Mohon tunggu...
Ahmad Jefri
Ahmad Jefri Mohon Tunggu... Penulis - berbagi untuk kehidupan bersama yang lebih baik

'' hidup yang sesa'at harus bermanfaat untuk orang lain''

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

ARYO dan Hidupnya (Catatan Hidup Sang Penulis)

6 Mei 2021   17:53 Diperbarui: 6 Mei 2021   18:14 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keinginan aryo untuk melanjutkan pendidikan ke tahap selanjutnya (SMK) sangatlah kuat, tetapi hal ini berlawanan dengan kondisi perekonomian keluarga aryo yang serba sulit, ayah tirinya sedang ada di dalam penjara, dan ibu aryo yang hanya berjualan makanan keliling (empe-empe) dengan penghasilan yang sangat terbatas, belum lagi kedua adik tirinya yang masih membutuhkan biya-ya dalam menyelesaikan pendidikanya, ibu aryo memahami kenginan aryo, dengan susah payahnya meminjam uang ibu aryo berhasil mendapatkan biyaya untuk mendaftarkan aryo di salah satu sekolah SMK swasta di jakarta sebesar 1,5 juta, selebihnya uang hasil pinjaman di belanjakan untuk keperluan alat-alat sekolah.

Di pagi itu aryo begitu sangat bersemangat, karena untuk pertama kalinya aryo memakai balutan seragam putih abu-abu, rasa bangga bercampur haru di rasakanya, ketika aryo memasuki gerbang sekolah aryo terkejut melihat banyaknya murid-murid baru di sekolahnya, terlihat wajah-wajah penuh deengan ekpresi kegembiraan hal yang sama di rasakan aryo, dan terlihat pula  beberapa murid teman aryo semasa di dalam SMP.

Hari pertama aryo bersekolah adalah hari di mana aryo mengenal lingkungan sekolahnya, berkenalan pada guru-guru, teman-teman baru, semua berlanjut pada hari-hari berikutnya di mana selama satu minggu aryo berhasil menyelesaikan masa orientasi siswa (MOS), berlanjut ke dalam tahap pembagian kelas, hanya ada empat ruangan kelas di masing-masing kelas 1,a-d,2,a-d, dan 3,a-d, aryo tergabung di dalam kelas 1-a yang di isi oleh 39 murid dari latar belakang sekolah menengah pertama yang tersebar di jakarta.

Hari berganti minggu, bulan, di dalam keterbatasan aryo begitu bersemangat dalam bersekolah, dalam tahap ini aryo menjajaki pengalaman baru dalam mengenal teman-temannya dari berbagai macam latar belakang kehidupan keluarganya, hampir mayoritas temannya di sekolah berasal dari keluarga kelas menengah bawah (miskin), dan tempat tinggalnya tersebar dari pelosok-pelosok wilayah padat perkampungan yang ada di jakarta, situasi tempat tinggal yang memang tidak jauh berbeda dari tempat tinggal aryo di jakarta, bangunan yang berbahan dasar kayu, tinggal di gang-gang sempit, lingkungan kumuh, dengan rata-rata aktivitas warganya hanya bekerja di sektor informal (mengojeg, berjualan, dan tukang bangunan).

Di dalam proses interaksi dengan teman-temanya, aryo mendapati pengalaman baru dalam pergaulan yang lebih liar, meskipun aryo sangat semangat dalam belajar tetapi hal ini sangat kontras dengan keadaan teman-temanya yang lain, hampir rata-rata  temanya memiliki etos semangat belajar yang rendah, atas nama eksistensi aryo melenyapkan personality dan meleburkan diri dengan arti kolektivitas bersama temanya yang lain, aryo mengikuti trend pergaulan secara negativ, hampir di setiap hari sabtu selepas pulang sekolah aryo berkumpul dengan teman-temanya yang lain untuk berkelahi secara massa (tawuran) dengan pelajar sekolah lain, aryo mulai mencoba-coba menghisap rokok, mengenali jenis-jenis minuman keras, berjudi untuk pertandingan sepak bola, aksi vandalisme (mencoret-coret tempat umum dengan cat) tindakan negativ ini hampir menjadi rutinitas aryo di dalam pergaulanya dengan teman-temannya, tanpa sepengetahuan ibu nya, maupun guru-gurunya di sekolahnya.

                      **********************************************************************************

Pola tindakan aryo di dalam pergaulan dengan teman-temanya yang bersetatus negativ dan liar, hampir mayoritas pelajar yang ada di jakarta mengalami tahap ini, atas nama masa remaja (labil) eksistensi diri di bangun bukan dengan tindakan kesadaran yang mampu berfikir jernih dalam memberi perbedaan mana yang baik untuknya mana yang tidak, tetapi eksistensi diri dibangun atas unsur-unsur destruktif (kekerasan, vandalisme, imoralitas), dan yang terjadi setiap tindakan destruktif selalu terbungkus atas nama kolektivisme, karena hampir setiap tindakan kenakalan siswa remaja di lakukan secara berkelompok, dan terhadap pola tindakan negativ remaja, persentasinya banyak di lakukan oleh remaja-remaja golongan kelas menengah ke bawah (miskin), melihat realitas yang terjadi, ketika tempat tinggal lingkungan kumuh di perkampungan di sudut-sudut kota jakarta di huni oleh kultur masyarakat yang terjebak di dalam kehidupan terbatas (miskin), bukan terbatas mencupi kebutuhan ekonomi saja, tetapi terbatas melalui cara berfikir, perpaduan antara keterbatasan ekonomi dan cara berfikir menjadi satu, buah dari semua ini adalah lahirnya ''masyarakat marginal''.

Kultur masyarakat yang terbangun atas prakondisi kemiskinan, bukan saja kemiskinan ekonomi namun kemiskinan cara berfikir akan menghasilkan berbagai macam problem sosial, di antaranya melemahnya kemampuan otonomi (tujuan hidup), bersikap apolitis (cuek terhadap tatanan), lenyapnya sikap heroisme (memperjuangkan arti kebenaran dan keadilan), ketika  ini terjadi masyarakat dengan sendirinya bergerak kedalam kemunduran dalam peradaban, kehidupan tidak di hayati semestinya untuk kemajuan bersama dalam mencapai kesejahteraan, karena kehidupan di jalani secara teknis (bertahan hanya untuk mencukupi kebutuhan biologisnya), puncak dari semua ini melahirkan keadaan pasrah, membuat si miskin menyerahkan kehidupanya terhadap ketetapan  hirarki yang terbangun di dalam kesenjangan sehingga melahirkan ketidakadilan sosial.

Situasi seperti ini mengabaikan esensi terpenting dalam membuat perubahan hidup itu sendiri, ini ada di dalam proses pendidikan, pendidikan  adalah proses pembebasan dan penyadaran,  pembebasan dalam mengentaskan segala macam kemiskinan, kebodohan dan unsur-unsur sikap negativ, karena dengan seperangkat pengetahuan yang di dapat, individu dapat mengembangkan sikap otonom,  hal ini ada di dalam kemandirian berfikir dalam hal kretivitas dan inovasi yang mampu membawanya di dalam keunggulan hidup, di dalam pendidikan, individu mampu menyentuh aspek kesadaran yang mampu membuatnya menyentuh nilai-nilai luhur seperti kejujuran, keadilan, empati, dan politis (sikap tanggap terhadap situasi tatanan), namun di dalam masyarakat miskin pendidikan bukanlah menjadi prioritas utama dalam pencapaian hidup, kemiskinan ekonomi maupun cara berfikir membuat gerak partikular suatu masyarakat bergerak kedalam arah budaya nihilisme (kosong/tanpa tujuan) terhadap proses pendidikan,

Realitas menjelaskan tidak sedikit anak-anak di bawah umur memilih putus sekolah, lalu terpaksa harus bekerja sangat keras demi membantu perekonomian orang tuanya dalam mencukupi kebutuhan keluarga, melestarinya sikap apatis para orang tua terhadap proses pendidikan anak-anaknya, membuat anak tak memiliki tujuan dalam bersekolah, ini tergambarkan tinginya statistik pelajar yang harus putus sekolah lalu memilih bekerja atau para wanita yang terpaksa menikah di usia yang sangat muda,untuk ini perlunya pembalikan paradigma berfikir tentang arti pendidikan bagi masyarakat miskin agar  partisi hirarki di dalam ketetapanya terhadap kemiskinan dapat  bergerak di dalam kesetaraan, karena ketika hal ini terus terjadi bahkan kedalam level antar generasi, kemiskinan akan terus terjadi secara setruktualis dengan kemandekan akut.

Ketika pendidikan kehilangan maknanya bagi masyarakat miskin, yang terjadi hanya ada gambaran-gambaran eksploitasi bagi lanjutan kehidupan  masyarakat miskin, hal ini memunculkan terbentuknya penindasan, ketimpangan,pembodohan dan ketidak adilan sosial, melihat realitas yang terjadi ketika dominasi kekuasaan  di negara ini hanya di isi oleh sekumpulan golongan orang-orang kaya atau para pengusaha yang memperoleh kekuasaan untuk kepentinganya sediri, dengan ini arah perpolitikan negara ini telah jatuh di dalam oligark (kekuasaan di jalankan oleh sekumpulan orang-orang kaya hanya demi memperkaya diri dan kerabatnya), mereka menguasai ruang-ruang publik (kepemilikan media tv, koran, internet) hanya untuk membentuk suatu opini publik yang tak pernah objektiv dalam memberikan informasi karena bertujuan memperkukuh kekuasaan mereka atas nama citra diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun