Terbiasa kehidupan yang mandiri di panti asuhan, aku tak betah berpangku tangan. Pagi itu juga kucari lapak penjual koran yang agak besar, dan memohon untuk bisa membantu menjajakan koran secara berkeliling. Sementara sore harinya sepulang sepulang sekolah, aku kembali mengorek-ngorek rejeki di pasar sebagai pembawa barang belanjaan.
Atas nasehat Pak Min, setiap kali aku berangkat ke pasar, kulumuri tubuh dengan lumpur kali, agar tubuhku terlihat dekil dan berbau agak menyengat. Semua itu kulakuan semata demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dari preman yang biasa mangkal dekat perkampungan kumuh kami.
Sayang kebersamaanku dengan Pak Min hanya sejenak. Penyakit asma yang diderita Pak Min mengantarkannya ke pintu kubur. Tidak ada yang membantu pengobatan, hanya mengkonsumsi obat warung yang kubeli setiap hari. Hingga malam maut itu, asma Pak Min kambuh sangat parah.
Sambil menangis kubawa Pak Min ke RS Swasta yang ada di Wonokromo. Namun malang, pihak rumah sakit menolak karena kami miskin dan tidak memiliki biaya administrasi yang harus dibayar di muka.
Pak Min meninggal di pangkuanku, membuat bumi terasa mendadak amat pekat, menyisakan nanar di mataku, tentang bagaimana mesti kujalani hidup selanjutnya?
***
tak ada gading yang tak bercela
bukan alasan tuk legalkan
senyum sang jendral
atau
melanggengkan kultus abadi