Karena terkesan dengan penjelasannya soal paprika, aku cicipi paprika yang telah di iris tipis dalam wajan berisi masakan itu.
"Kok kayak cabe, ya, beb. Gak enak." Kataku pelan.
"Ya emang begitu rasanya paprika, kamu ga perlu memakannya kalo gak suka, makan saja dagingnya."
Dengan garfu ditangan kuambil sepotong daging dan mulai mengunyahnya dimulut.
"Enak sayang, aku gak bisa deskripsiin bagaimana rasanya, yang jelas daging kecap ini enak, aku suka." Pujiku tulus.
"Daging ini kayak hidup kita, kalo dimakan mentah ya gak enak, kita perlu bumbu kehidupan seperti garam dan paprika, lalu dimasak dengan api kesabaran, setelah matang, baru disajikan menjadi masakan bernama hikmah."
"Hidup yang lurus-lurus aja gak akan enak, seperti jalan tol tanpa hambatan, membuat setiap perjalanan kita berasa hampa, malah jadi sering ngantuk. sesekali cobalah jalan baru, gak apa-apa jika sesekali tersesat, toh kita dibekali akal agar bisa kembali pulang kan?"
Istriku mulai bermetafora, sambil cubit pipi kananku dengan genit.
Tiba-tiba aku teringat perjuangan kami berdua untuk mendapat restu dari kedua orang tuanya dulu.
Hubungan kami berkali-berkali mendapat penolakan, kedua calon mertuaku khawatir anak gadisnya dipoligami olehku.
Kedua calon mertuaku pada saat itu meyakini bahwa poligami memiliki sifat turunan. Aku akui memang ayah dan kakekku adalah pelaku poligami.
Tapi kami berdua tetap teguh memperjuangkan hubungan kami. Hingga suatu saat jalan restu itu tiba, melalui jalan yang tak diduga.