Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Susahnya Pacaran dalam Islam

14 Juli 2015   03:50 Diperbarui: 14 Juli 2015   03:50 1779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

kau beri aku sepiring puisi tentang sepi

sambil diam-diam berharap dapat meredam galau di hati

yang telah lama terasa nyeri

yang kusangka telah hampir mati…

(‘Sepiring Puisi Sepi’ dalam Di Bawah Kibaran Dosa)

 

(Beberapa paragraf awal dari tulisan ini terpaksa dihilangkan, agar tak menjadi masalah sara dan kontroversi).

 

Ajakan 'Make Love' yang aneh dan bertubi-tubi.

Tapi dengan segudang keanehan yang ada pada diri saya tersebut, saya benar-benar tak menyangka akan begitu sering direpotkan oleh makhluk lembut yang bernama: Wanita. Dan kerepotan itu telah berlangsung, bahkan sejak saya masih duduk di kelas 1 SD!

Tampankah saya? Bwahahahohohohuekhzzcuihh...! Itu pasti tawa teman-teman saya bila mereka mendengar pertanyaan ini, yang tak lupa diakhiri dengan meludah sebanyak-banyaknya dengan gaya yang paling lebay. Sebab, walaupun ketampanan seringkali menjadi sesuatu yang amat relatif, namun semua tahu bahwa saya tidak memilikinya. Mungkin secuil. Atau secuil yang masih harus dipetil-petil hingga menjadi cuilan yang lebih kecil dan lebih kecil lagi.

Pernah suatu kali waktu nongkrong di Lamceng, teman saya berkata sambil tertawa, “Lo jangan lewat SMU Anu, Bay... Muke lo ngeselin, kaya Cina Benteng...!” Dan sambil nyengir sendiri saya tetap pulang lewat sana, walaupun saya tahu Sekolah Anu yang nganu-anu itu memang sedang tidak mesra dengan sekolah saya. Enggak gue pikirin...

Hanya saja saya tetap tak habis pikir dengan tingkah dan polah dari sosok-sosok nan halus itu. Mungkin lingkungan yang keras menjadikan saya sosok yang tidak peka, terutama terhadap hal-hal yang berhubungan dengan hati. Teramat sering saya sikapi mereka dengan cara yang amat kasar, atau paling mudah dengan menghindari mereka sebisa mungkin. Bersikap tak acuh, dan menganggap seakan-akan mereka tak pernah ada.

Tapi bahkan dengan semua sikap konyol tersebut, dan juga dengan tampang ngeki-in yang -katanya- terlihat seram saat sedang diam, tetap saja saya masih banyak direpotkan oleh wanita, juga makhluk yang setengah wanita!

Saya masih ingat betapa cuma nyengir bego dan berdiri canggung di samping ranjang saat teman SMP telah siap di tempat tidur, yang sambil tersenyum agak malu berbisik, “Hayyuu...”.

Atau dengan situasi yang agak berbeda istri teman menunjukkan ajakan yang sama, bertahun-tahun setelah saya lulus SMU. Juga pengakuan ekslusif junior cewek yang liar dan tak terkendali dengan isi kebun binatang dari mulutnya pada saat inisiasi, yang katanya mendadak sejinak bayi merpati saat melihat saya. Atau betapa pucat dan panas dinginnya saya saat pipi dielus dengan maknyus oleh setengah cewek separuh cowok ketika melenggang di Blok M kala ABG.

Masih terekam kuat dalam memori saat suatu hari, saya langsung melesat sangat cepat karena tak berhasil meyakinkan si cantik penjaga wartel yang kesambet setan bengong, yang menatap tanpa berkedip menit ke menit karena terlalu pede memfitnah saya sebagai vokalis Five Minutes. Walau saya tentu saja tak pernah pegang mic sambil bersarung-ria seperti yang pernah heboh dalam video klip grup band tersebut!

Atau tatkala agak pusing dan terbengong-bengong dibangunkan tidur pagi buta dari lincak ruang tamu dengan kata-kata, “Mas...! Mas...! Kawin, yuk...” di wilayah tengah Pulau Jawa.

Juga ketika ada ibu yang menawarkan perawan cantiknya untuk saya nikahi, padahal jelas-jelas perawan tersebut belum lagi lepas SMP, seakan-akan saya adalah pengagum berat Syeh Puji.

Tak berhenti sampai di situ, di sebuah daerah yang lainnya lagi saya kembali (lagi-lagi) diberi lampu hijau untuk menjadi ulat bulu, yang disodorkan daun muda anak pemasok limbah pabrik yang baru usai sekolah, yang setelahnya membuat saya kelimpungan menyikapinya dengan sebijak mungkin. Tentu saja bijak menurut versi saya pribadi.

Yang paling aneh dan mungkin tak akan pernah bisa saya mengerti, barangkali cuma Si Putri Kunang-kunang. Wanita dengan prototive yang cukup dekat dengan Arumi Bachin dan Shireen Sungkar ini membuat saya bingung dan kejeglung, karena katanya, dia tak mencintai saya: Namun melakukan segalanya buat saya...!!!

Sementara pada sebuah resepsi, mempelai wanita teman begitu mesra menatap dan menggelitik tangan saat saya beri ucapan selamat, yang setelahnya lantas saja memaksa saya banyak menghindarinya sebab menjadi teman selingkuh jelas bukan cita-cita tertinggi saya, walau saya akui pengantin itu cukup cantik dan menggoda. Dan masih beberapa kali lagi berlanjut di lokasi, waktu serta dengan sosok yang beragam gaya.

Tergiurkah saya? Beberapa kali giur itu menghampiri saat kejadiannya. Mengapa tidak? Mereka terlihat cukup menarik. Namun logika dan terutama sekali: Dogma, berulang kali menjadi penyelamat saya. Penyelamat yang menyeret dengan amat enggan dan lamban untuk saya keluar dan meninggalkan mereka, setelah sebelumnya tak lupa saya beri mereka sesuatu yang khas: Nyengir bego saya!

Dan saya semakin tidak habis pikir lagi, waktu tahu betapa lamanya seorang wanita sanggup untuk menyimpan perasaan. Karena, entah kenapa, selalu saja saya berjumpa ulang dengan mereka banyak tahun sesudahnya, dengan tetap merasa gugup juga risih akan perasaan yang mereka refleksikan. Bahkan saya pernah tercengang mendengar pengakuan seseorang, yang menyimpan perasaan cintanya selama lebih dari 40 kali panen jagung, sejak pertama kali bertemu, tanpa saya sedikitpun mengetahuinya. Alangkah anehnya...!!!

 

Detoksifikasi jelaga cinta yang paling menyenangkan.

Dengan semua ‘keajaiban’ tersebut, bukan berarti saya tak pernah tertarik pada wanita. Beberapa dari mereka justru meninggalkan kesan yang teramat mendalam di relung hati, yang jelas tak akan pernah bisa untuk saya abaikan begitu saja seumur hidup.

Mereka pacar-pacar lo, Bay...?

Dengan tegas saya menjawab: Bukan. Dan dengan ketegasan yang sama pula saya yakinkan bahwa mereka, sekedar teman buat saya. Hanya saja sebuah dialog yang diucapkan cewek cepak bergaya imo dalam FTV ‘I Know What You Did Last Summer on Facebook’ menggoyahkan ketegasan barusan.

“Teman enggak ciuman... Teman enggak ML, Jing...!” begitu dialog si rambut cepak tadi, yang langsung membuat saya mutung dan menjadi banyak termenung-menung.

Beberapa murid besar saya jelas tak masuk hitungan, walau dengan semua gaya kenes yang memang milik dunia mereka. Juga L’es dari Peternakan IPB, karena saya cuma pernah ‘kagum sekilas’ dengan kemanisan wajah yang dia punya. Atau beberapa cewek manis UI dari tingkat yang berbeda, yang saya benar-benar enggak ngeh banget akan respect mereka yang begitu tinggi terhadap saya waktu itu. Pun sobat-sobit cantik dari LP3I, Al-Azhar dan Gunadarma, yang masih kerap membuat saya tersenyum sendiri saat tengah mengingat mereka.

Tapi teman wanita yang paling saya hormati melebihi siapapun mungkin cuma Wida, Si Borju dari Kedokteran Yarsi, dengan berbagai hal dan alasan yang sayangnya tidak bisa saya kemukakan dalam tulisan ini. Yang jelas, itulah pertama kalinya saya begitu minder dan amat mindik-mindik dalam pergaulan dengan wanita.

Mungkin karena status saya yang saat itu pengangguran tidak jelas, atau bisa juga buah aura yang dia punya, yang membuat saya jadi sekecil kutu waktu berinteraksi bersamanya.

Terakhir saya hubungi Wida tengah co-Ass/PTT di entah pedalaman mana. Sikapnya tetap masih sama seperti dulu, dengan saya yang tetap juga masih merasa sebagai kutu, walau telah memiliki status yang  jauh lebih bermutu dari pertemuan pertama dulu.

Yang paling membuat saya nyaman jelas Si Na dari Peternakan IPB. Dan barangkali dialah satu-satunya teman wanita saya yang memiliki kontak bathin, selain dengan Mulan tentu saja…^_

Saat itu HP belum se-familier sekarang, dan masih teramat sulit untuk janji bertemu serta memantau sudah di mana semasing berada. Namun terhadap Na, saya mampu memiliki sugesti bahwa dia tengah berada di suatu tempat, yang ketika saya menuju lokasinya... dia memang ada!

Beberapa kali pertemuan saat saya serupa gasing yang terus berputar antara Jakarta-UI-IPB, yang berlanjut dengan saling komunikasi interlokal setelahnya, benar-benar membuat saya serasa tengah ngopi di pinggir surga saking nyamannya!

Tahukah kau apa yang membuat saya begitu nyaman? Kesederhanaannya, yang merupakan gabungan dari semua sikap lugu, polos, naif, dan apa-adanya, yang berbanding terbalik 180 derajat dengan Mulan. Dan entah mengapa hal itu justru memberi saya kenyamanan yang belum pernah saya nikmati sebelumnya. Seakan-akan saya adalah kuda hela yang baru terbebas dari tali kekang yang seumur hidup membelenggu.

Dan saya benar-benar merasa bebas. Bebas sebebas-bebasnya bebas. Bebas untuk menjadi apa saja, untuk berbicara dan bersikap seperti apa saja, juga bebas untuk melakukan apa saja, tanpa perlu merasa terbebani dengan tenggat serta target yang rumit serta berat. Juga bebas, bahkan walau sekedar untuk melakukan kesalahan dan atau hal remeh lainnya yang umum dilakukan remaja biasa. What a beautiful life!

Tapi saya dan Na murni cuma berteman. Saat itu era baru saya ‘udahan’ dengan Mulan. Cuma berteman, yang kebetulan memiliki interaksi agak tak biasa setidaknya pada masa itu. Cuma berteman, yang bersama Na tanpa sadar saya merasa ada begitu banyak jelaga dalam hidup saya, buah proses pematangan dari didikan Mulan selama bertahun-tahun. Dan bersama Na pula saya lepaskan jelaga tersebut, dalam sebuah proses detoksifikasi yang paling menyenangkan dalam hidup saya. Cuma berteman, yang saya juga tidak bodoh untuk mengetahui bahwa Na tidak menganggapnya sekedar itu.

 

Bingung yang terus menggunung tanpa ujung.

Apa susahnya menarik hati seorang wanita? Salah Mulan kenapa mengajari terlalu banyak, dan menjadikan saya seakan-akan 'praktisi wanita' paling expert di kelasnya. Bahkan terhadap cewek yang super jutek serta paling ogah sekalipun!

Tak perlu beribu kuntum bunga atau hadiah romantis lainnya yang tak pernah absen untuk kau memenangkan hati seorang wanita, walau hal itu memang seringkali amat membantu dalam memudahkan prosesnya. Namun yang paling utama justru adalah yang paling sederhana: ... dan sebagainya seperti yang tertera dalam lampiran tentang Kiat Mudah Menarik Hati Wanita ala Si Bay pada bagian lanjutan kisah ini.

Tapi saya dan Na tetap saja hanya berteman, walaupun segala yang dia punya –juga wajah dan posturnya yang ‘sangat mengena’- menjadikan ‘hanya’ tersebut mudah goyah serta cepat meleyot ke mana-mana. Karena -bagaimanapun juga, Na adalah sisi lain. Sisi lain yang tak pernah saya temukan dalam diri Mulan. Sisi lain yang begitu saya suka dan amat saya inginkan.

Saya optimis dapat memenangkan hati Na. Bukan karena saya pengumpul terbesar dari ‘Kiat Mudah Menarik Hati Wanita ala Si Bay’ tadi, yang tentu jauh lebih mumpuni serta paham harus bagaimana bereaksi saat terjadi paradoks dan anomali. Melainkan karena saya melakukan semuanya: Dari hati, dan bukan sekedar mempraktekkan sebuah teori secara basi dengan keyakinan yang super mini!

Seperti yang telah saya perkirakan sebelumnya, saya telah sangat memenangkan hati Na, bahkan jauh waktu sebelum timbul minat saya menjadikannya orang terdekat.

Mulan yang cerita. Karena tempat kost mereka tak berjarak lama. Dan jejaring antar kampus tentu saja menyulap informasi hingga beredar ke mana-mana dengan sendirinya, seakan angin meniupnya begitu saja ke setiap telinga yang masih punya rantai yang sama.

Dan wajah serta suara Mulan yang begitu tak ceria, juga proyeksi-proyeksi lainnya dari keseluruhan diri Mulan yang saya maknai sebagai sebuah kesedihan, memaksa saya untuk terus saja mengulangi kebodohan saya, seperti yang pernah Mulan lakukan sebelum ini, yang juga masih akan terus Mulan lakukan setelahnya, dan menjadikan saya laiknya keledai dungu yang tak pernah mampu untuk melanjutkan hidup.

Mulan yang seakan baru menemukan ajaran Muhammad, begitu ramai dan riuhnya dengan segala macam teori tentang haramnya berpacaran, yang cuma saya maknai dengan tak pernah mendengar cambuk atau rajam dijatuhkan, kecuali terhadap mereka yang melakukan ‘masuknya timba ke dalam sumur’.

Mulan yang terus berkeras bahwa itu adalah ‘larangan mutlak’, membuat saya yang tetap menganggap ‘cuma pencegahan yang paling bijak’ menjadi mengalah. Sebab jika buat Mulan, apa sih yang tidak saya beri dan lakukan...?!

Saya yang mengalah, turut mengamini keharaman pacaran. Imbasnya? Hubungan kami harus dilegalkan, atau jika tidak bisa: Dibubarkan! Dan saat kakak tertuanya yang Direktur Borju itu tak setuju, maka selesailah semua: Dengan sangat berdarah-darah, tentu saja...!!!

Sebulan lebih kesehatan saya terganggu, dengan sakit pikiran yang meng-endemik berbulan-bulan pasca kejadiannya. Karena cinta tak terhingga yang ada dan telah amat lama menetap dengan amat mantap, seringkali menjadi bumerang ketika dipaksa untuk hilang secara tiba-tiba. Walau sayapun  mendengar bahwa Mulan, mengalami hal yang serupa. Hanya saja hingga kisah ini dibuat, saya masih suka bertanya-tanya sendiri.

Akankah persoalannya menjadi lain sama sekali, jika saja waktu itu Mulan telah terlebih dulu bunting dan membesarkan anak saya dalam rahimnya? Karena yang saya tahu, seringkali zina LEBIH TERHARGAI dan LEBIH ‘TERPILIH’ menjadi solusi, dari sekedar mati-matian memegang erat dogma, yang entah kenapa dengan susah payah terus saja diupayakan kesakralan dan keagungannya, dengan janji Dunia Utopia Abadi setelah manusia tak lagi ada di dunia yang ini...

Pernah Mulan meminta untuk kami menikah tanpa catatan sipil, hanya demi legal di mata Tuhannya. Namun saya tak melakukannya. Karena selain masalah hukum, saya lebih ingin memiliki Mulan secara sempurna. Tanpa sedikitpun kesan ‘pencurian’ serta siasat-siasat agama yang lainnya.

Hingga akhirnya, dengan sangat tidak bahagia saya beri Mulan kado ultah terindah yang paling membuatnya bahagia: Ketidak bersamaan kami. Hanya demi menghilangkan ‘dosa’ yang Mulan derita jika kami terus bersama, yang tak lama setelahnya saya tinggalkan semua ‘cetak biru’ yang pernah kami rangkai berdua.

Demi hidup yang lebih baik, kata Mulan dulu.

Demi hidup yang terus bisa bersama Mulan, ucap saya dalam waktu yang senada.

Karena saya memang tidak pernah peduli harus seperti apa hidup yang lebih baik itu. Karena saya memang cuma tahu satu hal, bahwa hidup yang lebih baik adalah semua jenis kehidupan apapun di manapun dan bagaimanapun: Selama ada Mulan di samping saya!

Setelah itu, Mulan pergi. Dia bilang, dia sedang mencari Tuhan, yang tanpa dia sadari bahwa Tuhan yang saya punya turut pula pergi bersamanya. (Situasi yang lebih nyata dan lengkap saya tulis dalam bentuk cerpen, yang dapat dibaca pada link ini.)

Tapi bahkan dengan segala ‘tragedi’ itu, Mulan tetap saja tak pernah melepas saya, dan menciptakan bingung yang terus menggunung tanpa ujung waktu ke waktu.

Mulan menghindari hubungan dengan saya, namun dia juga tak rela jika saya tak lagi cinta kepadanya, dan tak pernah bisa untuk membiarkan saya mengalihkan perasaan tersebut kepada yang lain. Juga kepada Na, atau Na-Na yang lain setelah Na.

“Benar-benar sebuah pengharaman pacaran yang amat shahih...!!!” rutuk saya dengan kebencian yang melangit. Terutama setelah mengetahui alangkah lamanya saya terkubur dalam ilusi ‘mempunyai tapi tak memiliki’ tersebut, yang tidak hanya membuat agama dan keimanan saya centang-perenang, melainkan juga menjadikan hidup yang saya jalani jauh lebih berkelok serta memiliki begitu banyak simpangan, yang bahkan mungkin lebih berbelit dari labirin atau ular tangga: Dengan setan yang menjadi dadunya... setelah sebelumnya berpura-pura menjelma malaikat atau nabi juga dewa!

 

Pertemanan, sebuah petualangan pembelajaran yang amat menyenangkan.

Setelah ‘Na yang nyaman’, saya masih punya Na yang lainnya lagi. Dan ini mungkin satu-satunya wanita yang bukan ‘orang dekat’ saya namun berani nyasar ke kolom ini, yang membuktikan bahwa dia memang punya ‘kelas’, atau setidaknya memiliki sesuatu yang barangkali pantas untuk dicermati.

Seperti Wida, remaja energik ini berpenampilan eksentrik. Atau mungkin memang semua anak borju memiliki ciri dan ke-khas-an yang sama, walau Si Eksentrik ini jelas jauh lebih ‘mentah’ dari Wida.

Dan steorotipe umum yang saya pahami tentang mereka yang berasal dari kelas sosial lebih tinggi, entah mengapa begitu saja memancing saya untuk langsung bersikap sinis dan kasar kepadanya, sejak pertama bertemu, yang langsung dibalasnya dengan wajah masam serta bentuk mulut yang benar-benar mirip Tukul!

Tapi pertemanan memang benar-benar sebuah petualangan yang amat menyenangkan! Tak peduli meski dalam pertemanan itu kita cuma mengisinya dengan kekonyolan buah segala tingkah yang noraks, atau sekedar menukar sebal dengan keki, yang lantas menjadi kebencian yang singgah berkali-kali, yang secara diam-diam dan tanpa disadari sering diharapkan kedatangannya lagi.

Saya masih ingat betapa kerasnya tawa saya melihat muka Si Bocah Eksentrik itu, yang dengan takut-takut serta amat terpaksa, meminum air kemasan milik senior yang keruh putih seperti tercampur sesendok bubur lalu di aduk, saat kehausan dalam inisiasi jurusan di daerah Pangguyangan-Jawa Barat.

Dan tawa saya lebih keras lagi mengingat sebelumnya, Si Eksentrik menolak untuk meneguk air kemasan milik saya -yang terlihat lebih jernih dan tentu lebih terkesan higinis- hingga akhirnya ‘terjebak’ menenggak air bubur Si Bomel Sang Senior tersebut dengan wajah yang amat tidak nyaman, setelah sebelumnya bolak-balik melirik putus asa ke botol air horor itu, seakan dengan banyak memandangnya dia berharap segala kuman dan kotoran langsung lenyap tak tersisa.

Tapi kebersamaan yang panjang agaknya menjadi satu-satunya rumus tersederhana untuk  menciptakan keakraban. Bahkan untuk orang-orang yang selalu terlihat tidak pernah sepaham sekalipun!

Dan dengan Si Eksentrik yang tidak sepaham itulah saya pernah menghabiskan cukup banyak waktu bersama, meski hanya membuang-buang waktu berdua dalam kegiatan yang remeh dan biasa, misalnya.

Sekedar makan-makan di foodcourt sebuah Mall yang pernah di-klaim sebagai yang terbesar se-Asia Tenggara, dilanjutkan dengan memilih bareng warna lipstik yang dirasa sesuai dengan keinginan. Sebuah lipstik pucat terang dan agak eksentrik, yang walaupun sedikit aneh namun tak terlihat janggal saat menempel di bibirnya. Dan setelahnya, mencobai berbagai jenis parfum adalah kenangan yang menyegarkan, yang setelah bosan mengendus-endus tetap tak menemukan harum yang sesuai selera.

Sebagai penutup, XXI menjadi alternatif utama. Walau saya lupa judul filmnya, namun saya masih ingat betapa bawelnya Si Eksentrik bertanya, tentang apa yang saya inginkan dari dia pasca menemaninya dalam ‘petualangan kecil’ yang, walaupun sangat aneh namun terasa amat menyegarkan itu.

Pertanyaan yang terus saja dia kemukakan dengan nyinyirnya seakan-akan saya pemeran gigolo di entah film mana besutan siapa. Seakan dalam dunia dia tak ada yang terjadi begitu saja. Selalu harus ada pembayar, atau setidak-tidaknya: Penukar, seperti jika kita pergi ke Pasar Loak.

Dan sambil memain-mainkan anak rambutnya sepanjang perjalanan pulang, saya cuma menjawab singkat: ML satu kali!

Tentu saja tidak dengan serius karena pertama, saya cuma merasa risih dengan ucapannya yang seperti pedagang itu, dan ingin cepat membuatnya diam. Dan kedua, saat itu dia memang tengah berminat untuk membahas ‘sex after lunch’ yang kebetulan tengah nge-trend di kalangan menengah.

Tapi bukan itu yang membuat Si Eksentrik terlihat begitu berharga di mata saya. Karena jika untuk hanya begitu, saya tak perlu repot-repot bertelepon ria dengan begitu intens-nya. Karena dalam Dunia Bayangan, terlalu banyak petualangan yang sama dan sebangun, yang bahkan mungkin lebih hidup atau lebih bernyali dari sekedar yang dialami bersama Si Nona Eksentrik ini. Dengan kelas yang jauh lebih tinggi, atau justru dengan sosok yang tak bisa masuk kategori kelas sama sekali!

Dari Si Eksentriklah saya justru mendapatkan begitu banyak pencerahan yang berharga. Dari dia saya jadi tahu bahwa ternyata, tak semua borju tergabung dalam kelompok orang-orang yang cuma ‘Kebetulan Berada dalam Bank Sperma yang Beruntung’, yang hanya mampu petantang-petenteng dengan segala fasilitas bawaan, dan setelahnya sekedar menjelma wayang yang harus menurut ke manapun sang ortu mengarahkannya.

Dari dia pula saya menyadari tentang pentingnya untuk selalu berpikir secara logis: Tentang semua hal!

Bahwa harus selalu ada alasan juga jawaban untuk setiap kejadian -juga tindakan- bahkan walau mungkin cuma sekedar keinginan sekalipun. Dan hal itu tentu saja amat berpengaruh buat saya, terutama saat bertahun-tahun setelahnya, dimulailah agresi bisnis saya secara total. Walau lucunya, logika template yang dia punya kerapkali saya rasakan terlalu luas hingga meleber dan tumpah ruah ke mana-mana.

Hampir setiap apapun dia tanya, dia bahas, dia kemukakan, dan tentunya dia diskusikan hingga ke detil yang paling mungil. Mulai dari masalah kantung mata, hingga (maaf) posisi yang kira-kira paling nge-klik saat ML. Juga tentang bagaimana seharusnya menyikapi dan atau bertindak secara pribadi guna mengurangi cacat negara yang melahirkan begitu banyak Komunitas Dhuafa.

Bahkan tentang masalah hati dan cintanyapun ia kupas tuntas, yang walaupun tak pernah memusingkan saya mengingat stok kekayaan bathin yang ada dalam Dunia Bayangan ternyata cukup mumpuni untuk menuntaskan nyaris semua hal, namun kerap membuat saya bingung dan terkeder-keder tentang cara menyampaikannya, tanpa saya harus bersikap sarkas, monoton atau amat menyebalkan.

Begitu riuhnya logika template yang dia sodorkan kepada saya, yang membuat saya memberinya sebutan kesayangan khusus, “Bocah...” Karena dia memang tak ubahnya bocah yang terus merengek kehausan tentang apapun, dan menjadikan saya layaknya ‘Emak-emak’ berbibir keriting karena harus terus me-wasweswos-kan apapun demi buah hati itu nyaman dan terlelap dalam buaian.

Mungkin karena hal itu pula dia sering sambil bercanda memanggil saya, “Emaa...k...” Tentu tanpa huruf ‘k’, dan tentu pula dengan intonasi serta warna suara terindah yang pernah saya terima.

Dari Si Eksentrik ini saya belajar, betapa pentingnya memiliki karakter yang kuat, yang dalam banyak deal yang saya lakukan dalam bisnis, memposisikan saya sebagai pribadi yang pantas dipercaya, bahkan saat baru mulai bersalaman dan membicarakan prakata!

Dari Si Eksentrik ini pula saya belajar, bahwa bersikap tegas bukan berarti melepaskan kontrol sama sekali. Juga inspirasi untuk jangan pernah berpuas diri dengan apapun yang telah dimiliki. Walau tentu bukan berarti tidak mensyukuri.

Dari Si Eksentrik ini saya mulai memahami, tentang apa itu stamina tinggi saat hendah meraih sesuatu yang membentangkan track amat panjang yang melelahkan, dan terutama sekali: Membosankan! Yang tetap harus –terpaksa atau tidak- terus kita lalui hingga yang diingini menjadi.

Dan dari Si Eksentrik ini pulalah saya mengetahui, bahwa setangguh apapun seorang wanita, tetap saja dia cuma makhluk yang paling girang untuk dibohongi. Juga makhluk dengan benda kecil di hatinya yang, jika sekali saja kita merusaknya, maka akan amat sukar jalan untuk kembali.

Saya yakin bahwa tulisan tentang Si Eksentrik ini, akan berpotensi mengundang kerutan kecil di dahi teman-teman saya, bahkan mungkin juga di dahi Si Eksentrik itu sendiri, yang dengan koor menyebalkan akan langsung ramai-ramai berbisik, “Koq gue enggak tau, Bay...? Kayanye Na biasa aje deh...” Walau jelas mereka mengerti bahwa saya tidak pernah berbohong atau sekedar iseng jika menyangkut sesuatu yang penting.

Si Eksentrik memang tak pernah mengajari saya apapun. Bahkan dalam banyak hal, mungkin dia yang lebih banyak menyerap materi pengetahuan dari saya. Tentunya belajar dengan tanda kutif di kiri dan kanannya.

Tapi pernahkah kau mengajari bayi berjalan, atau sekedar merangkak dan mengucapkan kata-kata biasa yang lalu menjadi terdengar begitu rancu dan sulit dimengerti, yang setelahnya kau merasa bahwa sebagai pengajar dari bayi tersebut, secara tak sadar kau justru banyak belajar tentang kasih sayang dan kegembiraan darinya, cuma dengan dia tersenyum? Itulah Dunia Bayangan, yang seringkali mampu untuk melihat yang kerap terlewat, dari sudut pandang yang tidak itu-itu saja.

Masih dengan sudut pandang yang sama pula saya berani bertaruh, bahwa saya adalah orang pertama yang membuat Si Eksentrik bebas berkata atau bertanya tentang apa saja. Bahkan juga untuk tema yang hitam, putih, atau abu-abu muda, yang seringkali terkesan begitu panas, tabu, juga mungkin suam-suam kuku. Dan saya pula orang pertama dalam hidupnya selain keluarga dan teman perempuan, yang tanpa ragu dia kemukakan segala mimpi dan rahasia diri, juga hasrat paling liar yang pernah dia punya tanpa khawatir saya jengah atau tertawa.

Atau yang membuat dia harus secepat gabungan The Flash dan Gundala Putera Petir saat mengangkat telepon rumah di tengah malam buta seperti yang dia pinta -karena agaknya ingin kebersamaan jangan dulu terpenggal waktu- sebab tak hendak ‘tertangkap basah’ oleh keluarga. Juga satu-satunya orang yang tanpa malu atau ragu dia akui tengah menangis efek ucapan saya pada salah satu kunjungan kabel berbisik jarak jauh itu.

Tahukah kau bahwa saya masih saja sering tertawa sendiri, jika mengingat ucapan dan bahasa tubuh Si Eksentrik saat bertanya, kenapa saya tidak merasa minder ketika melakukan ‘petualangan segar’ bersama dia dulu, dan tidak seperti Si G atau entah siapa lagi yang jelas-jelas begitu ciut saat berjalan di sampingnya?

Dan semakin tertawa lagi jika mengingat bahwa dibalik segala kemandirian dan jangkauan yang dia punya, betapa saat itu dia benar-benar cuma seorang bocah kecil yang masih amat naif, yang masih menyikapi segala sesuatu hanya dari yang terlihat secara kasat mata.

Jelas dunia yang dimiliki Si Eksentrik sangat berbeda. Dan hal tersebut jelas sah-sah saja, karena siapa pula yang dapat memiliki dunia yang sama dalam hidup yang lebih dari satu warna ini?

Dan dalam dunianya yang berbeda itu saya berani menjamin bahwa saat itu, Si Eksentrik belum pernah melihat betapa banyak orang-orang kere yang berjiwa bangsawan. Atau alangkah banyaknya bangsawan, yang bahkan memiliki mental jauh lebih kerdil dari si kere...!

Juga betapa anehnya saat melihat ada sosok yang jelas-jelas kere namun tak terlihat njomplang saat tengah me-riung bersama para bangsawan, dan atau sebaliknya. Dan semakin aneh lagi saat sosok-sosok yang berasal dari dunia yang amat berbeda tersebut sering bertukar-tukar peranannya dalam pergaulan dan juga hidup. Kadang dengan sengaja. Sering juga karena ingin bercanda dan memoles hidup agar tak sekedar memiliki rasa yang itu-itu saja.

Atau betapa tetap saja ada orang-orang yang selalu terkesan janggal dan ‘tak pantas’ untuk berada di posisi manapun, terlepas dari sisi mana dia berasal. Dan begitu juga sebaliknya. Walau yang teraneh tentu saja mereka-mereka yang memang ‘seperti sudah takdirnya’ menempati posisi yang amat syubhat, yang bahkan orang seperti Si Bay-pun kerapkali tak mampu mengkategorikan siapa dan dari mana asal dunia mereka, karena fakta yang mereka punya tak pernah berhasil mendefinisikan, dan atau menegaskan dengan tepat dari sisi mana mereka datang dan berada!

Saya bersyukur Si Eksentrik tak pernah bertemu dengan Wida. Dan lebih bersyukur lagi karena dia juga tak pernah mengenal Mulan. Karena saya sadar bahwa usia, bagaimanapun juga, dalam hal ini jelas sekali memegang peranannya.

Dan kerumitan usia itu pulalah yang agaknya membuat keakraban kami harus berakhir, dengan amat singkat. Karena kemudaan memang unsur terbesar yang gemar membuat kita kejeglung dalam sikap dan kata-kata. Walau lama setelahnya saya masih suka bertanya-tanya sendiri...

Sudahkah Si Eksentrik berhasil memiliki mobil Jaguar impiannya, yang dulu begitu ingin dia miliki, murni dari hasil keringat yang dia peroleh sendiri? Ataukah justru dia telah menjualnya kembali, sebagai alat yang dapat membuatnya menjadi lebih berharga bagi begitu banyak orang, yang tentu bukan sekedar kelompoknya saja?

Petualangan segar itu kami akhiri dengan penutup  yang cukup manis. Makan malam terakhir di sebuah kafe bilangan Senayan, dengan penerangan yang hanya mengandalkan sebuah lilin yang tergeletak di tengah meja dengan lugunya.

Ada pertanyaan terakhir yang diucapkan Si Eksentrik saat itu kepada saya, “Menurut lo, gue cantik enggak, Bay...?” yang setelah saya pandangi wajahnya beberapa jeda, dengan ucapan dan sorot mata yang tegas juga tanpa senyum langsung saya jawab, ”Enggak, lo enggak cantik...” yang saya lanjutkan lagi dengan ucapan, ”Tapi lo cewek yang menarik, Na...” Dan setelahnya, kami berdua lebih banyak terdiam.

Si Eksentrik tidak pernah tahu bahwa setelah jawaban terakhir tersebut, saya masih melanjutkannya dengan beberapa kalimat lagi, walau cuma dalam hati dan cuma buat saya sendiri.

Dalam diam kami menelusuri jalan.

Pulang.

 

“Wanita yang menarik, Na...

Yang amat tangguh dan banyak menginspirasi

Satu-satunya wanita yang tanpa rasa cinta

Telah begitu membuat gue kagum,

Walau lo cuma seorang bocah ingusan...!”

(‘Na’ dalam Di Bawah Kibaran Dosa)

 

Pesan moral dalam cerita ini adalah:

  • Melakukan seks pranikah atau tidak itu pilihan, tapi dalam norma Indonesia dan hukum agama yang manapun juga, hal itu bukanlah pilihan yang bijaksana. Tahan godaan, perkuat iman, niscaya semua akan indah pada masanya…^_
  • Menjalankan agama yang baik janganlah setengah-setengah, hanya sekedar mengambil yang mudah dilaksanakan dari cabang aliran anu ditambah mazhab itu, tanpa berminat sedikitpun untuk berpayah-payah melaksanakan 'kewajiban serta larangannya' secara istiqomah alias konsisten atawa kontinuitas. Saya teringat kekaguman seorang sahabat alumni Sastra Perancis UNJ, tentang kawan wanita satu jurusan yang melanglang kantor hingga ke PBB dan sebagainya, yang pernah berkata, "Santai aja lagi, gue juga dulu pernah atheis dengan amat pede dan habis-habisan... Jadi kalo sekarang gue jadi pemeluk agama, tentu aja memeluknya dengan habis-habisan dan dengan tingkat kepedean yang sama besarnya..." Begitu kurang lebih isinya, yang sempat menyentil kuping dan hati saya dengan amat telak.
  • Menjadi pintar memang baik, tapi menjadi benar jauh lebih baik lagi nilainya. Dan terutama sekali: Tetaplah berusaha untuk terus menjadi manusia, dan bukannya menjelma mesin kesuksesan yang mati-matian melakukan segalanya hanya demi sesuatu atau seseorang, dengan melupakan kodrat utama sebagai ‘perwakilan Tuhan’ di dunia. Mari bekerja keras, juga bekerja cerdas, tentu saja setelah sebelumnya kita terlebih dahulu memilih secara cerdas…^_
  • Belajarlah dari apapun dan siapapun juga. Tak peduli apakah belajar dari seorang bayi yang terkesan ‘tak memiliki kemampuan apapun’, atau justru melalui mantan ‘sahabat istimewa’ yang umumnya di-vonis sebagai sosok yang paling dibenci setelah ‘tidak istimewa lagi’…^_ Kita tak akan pernah tahu siapa yang benar-benar akan mengajari segala macam hal yang asli berguna, dengan cara belajar atau mengajari, mungkin juga dengan gaya yang amat menyenangkan... atau justru menyakitkan!

 

Salam hangat persahabatan, salam dunia maya…^_

Secangkir Kopi Susahnya Pacaran dalam Islam"Dunia Aneh Si Bayangan" bagian yang ke-5, Kompasiana-15.

 

Fragmen sebelumnya (yang telah diposting di Kompasiana-Silahkan klik judulnya):

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun