Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Inilah Orang-orang Indonesia yang Anti Mainstream

17 Juli 2015   21:07 Diperbarui: 17 Juli 2015   21:07 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bertambah lengkap lagi saat kembali saya temui sosok yang sama anehnya. Anak muda yang dengan amat datar menuliskan rangkaian kisah di bukunya, tanpa saya dapati satupun gejolak emosi atau tanda seru di dalamnya, yang bahkan dengan cara se-linier itu tetap mampu melibatkan emosi pembacanya.

Ketiga sosok anti mainstream itulah yang akhirnya menghasut ingin saya, hingga menghabiskan lebaran dengan cara membacai satu demi satu hasil karya mereka.

 

Pendekatan Paling Adil dalam Menilai Indonesia.

Dari ketiga karya merekalah kemudian saya kembali memantapkan pemahaman, bahwa Indonesia, tetaplah negeri terhebat yang pernah saya kenal dan tinggali.

Ini bukan tentang nasionalis –yang seringkali kita gadang-gadang hanya ketika tengah membutuhkan untuk menyerang pihak tertentu, misalnya- melainkan murni pendekatan rasionalis, lengkap dengan deretan angka serta data pendukung yang lainnya.

Dari supir truk tersebut saya memperoleh penalaran yang lebih terstruktur tentang apa itu daya beli, yang membuat saya tak gumun sedikitpun membaca artikel sobat kompasianer Gaganawati, tentang kenapa di Jerman tarif becak membumbung tinggi –dan tetap terasa murah- sementara untuk jarak dan durasi yang sama ongkos mbecak di Indonesia njomplang banget murahnya, yang sayangnya tetap saja terasa membebani. Walau tentu saja ketidak gumun-an tersebut bukan berarti langsung menghilangkan keunikan dari artikel yang tadi. Artikel tersebut tetap etnik, dengan saya yang tetap juga tak tergelitik, karena unik dan menggelitik jelas sesuatu yang berbeda, yang amat tergantung dari selera para penikmatnya.

Menggunakan harga rokok sebagai perbandingan, sekilas kita akan langsung ter-provokasi bahwa harga batang pembunuh yang terlalu murah itulah mungkin yang menjadi faktor terbesar dari banyaknya pecandu asap di negeri ini.

Betapa tidak? Harga rokok perbatang di Indonesia cuma seribu rupiah, sementara di Australia yang bertetangga, nilainya langsung berlipat sepuluh, menimbulkan dugaan harga murah tersebut tentulah akal-akalan pabrik rokok, dengan tujuan semakin menjerat masyarakat melalui ketergantungan nikotinnya.

Dari dugaan itulah kemudian muncul rangkaian ketidak adilan, tentang anggapan komoditas tertentu di Indonesia yang memiliki efek negatif terlalu murah harganya, sementara barang-barang yang amat berguna bagi masyarakat justru teramat mahal. Tapi benarkah kesimpulan tersebut?

Dalam teori yang paling sederhana tentang daya beli, yang dibutuhkan bukan sekedar memperbandingkan harga barang tertentu di negeri ini dengan negeri seberang belaka, yang biasanya berisi dalil yang penuh dengan hawa nafsu pribadi demi menjatuhkan pihak yang berseberangan. Ada banyak pendekatan yang bisa dilakukan. Salah satunya mungkin besaran pendapatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun