Mohon tunggu...
Ahmad Faisal
Ahmad Faisal Mohon Tunggu... Penulis - Indonesian Writter

Political Science FISIP Unsoed Alumnus. I like reading, writting, football, and coffee.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Ku Iri Padamu yang Beda Iman

28 Februari 2018   20:04 Diperbarui: 28 Februari 2018   20:05 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Goal Celebration by Muslim, Hindu, and Christian via aboutislam.net

Pada saat melihat pertandingan sepak bola di TV, baik itu pertandingan di level dalam negeri maupun di luar negeri, seringkali saya melihat relasi antara usaha yang sedang kita lakukan dengan pengharapan kita atas Tuhan. Seorang pemain sebelum memulai pertandingan biasanya akan berdoa terlebih dahulu. Ritual doanya pun bermacam-macam sesuai dengan kepercayannya. Jika saya amati, orang yang nonmuslim begitu sering 'menyapa' Tuhan. Lihat saja ketika peluang yang diciptakannya hampir menjadi gol, atau ketika berhasil mencetak gol. Setelahnya, mereka punya ritual sendiri khas orang Kristiani yaitu dengan mengetuk dada mereka dengan jari tangan sesuai bentuk salib.

Kalau di gereja, orang Kristiani terlihat begitu khusyu' berdoa dengan tangan digenggam seraya menundukkan kepala dan memejamkan mata. Seolah begitu nikmat sekali dalam 'menyapa' Tuhannya. Jadi, seolah-olah ketika mereka berdoa, ya berdua saja. Sampaikan apa yang diinginkan kepada Tuhan, lalu setelah selesai berdoa ya sudah. Tinggal melakukan aktivitas / pekerjaan lagi seperti biasanya. Harapannya doa itu terkabul lalu bersyukur. Kalau pun belum terkabul berarti harus bersabar.

Begitu pula dengan orang Hindu, Budha, atau Kong Hu Chu, yang mana mereka malah lebih 'modal' lagi kalau mau berdoa. Harus menyiapkan sesaji, dupha, lilin, atau api. Tapi, ketika mereka berdoa begitu nikmat. Mata terpejam, sunyi, atau membaca kalimat-kalimat doa dalam agama mereka, semua itu seolah terjadi keintiman yang sangat dekat antara seorang hamba dengan Tuhannya.

Di agama yang saya anut, yaitu Islam, kami juga punya cara dan ritual sendiri sesuai dengan ajaran Islam. Sesuai judul tulisan ini, sebenarnya saya iri dengan teman-teman yang berbeda agama dengan saya. Keirian saya bukan terletak pada agama yang mereka anut, dengan Tuhan mereka, atau dengan simpel-tidaknya ritual yang dilakukan. Saya iri dengan tingkat kekhusyu'an mereka dalam beribadah.

Tidak pula saya menggeneralisir soal agama dan pengikutnya. Tetapi, hal ini lebih kepada kritik sosial atas bagaimana hubungan antara agama dan penganutnya. Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia memiliki problematika nya sendiri. Apalagi kalau sudah dibenturkan dengan isu politik, semua seolah-olah menjadi kabur. Tidak terlihat mana yang benar mana yang salah. yang berpakaian seperti pemuka agama bisa menjadi politisi yang oportunis. Sesama umat seiman saling menghujat dan menyalahkan, seolah kepercayaan mereka yang paling benar. Yang tidak seiman dianggap salah. Lalu kemana arah umat awam di luar sana akan dibawa kalau yang dijadikan panutan justru 'membutakan'?

Salah Kaprah Stempel Agama

"Bila engkau mengangap Allah itu ada hanya karena engkau yang merumuskannya, hakikatnya engkau sudah menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau Dia menyulitkan kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya". (Al-Hujwiri, dalam buku "Tuhan Tidak Perlu Dibela" karya Gus Dur)."

Agama menjadi kepercayaan wajib bagi orang Indonesia dan sebagian besar masyarakat dunia. Bagi saya, kritik soal agama yang kita anut, selain tertuju pada banyak orang di luar sana, juga tertuju pada diri saya sendiri yang mungkin terkadang solatnya masih bolong, tidak khusyu', atau yang paling sering menjadi kegelisahan adalah jika apa yang kita inginkan tidak tercapai, seolah-olah kita sudah berdoa tetapi malah kesulitan yang datang. Barangkali dalam ajaran Islam yang lebih mendalam tentang hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya sudah ada pembahasan tersendiri kalau kepentingan dunia kita melebihi ingatnya kita pada akhirat, kurang ikhlas, atau Islam kita hanya sebatas stempel agama saja.

Permasalahannya adalah adanya kegelisahan tentang hubungan kita dengan Tuhan. Tidakkah bagi orang yang mengkafirkan orang lain itu merasa gelisah terhadap Tuhan, apakah ibadahnya sudah benar atau belum, sedangkan yang menjadi pengadil sejatinya adalah Tuhan yang sama-sama disembah. Padahal, jika kita adalah orang yang setiap harinya 'mencari' Tuhan kalau tidak solat satu waktu saja merasa gelisah dan kemudian merasa bersalah.

Rupa-rupanya cara kita berhubungan dengan Tuhan memang harus diperbaiki. Karena pada hakikatnya bukannya kita sudah percaya dan yakin se-yakin-yakinnya bahwa Tuhan kita adalah Maha Besar. Tidak ada yang bisa menandingi-Nya, bukan?. Lalu, kenapa kita masih khawatir kalau Tuhan kita dihina? Padahal pola pikir penghinaan terhadap Tuhan adalah konstruksi pemikiran yang dibuat oleh manusia itu sendiri.

Agama: Kebutuhan atau Kewajiban

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun