Mohon tunggu...
ahmad hassan
ahmad hassan Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Berkecimpungan dalam dunia pendidikan. Suka musik klasik & nonton film. Moto "semua sudah diatur".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mirna (2/2)

2 Oktober 2021   10:01 Diperbarui: 2 Oktober 2021   10:09 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak mampu melihatnya, ia hanya menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang gemetar ketakutan. Seketika bau amis seperti darah menyeruak di dalam kabin lift yang kedap udara. Aromanya begitu menusuk sehingga membuatnya mual. Dari balik celah jemarinya, ia dapat melihat dari pantulan di pintu lift tampak sosok itu perlahan seperti akan mendekatinya. 

Ia mengutuk waktu yang seakan berhenti berjalan sementara ia kepengin lift segera sampai ke lantai 12. "Cepat! Cepatlah!" teriaknya dalam hati. "Bing" saat pintu lift terbuka, secepat kilat ia melompat keluar. Lalu berlari tunggang-langgang ke sebelah kiri koridor menuju kamarnya.

Bak polisi sedang menggerebek tempat kejahatan, Mirna menyergap masuk ke dalam kamarnya lalu mengunci rapat pintunya. Ia segera meraih hp dan menelepon Ibu. Menanti teleponnya diangkat, seluruh lampu termasuk tv ia nyalakan untuk mengusir rasa takut yang menjalar dalam dirinya. Di panggilan kedua barulah teleponnya diangkat. Dengan mengharu-biru ia mengungkapkan semua yang terjadi kepada Ibu walau dengan suara terbata-bata.

...........

Sekitar 40 menit berselang, terdengar suara ketukan di pintu disertai suara yang memanggil namanya. Melalui lensa pembesar di pintu, ia memastikan itu Ibu. Begitu Ibu masuk, Mirna langsung mendekapnya erat dengan tersedu-sedu. Berusaha tetap kuat, Ibu menenangkan Mirna.

Belum paham duduk perkaranya dengan jelas, Ibu menanyai kembali Mirna. Ia tak percaya saat memperhatikan surat penonaktifan yang diberikan Mirna. Walau berat diterima, ia dapat mengerti alasan di balik keluarnya surat itu. Meski Ibu sudah merelakan tapi bagi Mirna mungkin tidak semudah itu. Ibu merasa ini menjadi tugasnya untuk memahamkan Mirna tentang hal itu. Pelan-pelan akan ia lakukan dan berharap Mirna menerimanya dengan lapang dada.

Terkait halusinasi yang Mirna alami lagi, Ibu teringat pendapat psikiater yang ditemui pada waktu lalu. Menurutnya, kecelakaan itu telah menimbulkan trauma kejiwaan pada diri Mirna. Dampaknya adalah gangguan klinis maupun psikologis seperti yang Mirna alami sejauh ini.

Dari situ, Ibu menyimpulkan bahwa gangguan halusinasi yang terjadi disebabkan faktor trauma yang masih membekas dalam dirinya yang kemudian kambuh lagi. Tak heran jika hal itu suatu saat dapat terulamg kembali. Untuk itu, ia akan membujuk Mirna untuk ikut konseling lagi seperti yang pernah disarankan psikiater.

Selama dua malam Ibu menemani Mirna di apartemen. Saat hendak pulang, ia mengajak Mirna tinggal bersamanya. Namun Mirna tampak enggan seraya mengatakan ia sudah merasa lebih baik dan bisa ditinggal sendirian. Ibu lalu pulang dan berharap kondisi Mirna baik-baik saja selanjutnya.

.......

Di suatu malam saat hujan deras, hp Mirna berdering. Ia lalu mengangkatnya dan tampak bahagia menerima telepon itu. Wajahnya berseri diselingi sesekali senyuman. Sebuah kondisi langka yang ia rasakan dalam beberapa waktu terakhir. Setelah mengakhiri obrolan yang cukup lama itu, ia lalu mengambil sebuah payung dan tampak bersiap ingin keluar meski dalam cuaca yang sedang tidak bersahabat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun