Waktu tak menunggu siapa pun. Bahkan ketika kita diam, tenggelam dalam kenangan atau kehilangan, jam di dinding terus berdetak---menghitung luka, rindu, dan hal-hal yang tak sempat kita katakan.
Waktu tak pernah menunggu siapa pun. Bahkan ketika bibirmu membeku dalam diam, dan matamu hanya menatap tembok tanpa arah, jam dinding di ruang tamu itu tetap berdetak. Detik demi detik bergeser, mengoyak senyap, seolah ingin mengingatkan: dunia terus berjalan, bahkan saat hatimu patah tak bersuara.
Jam dinding itu tua. Jarumnya bergerak lambat, nyaris malas, tapi tak pernah absen. Ia telah menyaksikan terlalu banyak: tawa yang membuncah saat keluarga berkumpul, air mata diam-diam yang jatuh saat malam tak mampu lagi menahan beban hari, dan tentu saja ... kesunyian panjang ketika dua orang yang dahulu saling bicara, kini hanya saling duduk dalam diam.
Aku sering bertanya, apa rasanya menjadi jam dinding? Apakah ia sadar bahwa detaknya bisa memicu kecemasan? Bahwa setiap "tik" dan "tak"-nya mengiris hati yang sedang hancur pelan-pelan? Atau mungkin justru ia menjadi pengingat yang jujur: bahwa waktu tetap akan bergerak, meski kita memilih berhenti di satu titik kenangan.
Dahulu, kita sering duduk di bawah jam itu, berbicara tentang hal-hal kecil---tentang kopi pagi yang terlalu pahit, tentang bunga di pot yang mulai layu, atau tentang rencana-rencana masa depan yang kini tinggal debu. Kini, hanya aku dan jam itu yang masih ada. Kau memilih pergi, dan aku memilih bertahan, entah untuk apa.
Yang ironis, jam dinding itu tetap berdetak seperti biasa. Tak berubah. Tak goyah. Sama seperti detik yang terus memaksa luka untuk menjadi kenangan. Kadang aku berharap ia rusak saja---berhenti di pukul saat kau pergi. Namun entah mengapa, justru dalam bunyinya yang monoton, aku menemukan teman. Satu-satunya saksi bahwa dahulu, kita pernah ada di sini, bersama.
Waktu memang tak bisa diulang. Namun setiap detak jam itu seperti menjahit ulang potongan-potongan hidup yang tercerai. Meskipun pelan, ia memaksa kita---atau setidaknya aku---untuk terus hidup untuk menerima bahwa tidak semua diam adalah akhir. Kadang, diam adalah jeda sebelum langkah baru.
Dan meskipun kita diam, jam itu terus berdetak. Mengantar kita, pelan-pelan, menuju hari-hari yang tak lagi sama---tapi tetap bergerak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI