Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Benarkah Kegiatan Menulis Harus Menjadi Amat Kapitalis?

3 Agustus 2015   05:07 Diperbarui: 3 Agustus 2015   07:31 1374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - komersialisasi tulisan (Shutterstock)

Kau menulis cerita tetapi lebih banyak membaca puisi ketimbang membaca cerita. "Puisi selalu memukau," katamu, "dan dari sana kau menemukan gambar-gambar dan suasana, dan juga kosakata baru." Sebetulnya bukan benar-benar baru. Kau sudah mengenal kosakata itu tetapi nyaris tidak pernah mengoperasikannya, dan puisi-puisi yang baik memberimu ilham untuk menemukan kembali apa-apa yang sudah lama terpendam. (AS Laksana-Sastrawan).

“Jad inikah nama asli Sang Bayangan? ^_^“

Kalimat itu yang tertera di kolom komen sebelas jam yang lalu, setelah sebelumnya masuk pula kalimat yang lainnya di kotak inbox, yang kebetulan semuanya berasal dari akun bergender wanita…^_

"Assalaamu'alaykum wr wb
Afwan akhi, mau tanya, apa buku Love in Dumay masih ada?
Kalau masih ada, saya ingin memesan buku tersebut."

Kalimat tersebut mengingatkan saya pada kisah yang pernah saya posting secara bersambung sebanyak dua belas bagian, yang tentu pula melahirkan segmen penggemar tertentu sebab siapakah yang tidak menyukai kisah cinta? Terutama jika kisah cinta itu berjalin tragedi buah pencarian cintanya yang religius, yang inginnya menuju muara segala cinta, Sang Maha Cinta, yang kisahnya masih terus berkelindan di laptop tua saya hingga lebih dari dua puluh enam bagian, yang tidak pernah lagi saya posting di akun mana pun.

Tapi, benarkah itu cinta? Cinta yang ber-Tuhan? Cinta yang menuju Tuhan? Ragu saya, sambil kembali menapaktilasi bait-bait panjang 'Sebuah Tanya tentang Sunyi' yang kelak mungkin saya himpun dalam kumpulan 'Di Bawah Kibaran Dosa', yang memang penuh uap neraka tersebut.

Hanya saja keinginan tersebut langsung kuncup, terutama sekali ketika mengingat latar belakang sejarah kegiatan menulis saya yang awalnya memang mengedepankan nilai berbagi manfaat, dengan cara yang seikhlas mungkin, dengan sesedikit mungkin menyelipkan pamrih di dalamnya. Sesuatu yang akhir-akhir ini telah menjadi amat sukar jika mengingat betapa segalanya telah menjadi begitu uang. Penghargaan adalah uang. Produktivitas juga uang. Bahkan ketika kita ikhlas menolong seseorang yang tertimpa musibah pun selalu awalnya dipaksa untuk menerima tanda terima kasih berupa: Uang. Hufh…

“Wah… Ini karya sastra…!” ulang Mulan merekonstruksi ulang kejadian melayangnya cabikan kertas panjang bertuliskan cinta, dari seniornya di Fakultas Kedokteran Yarsi, waktu saya masih berstatus resmi sebagai pengangguran dulu. Dan saya membayangkan Mulan yang bergegas menelusuri koridor kampus dengan jubah praktikum kedokterannya yang melambai-lambai seperti di film ER, masih harus berbalik menghampiri sang kakak tingkat untuk meminta kembali robekan cintanya tersebut, walau untuk itu dia menjadi terlambat mengikuti kelas praktikum bedah mayat, misalnya.

Surat cinta tersebut entah di mana keberadaannya sekarang. Saya hanya ingat judulnya, Apiku Api Liar, Mutiaramu Pun Terbakar. Bait panjang yang hanya berisi larik patah-patah sebanyak dua atau tiga kata di setiap barisnya.

Masih di masa remaja yang sama pula datang DN, alumni SMEA Negeri yang senang bercampur pusing menerima surat dari kekasihnya yang menjadi TKW di Taiwan. Kubaca sekilas. Muram, khas derita TKW yang terus berkeras membanting-banting tulang di negeri seberang dengan amat lelah, sambil banyak kali terkenang negeri asalnya yang amat indah ini, Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun