Mohon tunggu...
ahmad hassan
ahmad hassan Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Berkecimpungan dalam dunia pendidikan. Suka musik klasik & nonton film. Moto "semua sudah diatur".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kalut (#7)

9 Mei 2021   10:30 Diperbarui: 9 Mei 2021   10:52 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Lumayan repot, Pak. Cari masker susah, di stasiun jadi antre. Disini pun antre," jawab Dika curhat.
"Sama saya juga sempat antre tadi di bawah," kata Herdi. "Hidup mendadak berubah begini ya gegara pandemi. Tapi tetap semangat kan?" lanjutnya.
"Tetap, Pak. Harus itu," jawab Dika.

"Tapi saya heran dengan dunia kedokteran dan iptek yang katanya maju dan canggih saat ini. Tidak bisakah mereka mengantisipasi virus semacam ini?" sambungnya.
"Sebenarnya sejak muncul SARS 2002 dan MERS 2012, para ilmuwan telah menyadari adanya potensi kemunculan penyakit atau virus berbahaya di masa depan. Tentunya deteksi ke arah situ ada. Tapi kenyataannya wabah tetap terjadi seperti sekarang bahkan virusnya semakin ganas dan mematikan. Itu yang menjadi pertanyaan besar," jelas Herdi.

"Saya juga baca berita, Pak, baru-baru ini. Pada Oktober 2019, sekitar dua bulan sebelum merebaknya virus C19, ada sebuah simulasi skala besar dalam menghadapi pandemi untuk tipe virus corona. Mengambil nama Event 201, acara tersebut mengundang berbagai respons, spekulasi bahkan tuduhan konspirasi di seputarnya. Namun penyelenggara acara itu dan pihak yang terlibat di dalamnya menyangkal hal tersebut dan menganggap itu hanya kebetulan saja," ungkap Dika.  

"Betul, saat ini kita semua tidak hanya bingung dan bertanya-tanya tentang asal-muasal virus itu dan tapi juga paranoid dengan penularannya. Ditambah lagi obat yang belum ada. Vaksin yang belum tahu seberapa ampuh jika nanti sudah tersedia. Tak ada yang tahu kapan pandemi ini berakhir," ungkapnya menerawang.

"Jadi sebaiknya bagaimana kita menyikapi bencana ini, Pak?" tanya Dika.
"Kita harus ingat bahwa setiap orang harus menjaga dirinya sendiri lalu ....," jawabnya tampak berpikir.
"Keluarganya," sela Dika spontan.  
"Ya, benar," ujarnya sambil mengangguk. Perkataan Dika yang terakhir ini terasa mengena banget. Satu kata itu menggetarkan hatinya. "Keluarga." Kata itu tampak hilang beberapa waktu terakhir ini baginya. Ia seolah terbangun dari mimpi buruk yang selama ini menghantuinya.

Di meja kerjanya tergeletak beberapa buah bundel kontrak kerja. Herdi mengambil salah satunya. Sebelum diserahkan untuk ditandatangani, Herdi menanyai Dika lebih jauh.
"Baik, Pak Dika. Setelah tadi ngobrolin pandemi, kita lanjut ke kontrak kerja ya?"
"Siap, Pak. Maaf, panggil saya Dika saja."
"Oke tapi sebelumnya apa ada pertanyaan terkait isi kontrak kerja yang kemarin saya kirim soft file-nya?"
"Tidak, Pak. Semuanya cukup jelas dan disetujui atasan saya."  
"Baiklah, kita langsung saja. Silahkan tandatangani di bagian pihak kedua," jelasnya.

Selesai penandatanganan, Herdi menyerahkan satu map ke Dika sambil berkata, "Ini kontraknya. Semua berkas sudah di dalam. Terima kasih atas kerjasamanya."
"Sama-sama, Pak," jawabnya sambil menerima map coklat hard cover tersebut.
.
"Ini mungkin jadi pertemuan terakhir saya secara langsung dengan vendor," ungkap Herdi gamang.
"Ada apa rupanya, Pak?" tanya Dika keheranan.
"Terkait pandemi, ada kemungkinan perubahan prosedur kerja. Untuk mengurangi kontak fisik dan membatasi pergerakan, semua aktivitas kantor dilakukan secara virtual. Termasuk juga jam kerja dan aturan work from home. Sekarang semua lagi dikaji dan dimatangkan," paparnya.
"Oh, saya pikir tadi Bapak mau dimutasi," ujar Dika bercanda.

"Ada satu lagi yang saya khawatirkan selama pandemi ini," ungkapnya serius.
"Apa itu, Pak?" tanya Dika.
"Kemungkinan pengurangan pegawai dalam rangka efisiensi. Tapi itu pun tergantung dari resources yang dimiliki perusahaan itu," jelasnya.
"Saya pun berpikir begitu, Pak. Tapi saya tak berharap hal itu terjadi di perusahaan saya," ungkap Dika.
"Semoga tidak ya," jawabnya.
"Omong-omong, Dika sudah punya nomor hp saya belum?" lanjutnya.
"Belum, Pak. Bisa disebutkan?"

Selesai menyebutkan nomor hp-nya, Herdi bertanya, "Dik, abis ini makan siang dimana?" tanya Herdi.
"Saya mau langsung balik ke kantor, Pak," jawabnya.
"Gimana kalau kita makan dulu," ajaknya.
"Sebenarnya mau, Pak tapi ...," Dika bingung saat mau menolak.
"Ayolah, saya traktir," bujuknya.
"Sepertinya saya gak punya pilihan lain," jawabnya menyerah.
"Tunggu saya di lobby bawah ya. Ada sedikit yang perlu yang dibereskan dulu," katanya sambil berdiri mengantar Dika keluar.
"Baik, Pak. Saya permisi dulu," jawabnya santai.

(bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun