Teruntuk, Al Fathya Khaerunisa
Hujan selalu turun di kota ini, tanah hanya basah.
Angin membelah sebuah daun. Juga matamu, hamparan
langit dalam yang bersiap-siap raib dari cahaya. Mendung
tak mungkin bisa selesai.
Tak ada payung di kota ini. Tak ada.
Dan kata-kata tak pernah benar-benar nyata. Atau puisi ini.
Hanya sekedai kopi tempat berteduh dan menyeduh
kesedihan-kesedihan kita. Melukai lambung sendiri.
Kau akan menemukan aku menghapus kalimatku di sini.
Lalu bertanya:
Mengapa kita bicara
tentang apa yang tak kita punya?
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!