Disamping itu karena pulau dengan komunitas yang tidak banyak bisa menjadi tujuan liburan pasca pandemi dimana kerumunan orang bisa dihindari serta dengan sistem kontrol yang tidak serumit di pulau utama.
Pulau juga bisa menjadi tempat berlibur panjang (bukan wisata) sekaligus bisa menjadi tempat untuk bekerja atau mengadakan pertemuan atau lainnya MICE dalam jumlah group kecil.
Komunitas yang kecil adalah bubble yang kecil pula sehingga mengontrol dan mengatur serta menerapkan protokol kesehatan jauh lebih mudah dilakukan.
Pulau bisa dikembangkan menjadi destinasi liburan yang  dapat mengakomodasi wisatawan yang memiliki pilihan dan preferensi yang khusus, bukan membatasi dengan mematok tarif serta menjadikkannya eksklusif atau menjadikannya daerah terpadat didunia ketika masa liburan tiba.
Penerapan kata eksklusif umumnya terdapat pada sebuah klub atau keanggotaan dengan iuran tahunan dan lainnya, sedangkan pulau bukan sebuah klub keanggotaan.
Pulau juga memiliki vegitasi yang dapat mendatangkan penghasilan dari wisata dengan program 'Pick Your Own' atau "Memetik Sendiri' ketika musim panen tiba selain juga menjadi bahan makanan bagi masyarakat di pulau.
Banyak lagi alasan mengapa pulau bisa dijadikan sebagai tempat berlibur dengan berbagai pilihan aktivitas.
Pada beberapa kesempatan berkunjung ke pulau-pulau, saya banyak mendengar dari warga lokal tentang apa yang pulau mereka bisa tawarkan kepada wisatawan namun mereka menunggu investor yang bersedia memberi modal.
Oleh sebab itu tidak mengherankan bila kebanyakan tanah di hampir seluruh pulau di negeri ini sudah menjadi milik warga non lokal dan ironisnya lagi tanah yang sudah dibeli menjadi lahan tidur atau tidak dikembangkan.
Lebih ironis nya lagi ketika ternyata uang dari hasil penjualan tanah tersebut telah ludes dalam waktu singkat tanpa ada bekas atau nama mereka dalam kepemilikan sesuatu lahan atau bangunan di pulau mereka sendiri.