Tidak terlalu buruk. Ada cukup banyak pekerjaan informal paruh waktu yang bisa meng-cover kebutuhan harian. Dan dengan sedikit kreatif bukan sesuatu yang rumit menyulap halaman samping menjadi kebun sayur organik mini, yang tentu langsung memberikan kontribusi pada hematnya pengeluaran harian yang tadi, serta banyak lagi kreatifitas lainnya dalam memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang amat menyenangkan, mengingatkan saya akan program Simple Life! yang pernah booming di media elektronik.
Dan kehidupan yang telah amat mengalami percepatan ini, mengingatkan saya pada banyaknya sosok-sosok yang merindukan kedekatan dengan alam, yang lebih memilih untuk meng-eliminir sebanyak mungkin kebutuhan akan benda-benda canggih peradaban, hanya demi terlepas dari biaya penggunaan dan pemeliharaannya, hanya demi bisa bekerja lebih sedikit, hingga waktu yang tersisa dapat dialokasikan untuk lebih menikmati hidup dan jati diri sebagai manusia.
Saya pribadi berpendapat tidak perlu se-ekstrim itu, karena –jika di Indonesia- kita masih bisa bergandengan dengan beberapa teknologi canggih yang bisa memperingan beban hidup, dengan tetap bekerja lebih sedikit –yang seringkali saya anggap bukan sebagai pekerjaan saking asyiknya- yang setelahnya kita tetap bisa menikmati alam dan juga hidup, hingga tetap bisa untuk terus bertahan menjadi manusia, dan bukannya mesin atau serigala.
Bagaimana cara terbaik untuk bisa menuju ke sana? Mungkin nanti akan kembali saya sambung tulisan ini, tentang negeri yang bahkan jika sumber daya alamnya habis sekalipun, tetap memiliki potensi keragaman hayati yang amat tak ternilai.
Semoga Indonesiaku tetap bisa seperti ini, kemarin, sekarang…juga nanti.
Secangkir Kopi Indonesiaku Hebat, Kompasiana-015.