Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fikber 2] Kampung Biadab: Salim Kancil Jilid II serta Tamparan untuk Said Gigu dari Tukang Ngarang di Kompasiana

2 Desember 2015   14:03 Diperbarui: 2 Desember 2015   14:03 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tapi Sukma tetap berlari. Tubuhnya telah menjadi amat absurd, hanya tersisa badan dan kaki tanpa lengan serta kepala.

Hingga akhirnya, hantaman keroyokan membuat Sukma terkapar, yang masih terus dihajar oleh tim 13 Lurah Sadikin.

“Pergi…! Temani lengan kiri untuk menuntaskan kewajibannya sebagai manusia…!” perintah jiwa Sukma untuk yang terakhir kali kepada kakinya. Tapi malang bagi kaki kiri, karena telah terlebih dulu hancur didedel setan kepala hitam asuhan Lurah Sadikin.

***

 

Cerita sebelumnya dalam episode “Jeritan Sukma”.

“Kau yakin bunuh diri? Karena hasil visum justru mengatakan bahwa anak gadis tersebut mengalami tauma benda tumpul pada beberapa bagian tubuhnya.” sahut perawat yang satunya sambil merapikan serpihan dagingnya yang terburai di bagian pinggul ke atas.

Mendadak perawat yang terakhir bicara menghentikan ucapannya.

“Kau dengar sesuatu?” tanyanya agak was-was. “Seperti ada yang menjerit.”

“Jangan-jangan… rumah ini ada hantunya?”

***

 

Sukma menghambur keluar dari kamarnya.

Semua sudah gila! Masa ada setan memfitnahku sebagi hantu? Bahkan ayahku sendiri tega ingin memakanku!

Lari punya lari, tanpa terasa Sukma tiba di pohon beringin besar yang menjadi penanda gerbang masuk desanya.

Terdorong oleh ribuan penasaran yang tak terpetakan, Sukma menghantamkan lengan kirinya ke batang pohon beringin. Karena menurut logika tengilnya, mencubit lengan hanya demi mengetahui apakah seseorang tengah bermimpi atau tidak telah menjadi terlalu mainstream.

Tapi bukannya memperoleh pencerahan, nalar Sukma justru semakit kusut dan bebeliet tak karuan!

Didahului bunyi ‘Krek!’ keras seperti ranting kering yang terinjak, tangan kiri Sukma patah sebatas pergelangan dan mencelat ke depan. Sakit. Tapi tidak berdarah.

Jika mimpi, mengapa aku mampu merasakan sakit? Dan jika bukan mimpi, mengapa pula kejadiannya bisa seaneh ini?

Pertarungan pikiran Sukma langsung berhenti ketika dilihatnya lengan putus itu mulai menggeliat dan mengucek-ucek kukunya, seperti baru saja terjaga dari lelap semalam suntuk.

“Kau terkejut, Sukma?” tangan kirinya bertanya sambil jemari melakukan gerakan membuka seperti mulut yang menguap.

Tapi Sukma mulai terbiasa dengan keanehan yang belakangan ini gemar mampir di hidupnya. Alih-alih merasa takut, Sukma justru terpesona, sebab ada berapa orang di dunia ini yang mampu berbicara dengan tangan kirinya sendiri, pada saat ‘mereka berdua’ masih hidup?

“Ada yang ingin kutunjukkan kepadamu.”

Masih merasa takjub Sukma mengikuti tarikan lengan kirinya. Bagaimana bisa lengan kirinya menyeret lengan kanannya untuk mengikuti ajakannya? Bukankah itu berarti dirinya mengajak dirinya pergi? Yang entah menuju kemana, karena dia sudah merasa lelah menggunakan akal sehat, dan memilih untuk hanya berjalan sesuai arus, hanya demi mempertahankan setitik kewarasan dari serbuan kegilaan yang bertubi-tubi.

“Kau tunggu saja di sini,” ucap lengan kiri langsung memotes telinga kanan Sukma, dan melayang bersama ke Gedung Kelurahan yang kini tak lagi menjadi representasi warganya.

“Bagaimana urusan Sukma, sudah beres?” seseorang bertanya, membuat Sukma mengernyit alis sebab suara itu amat tak asing bagi dirinya. Suara Pak Lurah Sadikin!

“Dia berhasil lari,” jawab seseorang yang lain, yang langsung menghasut Sukma untuk menggigit bibir sebab suara itu adalah suara ayahnya.

“Saya harap hari ini terakhir kau habisi dia. Reportasenya di kumpulan blog populer milik salah satu perusahaan media terkemuka akan sangat merepotkan kita.”

“Mengapa harus aku yang melenyapkannya?”

“Karena kau adalah ayahnya.”

“Tapi bukankah kau yang menjadi lurah di sini, yang otomatis pula semua warga adalah anak-anakmu? Lagi pula, dia hanya anak pungutku. Anak haram hasil kolaborasi terselubungmu dengan Si Minah. Maka sebutan anak agaknya sudah mulai harus diakhiri.”

Tanpa terasa Sukma menggigit terlalu keras, hingga bibirnya mengucur darah cukup deras.

Jadi… aku cuma anak pungut? Dan Mbok Minah adalah ibuku?

“SIAPA DI SITUUU…?!!”

Sebuah bentak menyentak Sukma dari pergulatan angannya, juga tarikan di tangan kanan, yang nyaris membuatnya tersuruk ke depan.

“Lari sukma! Kita sudah ketahuan…!” ternyata tangan kiri yang barusan menariknya, membuat Sukma gugup dan terserimpet rok yang dipakainya.

“Danar! Zaldy! Kerahkan tim 13 untuk menangkapnya hidup atau mati!” raung Lurah Sadikin penuh kemarahan. “Dan kau Savitri! Siapkan pedupaan khusus untuk mengacaukan pikirannya agar tersesat kembali ke sini! Juga perintahkan Mbah Suro membawa ramuan pelenyap jasad untuk menghilangkan barang bukti!”

“Dan aku tak ingin kejadian Salim Kancil terulang lagi!” pekik Lurah Sadikin dengan murka tak terkira.

Akhirnya Sukma paham apa yang terjadi. Ternyata semua kegilaan ini buah perbuatan Lurah Sadikin, yang tak ingin kegiatan tambang emas ilegal berkedok penelitiannya di Pulau Warna Darah terendus media. Dan Sukma adalah orang pertama yang membuat reportase tentang hal itu di media warga!

Tapi semuanya sudah terlambat. Jarak antara dirinya dengan tim 13 Lurah Sadikin semakin rapat.

“Kau pergilah dahulu menyelamatkan diri,” bisik Sukma kepada telinga dan lengan kirinya yang melayang di depannya, bersamaan dengan bajunya yang dijambret dari arah belakang.

Tak ingin seperti Salim Kancil yang diseret maut sepanjang jalan menuju kelurahan, Sukma memberontak sekuat tenaga, membuat bajunya terkoyak cukup besar.

Kembali Sukma berlari, hingga sebuah hantaman benda dingin menghajar leher belakangnya, membuat lehernya berderak patah dan menggelinding ke tanah.

Tapi Sukma terus berlari. Berlari dan berlari. Dia merasa harus menuntaskan artikelnya tentang penambangan emas liar di Pulau Warna Darah ujung paling timur Pulau Jawa, karena telah mulai memakan korban warga sekitar yang berdemo menentangnya.

Sebuah sabetan kembali mengenai sukma, membuat lengan kanannya keple sebatas siku, sebelum akhirnya tertebas putus.

Tapi Sukma tetap berlari. Tubuhnya telah amat absurd, hanya tersisa badan dan kaki tanpa lengan serta kepala.

Hingga akhirnya, hantaman keroyokan membuat Sukma terkapar, yang masih terus dihajar oleh tim 13 Lurah Sadikin.

“Pergi…! Temani lengan kiri untuk menuntaskan kewajiban terakhirnya sebagai manusia…!” perintah jasad Sukma untuk yang terakhir kali kepada kakinya. Tapi malang bagi kaki kiri, karena telah terlebih dulu hancur didedel setan kepala hitam asuhan Lurah Sadikin.

Samar jasad Sukma masih mendengar bahak Lurah Sadikin, sebelum akhirnya benar-benar sunyi.

***

 

Di sebuah warnet pinggir jalan desa, sebuah lengan kiri melayang masuk, membuat remaja penjaga warnet terkencing-kencing keluar ruangan sambil berteriak, “Tangan setaaannn!”

Tapi karena penasaran, dengan penuh ketar-ketir remaja tersebut berbalik dan mengintip, apa gerangan yang akan dilakukan tangan setan tersebut.

Dilihatnya tangan setan itu sibuk mengetik. Darahnya terciprat kemana-mana, sebelum akhirnya kembali remaja itu kabur lebih cepat, dan tak pernah lagi kembali ke pekerjaannya.

Masih teringat jelas dalam benak si remaja, judul yang tertera pada layar monitor, yang penuh cpercikan darah tersebut.

“Pulau Warna Darah: Akankah Tragedi Salim Kancil terulang lagi?”

***

 

“Tak disangka semua kejadian dunia ini selalu berhubungan dengan emas,” keluh Kaki Sukma kepada Telinga Sukma yang mengiringi perjalanannya. “Baik itu emas hitam maupun emas kuning.”

“Benar, Ki. It’s all about the money, dam… dam… dararam…dam…” timpal Telinga Sukma mengulang refrain senandung Meja. “Bahkan fikber horor inipun tak lebih dari sekedar pertikaian uang.”

Kaki Sukma melenguh sedih. Teringat nasib badan Sukma yang kini hancur lebur tanpa pernah bisa ditemukan siapapun lagi.

“Tapi sepertinya Tangan Kiri Sukma percuma membuat reportasi warga, Ki, karena bisa saja para petinggi dan pemangku kepentingan bertingkah konyol seperti si Said Gigu, dan menganggap fikber ini juga cuma karangan kosong belaka.” lanjut Telinga Sukma.

“Makanya tugas kita harus cepat dilaksanakan, Tel. Agar tak ada lagi orang-orang picik yang menyangka bahwa dunia tak lebih lebar dari upil mereka. Agar mereka paham apa fungsi utama lidah, selain untuk menjilat pantat para petinggi.” gereget Kaki Sukma.

“Memangnya apa sih tugas kita, Ki?”

“Menendang pantat Si Said Gigu! Dan kita akan terus menendang pantatnya sampai songgeng, hingga dia mengecek terlebih dahulu setiap analisa yang dibuat oleh seluruh rekan Kompasianers juga Fiksianers. Agar pantatnya paham apa perbedaan antara mengarang dengan menganalisa, serta menyelipkan pesan tersirat sebagai amanat!”

“Ooh… Eh, tapi, kenapa pantatnya yang harus paham? Kenapa bukan justru otaknya?”

Bukannya menjawab, Kaki Sukma justru beretorika setengah memfilsuf.

“Kau tahu, Tel, kenapa kau tetap dijadikan tokoh walau cuma tinggal telinga?”

Telinga Sukma menggeleng.

“Karena tujuanmu memang untuk mendengar, entah itu informasi terang atau justru desas-desus pasar gelap yang seringkali justru lebih teruji kebenarannya.”

“Terus, apa hubungannya dengan pantat Said Gigu?” Telinga Sukma masih bingung.

“Karena aslinya Said Gigu tak lebih dari sekedar pantat. Karena tujuannya memang cuma menjilat pantat. Tak lebih dan tak kurang!”

Telinga Sukma naik turun seperti gerakan mengangguk. Dia merasa ucapan Kaki Sukma ada benarnya. Karena manusia memang seringkali lebih dimaknai bukan semata karena ‘siapa dia’, melainkan lebih kepada ‘apa tujuan hidupnya’.

 

Secangkir Kopi Ending Fikber-2, Thornville-Kompasiana, 02 Desember 2015.

Untuk membaca episode peserta fikber sebelumnya, silahkan menuju link yang ini.  

 

Link Terkait: http://nasional.tempo.co/read/news/2015/11/30/078723551/beredar-rekaman-percakapan-calo-freeport-jokowi-terseret

 

Tiga postingan saya sebelumnya:

Fikber episode pra ending gelombang 2 (tema horor): Jeritan Sukma
Ending fikber gelombang 3 (tema komedi): Manunggaling Kawulo lan Fiksi
Ending fikber gelombang 1 (tema bebas): Ad Infinitum: Belajar Mati Mengenaskan Ala Bung Karno

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun