Mohon tunggu...
Ahmad zaenal abidin
Ahmad zaenal abidin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penjahit kata

Seorang penyulam yang percaya bahwa jahitan kata bisa merubah dunia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kopi Hitam, Black Coffee, dan Santri Zaman

22 Oktober 2021   12:50 Diperbarui: 22 Oktober 2021   15:34 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kopi hitam dan black cofee sejatinya adalah entitas yang sama, dengan kemasan dan cara penyajian yang berbeda boleh jadi akan menghasilkan brand yang tak sama. Walau rasa tetap sama, tapi feel yang di dapat tentu saja lagi-lagi berbeda.

Kita terbang sejenak ke negeri jauh di selatan dunia bernama New Zealand, salah satu negara dengan kualitas pendidikan terbaik di dunia.

Seperti juga negara kita yang di amanahi undang-undang untuk mencerdaskan anak bangsa, mereka pun sama.

Dalam buku Generasi Strawberry, Rheinald Kasali menjelaskan, terbatasnya jumlah perguruan tinggi negeri (PTN) di negara kita yang tak sebanding dengan jumlah peminat mengharuskan calon mahasiswa mengikuti ujian saringan masuk, dari sekitar satu juta calon mahasiswa setiap tahun kerap kali mendaftar, walau kapasitas yang di miliki hanya 80 ribu kursi.

Jadi, setiap tahun ada sekitar 920ribu calon mahasiswa yang tidak dapat mengikuti program pendidikan lewat jalur saringan masuk. Jika amanat undang-undang adalah mencerdaskan bangsa, maka, bagaimana nasib 920rb calon mahasiswa yang gagal masuk PTN ini?  Ada banyak jawaban tentunya yang kita ketahui. Bagi yang berkemampuan secara ekonomi bisa masuk kampus pendidikan tinggi swasta, ada yang mencari pekerjaan, atau tidak juga memilih keduanya dengan aneka alasan.

Kita kembali lagi pada kejadian di New Zealand,  dalam buku yang sama, Rheinald Kasali menjelaskan, alih-alih melakukan ujian saringan masuk karena keterbatasan kuota, New Zealand memilih langkah berbeda, yang mereka pilih adalah replacement, atau penempatan, sesuai minat dan kemampuan calon mahasiswa.

Jadi, tidak ada calon mahasiswa yang ditolak masuk perguruan tinggi. Walau mungkin tidak apple to apple membandingkan keduanya karena kemampuan ekonomi kedua negara berbeda, tapi tahu kah kita, bahwa cara replacement seperti ini telah di lakukan oleh sebuah entitas pendidikan tradisional yang telah berusia tua, berada ditengah masyarakat, bernama Pesantren.

Dalam lingkup pesantren, terutama pesantren tradisional, tidak pernah menolak masuk calon santri, walau dengan alasan ekonomi sekalipun, yang ada adalah replacement, setiap santri yang baru masuk di uji kemampuan dari baca dan tulis aksara arab dan Alquran, pengetahuan dasar fiqh dll, dari sanalah pesantren mengklasifikasikan seorang calon santri untuk di tempatkan di jenjang yang mana, dari mulai kelas Ibtida, lalu tsanawi, hingga mahadul aly.

Persis seperti entitas pendidikan di New Zealand.

Lalu bagaimana saat mereka selesai pendidikan nanti? Apakah ada yang sama juga?

Mahasiswa calon sarjana di New Zealand kerap kali di tunggu-tunggu kehadirannya oleh aneka lembaga atau perusahaan terkemuka, tak jarang pula menjadi bahan rebutan. Para pemilik lembaga atau perusahaan yakin, kualitas lulusan perguruan tinggi akan membawa aneka inovasi atau terobosan baru berbasis riset yang membuat bisnis atau lembaga mereka selangkah lebih maju dibanding para kompetitor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun