Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Apakah Kamipun Tak Lebih dari sekedar Tokoh Fiksi, Tuhan?

4 Agustus 2015   08:27 Diperbarui: 4 Agustus 2015   10:36 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Untuk chapter 12 dan seterusnya tidak diposting di Kompasiana, karena dikhawatirkan mengandung kalimat agak ‘dewasa’ yang belum diburamkan dengan simbol dan metafor yang lebih sopan-Pen...^_)

 

***

“Sa hanya ingin membuat Yang menjadi lebih mendekati sempurna, Ben... Ci... Hanya ingin menjadikannya lebih indah dan bercahaya...” ratap Sa dengan suara yang sangat bergetar.

Bulshit!” maki Ben.

“Ben...” Ci kembali mengingatkan. “Ga ahsan, Ben... Ci ga suka itu...”

“Maafkan Ben, Ci...” ucap Ben dengan rasa malu bercampur sendu.

“Kenapa Sa ga menikahi Yang saja?” suara Ci terdengar seperti kapas, lembut juga empuk.

“Sa ga bisa, Ci... Benar-benar Sa ga bisa...”

“Tapi kenapa, Sa? Bukankah kalian telah saling cinta sejak awal?” Ci bertanya lagi. Tapi kali ini dengan wajah memerah seakan ada peri kecil yang memulasnya dengan warna cahaya.

Just you look in to my eyes, Ci...” mohon Sa.

Ci menuruti. Namun belum lagi genap sedetik Ci telah memalingkan pandang ke arah lain dengan dada berdebaran tak karuan.

Please, Ci...” kembali Sa memohon.

Dengan menguatkan adzam serta berlindung dari segala yang berpotensi buruk, kembali Ci memandang, dan kembali hati Ci menyerupa debur ombak, yang kini bahkan hingga membuat tubuhnya sedikit berguncang. Ah, alangkah pekanya perasaan seorang wanita...

Semakin berdegup kencang, semakin Ci lawan dan tahan, dan semakin tubuhnya gemetar hingga ke tulang sumsum.

Inikah cinta? Ataukah nafsu? Hasrat birahi? Atau original sin? Mungkinkah the most favourite mistake? Atau rindu? Atau hati yang berpadu? Atau...

Tiba-tiba saja Ci menjerit keras. Tubuhnya ambruk menuju bumi. Napasnya tersengal. Wajah pucat, dengan bibir yang sedikit gemetar.

Sekuat tenaga Ci berusaha untuk menahan tangis. Namun kesedihan bukankah amat bersaudara dengan airmata bagi seorang wanita?

Dalam mata Sa, Ci tidak melihat sosok Yang, melainkan justru melihat dirinya sendiri. Dan dalam telaga bening itulah Ci melihat dirinya menyerahkan tubuh dan jiwa secara utuh, juga hati dan pikirannya: Kepada Ben... untuk segera dinikahi secara syar’i.

Namun pada telaga bening itu pula Ci melihat perulangan sejarah!

Ci melihat dirinya berubah menjadi Mulan, dengan kakak borju yang Direktur Bank Nasional itu menjelma ayahnya, atau ibunya, kakaknya, adiknya, sepupunya, pamannya dan entah siapa lagi yang berebut untuk mengambil posisi, yang bersama-sama lalu membentuk sebuah koor panjang yang amat sumbang, “Cuma pemuda dewasa biasa, dan tak boleh menikah ala koboi...!” Sebab Muhammad memang telah lama wafat. Sebab Ummu Sulaim juga telah menyusul beliau. Dan surga belumlah menjadi parameter yang paling utama: Sereligius apapun kita dan keluarga.

“Kau telah mengerti mengapa aku terus berlari, Ci...?” tanpa sadar Ben rengkuh Ci untuk membangunkan dan menghiburnya, yang seketika Ben lepaskan kembali mengingat ada batas di antara mereka.

“Tapi Ci telah terlanjur mencintaimu, Ben...” segaris sedih mengalir di pipi yang memucat itu. Napasnya satu-satu.

“Ingatkah Ci pada ucapan sendiri, bahwa cinta tak mesti saling memiliki, dan bahwa cinta yang berdasarkan perasaan, hanya akan berakhir dengan kesedihan...” kembali Ben berkata. Lembut juga getas. Walau dengan sorot mata yang bahkan orang butapun tahu bahwa itu adalah cinta yang teramat besar.

“Mengapa tak kita paksakan saja, Ben...? Bukankah Ben pernah berjanji untuk menemani Ci meniti jalan menuju cahaya...? Dan bersama kita menjadi manusia... yang terus hidup di jalan –Nya... dan selalu menghidupkan jalan –Nya...?” masih dengan terisak Ci berkata. Ada harap di sana. Juga cinta.

Ben tersenyum lagi. Napasnya keras. Berat. Juga memburu dan sedikit sesak.

“Bukankah dengan kehidupan Ci yang saat ini, kita bisa bersama merenda bahagia, walau mungkin dengan penghidupan yang amat sederhana...?” kembali Ci penuh harap, dan kembali Ben tersenyum lembut dan getas.

“Dan setelahnya, bersama kita praktekan yang 70% itu, Ben... Dan bukankah Ben pernah berkata, bahwa dengan kemampuan gabungan kita kelak, hanya butuh hitungan dua tahun untuk kita kembali memiliki segalanya...?”

“Atau kita bisa melegalkannya tanpa sepengetahuan siapapun... Tanpa catatan sipil...! Sambil menunggu segalanya kemudian menjadi ‘sesuai’ syarat dan ketentuan...”

“Atau kita... Atau kita...” dan segala ‘atau kita’ yang terus saja mengalir dari bibir Ci, mengingatkan Ben pada keadaan Mulan saat situasi yang sama dulu terjadi.

Ben kembali tersenyum. Lembut juga hangat. Walau masih saja terasa amat getas.

“Ci bukan Mulan, Ben...! Ci bukan mahasiswa, Ci PNS! Dan kaupun bukanlah Ajo sebab kemampuanmu kini telah jauh lebih besar dari sepuluh atau mungkin sejuta Ajo...! Ben... bicaralah... jangan hanya tersenyum...!”

Ci pejamkan mata, berharap dengannya semua gelap langsung lindap dan terserap lenyap. Namun justru bayang yang lain kembali menyergap.

Kali ini ia mengambil posisi Na, yang menjelma malaikat wanita yang dikirim Tuhan untuk menyelamatkan Ben, dan memberikan kepada Ben milyaran rasa nyaman yang mendamaikan.

Ci tahu bahwa dirinya berhasil membuat Ben berhenti berlari. Dan itu adalah sebuah keberhasilan... yang penuh dengan kesedihan!

Dilihatnya Ben berkata dengan amat lembut namun serius.

“Fondasi pengayaan pikiranmu telah selesai dan kau miliki kini, Ci... dan Ci sekarang insya Allah telah menjadi pribadi yang jauh lebih baik. Tinggal satu hal lagi yang akan Ben ajarkan kepada Ci... yaitu tentang bisnis dan seni dalam bernegosiasi. Dan setelah itu, Ben akan kembali pergi dan berlari...”

Tapi Ci tak ingin lagi membiarkan Ben untuk terus berlari.

Dengan segala cara Ci mengulur pelajaran terakhir yang tengah diberikan dengan sabar oleh Ben. Walau ternyata waktu tetap saja cuma waktu. Tetap tiba saatnya untuk Ci mengakhiri semua materi yang dibagi oleh Ben.

Dan Ben, sudah tidak lagi pernah bisa untuk berlari. Sebab Ben telah kehilangan segala yang mampu untuk membuatnya tetap dapat berlari dan terus hidup. Sebab untuk hidup, manusia memang hanya butuh tiga hal yang amat sederhana: Cinta, harapan serta impian. Dan Ben tak pernah lagi memiliki ketiganya, atau meski cuma salah satu darinya saja.

Ben mati, sebagai pecundang terhebat yang sempat tercatat oleh sejarah.

“Tidaaakkk…!!!” teriak Ci sambil membuka matanya lebar-lebar dan mengusir semua bayang semu yang telah tertransfer dari mata Sa.

Tapi Sa sudah tak ada lagi. Begitu juga Ben. Sebab setelah ini, dimulailah episode terakhir dari trilogi “Dunia Aneh Si Ben”: Pelajaran bisnis terakhir untuk Ci.... dalam sebuah jilid yang penuh intrik serta sarkastik, walau masih tetap penuh nuansa merah jambu yang mengabu seperti yang biasa menjadi ciri khas Ben, dengan romantisme sarkas yang agak liar dan mengabur. Dan setelahnya... hanya ada Ci. Tanpa Ben. Tanpa Sa juga tanpa Ajo. Selamat menjadi manusia, yang selalu berusaha untuk menjadi hamba sejati bagi Tuhannya, dengan cara biasa, tak biasa, atau dengan cara apapun juga. T,T

Klik.

Ditutupnya layar laptop dengan gundah. Napasnya sedikit memburu, dengan embun dingin yang entah kenapa kian akrab menghiasi kening dan tengkuknya itu.

Selalu begitu. Selalu ketika tengah menyelesaikan posting bersambung yang ia buat dalam ‘A Time to be Killed’ melalui dunia virtual, ia terus dihinggapi oleh rasa gelisah.

Diteguknya chia –sejenis minuman khas india campuran teh dan susu- kuat-kuat. Dan setelahnya, ia bangkit, menuju istri tercintanya yang tengah bercengkerama dengan sang putra kesayangan.

“What happened, Rei...?” lembut istrinya bertanya.

“Nothing, Earl... Maybe both of us need to relax sometime,” dengan penuh kelembutan Rei merengkuh pundak istrinya. Sementara Dre sang jagoan cilik yang baru berusia tiga tahun itu memandangnya dengan penuh senyum.

“Of course, Rei, why not...” Earl tersenyum mahfum.

“But i think that Indonesian setting isn’t good enough for you, Sweetheart...” kembali sang istri berkata. Dan kembali Rei tersenyum.

“It just a story, Earl my lovely, just a tale... Eventhough i really hate Jakarta too much, but sometime i miss that ‘black hole’ too...” ucap Rei sambil bergurau tentang Jakarta.

“Thentuw shaje... Khita ken ohreng Jakharta jughe, Kak...” ucap Early Morning Dew dengan amat lucu dan nyaris membuat tawa Rei meledak. Ah, ada-ada aja nih Si Putri Solo. Yah... beginilah jadinya kalau orang terlalu lama berlompatan keliling dunia. Bahkan dengan bahasa aslinya saja dia menjadi agak punya jarak.

Sepertinya sudah tiba saat untuk kembali ke jakarta. Lagipula sudah terlalu lama Rei tidak bertemu dengan orang kaku itu, batin Rei sambil tersenyum-senyum sendiri dengan candanya terhadap sang mertua di North Jakarta itu.

Dan tentu saja rencana tersebut mendapat enthusiasm dari Earl dan Dre. Juga rencana Rei untuk tinggal dengan sedikit lebih lama di sana.

“What a beautiful life, Rei...! I love you... Very-very love you so much! Emmmhh...” sebuah kissing lembut mendarat di bibir Rei, yang dengan sangat jengah dan bahagia Rei terima saja dengan pasrah. ^_

Tapi perkataan-perkataan mereka selanjutnya membuat Rei sedikit melengak.

“But i still confuse aboutmarmut’, Rei... What the meaning about that animal is? Can you tell me now, Dear...? ” ask Earl.

Sementara Dre berteriak keras-keras, “Apel melaah, aciiik...!” dengan logat bulenya yang kental, sambil terlihat memperagakan canda yang berkejar-kejaran dengan seseorang.

“I hate rat...!” desis Earl berbalik sebal setelah Rei menerangkan tentang hewan yang disebut Earl dengan kata-kata yang terdengar lebih mirip ‘mahmud’ atau ’mammoth’ itu, sambil menjelaskan bahwa ia juga pernah membaca ‘Dunia Aneh Si Ben’ yang jilid 1 sebelum ’Love in Dumay’ ini. Juga tentang cerpen-cerpen Rei lainnya yang sering ia jadikan ‘sleep story’ buat Dre. Termasuk cerpen ‘Belenggu Angan’ yang kini tengah diperagakan oleh Dre, yang memang berseting pyur Jakarta.

Ah, barangkali itu gambaran terakhir mereka tentang Jakarta, yang memang tak pernah sedikitpun Rei ceritakan kepada mereka, batin Rei dengan agak tercenung. Bahkan serapat apapun ia tutupi masa lalunya, tetap saja kehidupan memberinya jalan untuk menerobos bebas dan membuntutinya, sejauh dan selama apapun Rei menghindarinya!

Ditatapnya Earl dengan penuh cinta, dan diajaknya cintanya itu ke taman samping rumah dengan rasa cinta yang tak terhingga, untuk bersama menikmati gemerlap bintang yang seperti tengah melakukan rapat raksasa dalam galaksi yang semakin menua ini.

“C’mon, Menthariy...” ajak Earl dengan logat lucunya kepada Dre. Tapi sosok kecil itu justru lebih memilih untuk memeluk dan bergelayut erat di salah satu kaki Rei sambil tertawa-tawa, membuat Rei berjalan amat payah menyeret sebelah kaki yang digemboli bocah itu. Sementara Earl tersenyum-senyum saja di sampingnya sambil mengucap, “like Belenggu Angan” dengan sumringah. Dan semakin bertambah sumringah dengan senyum cerah merekah saat Rei merengkuh pinggangnya dengan mesra.

Bersama mereka menuju taman, dengan amat terseok. Sebab cinta yang menggelayuti mereka bertiga memang terlalu besar untuk walau sekedar dibawa berjalan.

Sekilas Rei seperti melihat sepasang tangan yang sibuk menggerak-gerakan jari seakan tengah memencet tombol ini dan itu... di langit tepat di atas kepala mereka! Tapi cuma sekilas. Seperti kelebatan liar yang tiba-tiba saja menyelusup dan hinggap ke dalam benaknya.

“Apakah kamipun seperti Ben dan Ci, Tuhan, tak lebih dari sekedar tokoh fiksi yang tengah diketik oleh entah siapa nun jauh di langit sana...?”

My name is Rei. Rainbow Braveheart.

(Bersambung ke chapter selanjutnya: Dalam Kesalah pahaman).

 

Love in Dumay #11, Kompasiana, 22 Februari-012015.

  • Ummu Sulaim termasuk satu dari sekian banyak tokoh utama wanita Islam yang banyak disebut-sebut karena keikhlasan beliau yang tidak mengajukan mahar/mas kawin berupa harta-benda senilai entah berapa digit seperti yang akhir-akhir ini ramai beredar kembali kejadiannya dengan amat aneh. Beliau justru hanya meminta ‘masuk islam’nya Abu Thalhah sebagai mahar pernikahan mereka hanya demi tidak memberatkan prosesi pernikahan. Mengingatkan penulis kepada Sabda Rasulullah Muhammad SAW yang mengatakan bahwa sebaik-baiknya istri adalah yang maharnya paling sedikit, wallahu a’lam…

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun