Mohon tunggu...
Ahmad fauzan
Ahmad fauzan Mohon Tunggu... Universitas Hasanuddin

Selamat datang di blog saya! Halo, pembaca setia! Terima kasih telah mampir ke blog ini, tempat di mana saya berbagi informasi, cerita, dan inspirasi dari berbagai topik menarik. Apakah Anda pencinta hiburan, pengamat tren terkini, atau sekadar mencari bacaan santai di waktu luang? Di sini, saya memiliki sesuatu untuk semua orang! Blog ini dibuat dengan tujuan untuk memberikan konten yang informatif, relevan, dan pastinya menyenangkan untuk dibaca. Saya berusaha menghadirkan tulisan yang segar, baik itu tentang teknologi, gaya hidup, hiburan, hingga tren budaya populer yang sedang hangat dibicarakan. Selain itu, saya juga ingin menjadikan blog ini sebagai ruang diskusi bagi pembaca. Jadi, jangan ragu untuk meninggalkan komentar, berbagi pendapat, atau bahkan memberikan ide untuk topik yang ingin Anda baca di sini. Mari jadikan blog ini sebagai tempat di mana kita bisa belajar, berbagi, dan tentunya menikmati konten-konten yang saya sajikan. Tetaplah bersama saya untuk mendapatkan tulisan-tulisan yang menarik setiap minggunya! Selamat membaca dan semoga hari Anda menyenangkan!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Jam Dinding yang Terus Berdetak Walau Kita Diam

15 Mei 2025   18:06 Diperbarui: 15 Mei 2025   19:00 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jam dinding hitam putih (Sumber: Pexels/Bob Clark)

Waktu tak menunggu siapa pun. Bahkan ketika kita diam, tenggelam dalam kenangan atau kehilangan, jam di dinding terus berdetak---menghitung luka, rindu, dan hal-hal yang tak sempat kita katakan.

Waktu tak pernah menunggu siapa pun. Bahkan ketika bibirmu membeku dalam diam, dan matamu hanya menatap tembok tanpa arah, jam dinding di ruang tamu itu tetap berdetak. Detik demi detik bergeser, mengoyak senyap, seolah ingin mengingatkan: dunia terus berjalan, bahkan saat hatimu patah tak bersuara.

Jam dinding itu tua. Jarumnya bergerak lambat, nyaris malas, tapi tak pernah absen. Ia telah menyaksikan terlalu banyak: tawa yang membuncah saat keluarga berkumpul, air mata diam-diam yang jatuh saat malam tak mampu lagi menahan beban hari, dan tentu saja ... kesunyian panjang ketika dua orang yang dahulu saling bicara, kini hanya saling duduk dalam diam.

Aku sering bertanya, apa rasanya menjadi jam dinding? Apakah ia sadar bahwa detaknya bisa memicu kecemasan? Bahwa setiap "tik" dan "tak"-nya mengiris hati yang sedang hancur pelan-pelan? Atau mungkin justru ia menjadi pengingat yang jujur: bahwa waktu tetap akan bergerak, meski kita memilih berhenti di satu titik kenangan.

Dahulu, kita sering duduk di bawah jam itu, berbicara tentang hal-hal kecil---tentang kopi pagi yang terlalu pahit, tentang bunga di pot yang mulai layu, atau tentang rencana-rencana masa depan yang kini tinggal debu. Kini, hanya aku dan jam itu yang masih ada. Kau memilih pergi, dan aku memilih bertahan, entah untuk apa.

Yang ironis, jam dinding itu tetap berdetak seperti biasa. Tak berubah. Tak goyah. Sama seperti detik yang terus memaksa luka untuk menjadi kenangan. Kadang aku berharap ia rusak saja---berhenti di pukul saat kau pergi. Namun entah mengapa, justru dalam bunyinya yang monoton, aku menemukan teman. Satu-satunya saksi bahwa dahulu, kita pernah ada di sini, bersama.

Waktu memang tak bisa diulang. Namun setiap detak jam itu seperti menjahit ulang potongan-potongan hidup yang tercerai. Meskipun pelan, ia memaksa kita---atau setidaknya aku---untuk terus hidup untuk menerima bahwa tidak semua diam adalah akhir. Kadang, diam adalah jeda sebelum langkah baru.

Dan meskipun kita diam, jam itu terus berdetak. Mengantar kita, pelan-pelan, menuju hari-hari yang tak lagi sama---tapi tetap bergerak.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun