Mohon tunggu...
Ahmad Hifni
Ahmad Hifni Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Founder Madrasah al-Qahwah; Ciputat Cultural Studies. Peneliti pada Moderate Muslim Society (MMS)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengecam Aksi Terorisme

23 April 2016   23:47 Diperbarui: 24 April 2016   00:07 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setelah rentetan serangan teroris di berbagai negara, akhirnya, Indonesia juga menjadi sasaran. Pada Kamis, (14/1) pelaku terorisme berhasil meneror masyarakat di Jalan MH. Thamrin Jakarta, dengan ledakan di gerai kopi Starbucks, disusul tembakan dan ledakan lanjutan yang mengejutkan masyarakat. 7 korban meninggal dunia dalam peristiwa ini.

Serangan terorisme ini bukanlah hal yang baru. Terhitung sejak serangan teroris di World Trade Center (WTC) di New York (2011), krisis sandera di Moskow (2002), serangan bom Madrid (2004) hingga serangan membabi buta di Paris (2015). Sementara serangkaian bom di Indonesia diawali teror bom di Legian Bali (2002), Bom kedutaan besar Australia (2004), Bom Hotel J.W. Marriot dan Ritz Charlton (2009), hingga ledakan bom Thamrin mutakhir ini.

Berbagai aksi terorisme ini telah menimbulkan ketidaktentraman, instabiltas negara, keresahan dan ketakutan masyarakat dunia. Terorisme menjadi isu global yang memengaruhi kebijakan politik negara-negara dunia. Berbagai serangan bom teroris menunjukkan bahwa terorisme merupakan ancaman yang sangat serius terhadap individu, masyarakat, negara serta masyarakat internasional. Terorisme bukanlah kejahatan biasa tetapi kejahatan luar biasa bahkan dapat digolongkan ke dalam kejahatan kemanusiaan.

Islam Tertuduh

Sejak serangan teroris 11 September 2001 di World Trade Center (WTC) New York, terorisme menjadi awal babak baru isu global yang memengaruhi kebijakan seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk memerangi terorisme sebagai musuh internasional. Perilaku kekejaman massal tersebut telah mempersatukan dunia melawan terorisme.

Indonesia, pasca tragedi 11 September 2001 belum menganggap aksi pengeboman yang terjadi di dalam negeri sebagai aksi dari terorisme mengatasnamakan Islam, melainkan aksi tindakan separatis dan pengacau keamanan seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan sebagainya. Pemerintah Indonesia baru menganggap adanya aksi terorisme di Indonesia setelah terjadinya tragedi Bom Bali I (12 Oktober 2012) yang menewaskan 184 orang dan melukai sekitar 300 orang. Dari sinilah babak baru, terorisme berhasil menginfiltrasi sebagian umat Islam Indonesia.

Teroris mengklaim tindakannya atas dasar ajaran-ajaran keislaman. Faktanya, serangkaian serangan teroris di berbagai negara diklaim oleh kelompok mengatasnamakan Islam. Sebutlah semisal al-Qaeda, Taliban, ISIS dan sebagainya. Akibat dari klaim sepihak kelompok teroris ini Islam terlampau diidentikkan dengan makna negatif. Islam dituduh sebagai agama yang mengajarkan intoleransi, kekerasan, dan terorisme. Label “Islam ekstremis” dipakai di mana-mana. Inilah yang oleh Khaled Abou Fadl dalam karyanya, The Great Theft: Wrestling Islam from the Ekstrimist, (2005), sebuah pencurian besar dan mungkin yang terbesar terhadap agama Islam.

Bahkan isu ekstremisme, kekerasan, dan tumpahan darah akibat serangan teroris menjadi menu utama media internasional. Hal ini semakin menciptakan salah persepsi tentang Islam khususnya di Barat. Wajah Islam seakan diwakili oleh kelompok teroris. Tidak sedikit misalnya muncul kecenderungan untuk menganggap Islam sebagai biang keladi atas absennya kebebasan. Di Amerika, Kristen Evangelis seperti Pat Robertson dan Jerry Falwell adalah di antara mereka yang secara terang-terangan memproklamirkan Islam sebagai “agama represif dan kemunduran (a religion of repression and backwardness)”. Sehingga  Islam tertuduh sebagai perusak peradaban.

Label “Islam ekstremis” dipakai di mana-mana, baik di kalangan akademis maupun di ruang publik secara luas. Para intelektual merumuskan secara akademis tesis-tesis ihwal Islam ekstremis. Para pemimpin dunia mengecam ekstremisme yang mengatasnamakan agama. Bahkan berbagai aliansi dilakukan oleh berbagai negara di dunia untuk menghancurkan terorisme.

Bernard Lewis dengan tesisnya ‘the clash between Islam and modernity in the middle east’, menunjuk masalah absennya demokrasi di dunia Islam karena bertumpu pada benturan antara Islam dan modernitas di Timur Tengah. Lebih lanjut Samuel P Huntington mengatakan sebagai benturan peradaban antara Barat dan Timur The Clash of Civilizations.

Sunggu semangat teroris yang merujuk sejarah Islam sebagai upaya untuk justifikasi perang melawan apa yang didefinisikan sebagai “yang lain” (the other) atau “kafir” (the infidel) merupakan bentuk pemahaman keagamaan yang sangat keliru. Pemahaman keagamaan ini sangat mirip dengan pemahaman Khawarij, maka para teroris layak mendapatkan julukan terminologi “the modern-day Khawarij of Islam” karna memang benar-benar menunjukkan wajah Islam yang intoleran, opresif dan menindas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun