai tumpukan uang, terbanding harta yang tak ternilai bernama keluarga.

Selimut tebal paradoks di negeri ini sedang terjadi, karpet merah di gelar di depan pintu-pintu penyedia hiburan, TKA berbondong-bondong datang menempuh jarak ratusan ribu kilo meter demi mengais rezeki, pilkada berpesta di atas pandemi, pernikahan selebriti memeluk kerumunan dapat restu si pemimpin negeri. 

Berdalih soal pandemi, pemutus mata rantai virus covid-19, bersinergi dengan kebijakan serba kontradiksi. tak cukupkah pemudik mentaati protokol kesehatan dalam perjalanan, menujukan surat sweb reaktif, hasil suntik vaksin, maupun isolasi mandiri setibanya di kampung halaman, tanpa harus melarang buah tradisi yang sudah berlangsung puluhan tahun lamanya.

Berwisata juga soal menempuh perjalanan, berkumpul di satu tempat di lokasi hiburan, oh nyatanya ini soal pundi-pundi materi yang tak bisa di tawar dalam kondisi apapun. sementara pemudik yang di dominasi oleh kaum urban mayoritas berpendidikan rendah dari pelosok-plosok desa tak memiliki posisi tawar.

Terdengar riuh media mainstream memberitakan sekumpulan pemudik yang nekat mudik mengelabui petugas dengan menaiki truk berisikan sayuran, terjaring operasi penyekatan jalan di salah satu jalur mudik, beberapa petugas dengan seragam lengkap menyetop mobil itu dengan tindakan tegasnya, sementara di satu sisi sekumpulan wartawan entah dari mana datangnya secara bersamaan tiba di lokasi kompak menyorot mata kameranya terhadap kumpulan pemudik tadi, tersorot kilauan cahaya kamera teramat tajam menyorot tepat di muka  wajah-wajah lelah tertunduk malu, yang secara tidak langsung mengintimidasi bak seorang kriminal.

Begitu juga viral kejadian pengendara sepeda motor wanita yang kedapatan di berhentikan seorang petugas, di paksa putar arah kembali ke jakarta dengan deraian air mata ekspresi kesedihan yang mendalam. tentu cerita itu hanya sekelumit cerita dari rangkaian peristiwa pemudik yang di paksa putar arah kembali ke jakarta, maupun kaum urban lain yang terpaksa menetap tinggal di jakarta berteman sepi, di paksa menahan siksaan rindu berkumpul bersama keluarga.

Tentunya menjadi kaum urban saya yakini bukanlah bagian dari tujuan hidup yang di impikan oleh banyak orang, namun keterpaksaan membuat seseorang memulai keberanian pergi meninggalkan tanah kelahiranya, mencari nafkah berjarak ribuan kilo meter demi kebutuhan keluarga. mayoritas berbekal pendidikan rendah, minim keterampilan, yang terkadang di kota hanya jadi alat eksploitasi si pemilik modal.

Kembali kepada titik permasalahan pelarangan mudik, memastikan kebijakan yang bersandar terhadap peri kemanusiaan hukum berkeadilan terhadap rasa kemanusiaan itu sendiri, membatasi hak seseorang untuk berkumpul, bertemu kangen memadu rasa hasil dari kumpulan rindu yang berserakan, sangat mencederai rasa kemanusiaan itu sendiri.

           

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun